Pasar Malam

1214 Kata
"Mom!" seru Devan menatap ibunya mengeluh, dia sungguh merasa kesal setelah mendengar ucapan ibunya. "Kita sudah membicarakan ini, Devan," kritik Rania menatap Devan tajam. "Kita hanya membicarakan makan malam, bukan soal calon istri!" pekik Devan. "Devan." Kali ini Bagus yang bersuara, lelaki paruh baya itu terlihat tak suka karena Devan membantah ibunya di depan orang lain. Devan menatap ibunya dan ayahnya bergantian. Merasa tak ada yang membelanya, dia menghembuskan napas kasar. "Terserah kalian!" acuhnya sambil melambaikan tangan. Dia lalu berjalan melewati orang tuanya begitu saja dan pergi dari sana. "Devan!" tegas Bagus dengan suara yang rendah. Tapi Devan mengabaikan hal itu, dia terus berjalan ke arah pintu keluar. Mood-nya menjadi berantakan, dirinya sangat kesal saat ini. Membanting pintu mobil kasar, Devan segera melajukan mobilnya. Tak memperdulikan teriakan ibunya yang memintanya untuk tinggal. Devan melonggarkan dasinya, keputusan orang tuanya tanpa melibatkan dirinya membuatnya kecewa. Dia tahu orang tuanya itu selalu berusaha membuat Devan untuk cepat menikah. Tapi lelaki itu masih ingin bebas, dia masih ingin menikmati masa mudanya. Mobil tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah. Devan merasa heran karena tiba-tiba dia ada di sini. Entahlah, nyatanya hanya tempat ini yang terpikirkan olehnya saat ini. Tapi Devan hanya diam di dalam mobil. Dia tak mungkin turun, kemarin Elaine sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak datang dan mengganggu acara keluarga mereka. Ada perasaan aneh yang disadari Devan. Di saat dia sedang kesal seperti ini, dia ingin melihat senyum Elaine. Tidak, bukan Elaine, melainkan anak Elaine, Akram. Devan mengacak-acak rambutnya kasar tentang pemikiran yang tiba-tiba saja terlintas. Mengapa dia seperti ini? Entahlah, author saja tidak tahu. Tok… tok… tok… Suara ketukan pada kaca mobil membuat Devan kaget. Dia mendongak dan terkejut melihat Elaine. Dengan cepat, dia membuka pintu mobil. "Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Elaine. Devan tak bisa menjawab. Dia menunduk dengan tangan menggaruk dahi yang tidak gatal. Dia saja tak tahu apa yang dia lakukan. "Pak." Panggilan itu kembali membuat Devan mendongak. Kali ini dia menatap Elaine dengan lekat. Wanita itu terlihat cantik malam ini, dengan baju blouse coklat yang senada dengan mata indahnya. "Aku…." Devan tak bisa menjelaskan, akhirnya dia mengalihkan pembicaraan. "Kamu mau ke mana?" tanya Devan ragu. "Itu bukan urusan Anda, Pak," jawab Elaine ketus. "Jika tidak ada keperluan, lebih baik Anda pergi," imbuhnya. "Aku juga mau pergi, tidak usah berlagak mengusirku," ungkap Devan kesal karena sikap Elaine. Devan membuka pintu dan berniat masuk, tapi teriakan namanya membuatnya berhenti dan menoleh ke sumber suara. Devan tersenyum melihat Akram baru keluar dari rumah. Devan berjongkok untuk bisa berbincang dengan Akram. Tanpa diduga, bocah kecil itu malah memeluk dirinya erat. "Apa Om Devan akan menemani Akram malam ini?" tanya bocah kecil tersebut. Devan yang tak paham maksud Akram hanya terkekeh, dia melirik Elaine untuk mencari bantuan. Tapi Elaine malah tak peduli, wanita itu menatap Devan kesal dengan bibir mengerucut. "Memangnya kita akan ke mana?" tanya Devan menatap Akram. "Mama akan mengajak Akram ke pasar malam," jawab bocah kecil itu dengan polos. "Baiklah, Om akan ikut kalau begitu," usul Devan. "Tidak bisa," pekik Elaine dengan cepat, wanita itu langsung menggendong Akram dan menatap Devan tajam. "Anda tidak boleh merusak acara keluarga kami!" protes Elaine. Tepat setelah Elaine membentak Devan, Akram malah menangis. Bocah kecil itu meraung sambil menunjuk ke arah Devan. "Akram mau sama Om Devan," ungkap Akram. "Akram Sayang, Om Devan masih ada pekerjaan. Kita pergi berdua saja, ya?" tutur Elaine memberikan pengertian anaknya. Tapi Akram malah menangis lebih kencang, hal ini membuat Elaine mendesah. Tak biasanya Akram mengalami tantrum seperti ini. "Sudahlah, kamu membuat anakmu menjadi sedih, El," protes Devan yang tiba-tiba saja mengambil Akram dari gendongan Elaine. Lelaki itu menggendong Akram dan mengusap air mata di pipi