Pembicaraan Ayah dan Anak

1061 Kata
"Mama, Akram ingin itu." Suasana yang tadinya hening kembali buyar berkat Akram. Bocah kecil itu menggoyangkan lengan ibunya sambil menunjuk bagian bawah. Elaine menunduk sesaat sebelum menatap Akram dan tersenyum. Dia mengikuti ke mana arah tunjuk tangan Akram, dan melihat wahana permainan kuda. "Baiklah, kalau begitu ayo turun dulu," tutur Elaine lembut. Devan merasa terpana dengan sikap