Akram. Dia tersenyum sambil berkata, "Untuk malam ini, Om akan menemani Akram ke mana saja." "Pak!" protes Elaine lagi. Tapi Devan mengabaikan hal itu, dia memutari mobil dan membawa Akram masuk. Lelaki itu membiarkan Akram duduk di depan, tak lupa juga memasangkan seatbelt pada bocah lelaki kecil tersebut. Devan kembali memutar dan masuk di bagian kemudi. Dia membuka jendela pintu mobil untuk melihat Elaine. "Ayo, apa kamu tidak ikut?" tanya Devan. Elaine berbisik lirih untuk mengumpat. Tangannya terkepal menahan amarah. Kakinya menghentak dan membuka pintu mobil dengan kasar. Dia duduk menyilang dengan tubuh bersandar, memandang ke arah jendela dan tak mau menatap Devan. "Pakai seatbelt-mu, El," pinta Devan menoleh ke belakang. Elaine tak menjawab, tapi dia tetap melakukan perintah Devan. Devan sendiri langsung terkekeh karena sikap Elaine, lelaki itu sampai menggelengkan kepalanya saat mobil mulai melaju. Berkat GPS yang diberikan oleh Elaine, Devan tahu di mana tempat yang akan mereka tuju. Selama perjalanan lelaki itu tersenyum menanggapi cerita dari Akram. Sedangkan Elaine tak bersuara, tapi diam-diam memperhatikan anaknya dan bosnya itu. "Akram jangan berlari! Tunggu Mama," pekik Elaine begitu mereka sampai. Saking tidak sabarnya Akram, bocah itu hampir saja masuk tanpa menunggu ibunya. "Maaf, Mama," bisik Akram yang merasa bersalah. Elaine mengangguk, dia tak memarahi Akram dan hanya mengelus kepalanya lembut. Dia berdiri tegak ketika Devan sudah ada di sampingnya. "Ayo," ajak Elaine. Wanita itu mulai berjalan karena tarikan tangan Akram, Devan mengikuti mereka dari belakang. Lelaki itu terlihat senang dengan tempat ini. Banyak sekali area bermain untuk anak-anak, penjual jajanan kaki lima juga berderet di sepanjang jalan. "Om," teriak Akram melambai, bocah kecil itu berlari ke arahnya dan mulai menarik tangannya. "Ayo ikut Akram naik," ajaknya. "Akram," keluh Elaine karena sikap Akram. Dia menatap Devan dengan rasa bersalah. "Maaf karena membuat Anda repot." "Tidak apa, lagipula aku juga senang. Rasa kesalku perlahan hilang," kata Devan. Elaine yang baru pertama kali melihat Devan tersenyum begitu tulus merasa terpana. Dia masih tak menyangka jika bosnya itu tak merasa kesal. Padahal biasanya mereka akan berdebat karena masalah sepele. Akram mengajak Devan untuk naik 'bianglala', tentu saja Elaine ikut juga. Mereka bertiga seperti sebuah keluarga bahagia yang sedang liburan. "Indah sekali," gumam Devan begitu mereka sampai di tempat yang paling atas. Dari sini, Devan bisa melihat lautan manusia di bawah sana. Lampu berkelip-kelip membuat suasana malam menjadi terang. "Apa Anda tak pernah menaiki wahana ini?" tanya Elaine heran karena melihat respon Devan dengan tempat ini. Dengan polosnya Devan menggeleng dan menatap Elaine. "Sepertinya aku tak mempunyai masa kecil," gumamnya lirih merasa sedih. Itu benar! Saat dia kecil, ayahnya dulu seseorang yang baru merintis usaha. Hal itu membuat ayahnya tidak mempunyai waktu bersama dia. Ibunya juga membantu ayahnya di kantor, membuat Devan hanya diurus oleh pengasuh. Jarang sekali dia berkumpul dan berlibur bersama keluarganya. Entah mengapa Elaine merasa bersalah telah bertanya seperti itu. Niatnya mengejek, tapi Devan malah menjawab hal tak terduga. "Maaf," bisik Elaine. Devan yang mendengar itu terkekeh. "Tidak apa-apa, jangan bahas lagi," kata Devan dan Elaine mengangguk. Mereka kembali diam, dan menikmati pemandangan. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di hati Devan. Maka dari itu dia bertanya, "Di mana suamimu, kenapa aku tak pernah melihatnya?" Hal ini membuat suasana berubah menjadi canggung. Devan menyadari jika dirinya telah salah bertanya. Dia merasa tak enak ketika wajah Elaine berubah menjadi sedih. Pandangan wanita itu berubah kosong beberapa saat, bahkan ada butiran air mata yang dengan cepat dihapus. "Aku tidak mempunyai suami." Setelah beberapa saat terdiam, Elaine menjawab hal itu dengan lirih. Dia memaksakan senyum ketika menatap Devan. Bibir Devan terasa kelu, bisa dia lihat kesedihan di dalam mata Elaine. Tapi entah mengapa tak ada ucapan yang keluar dari mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN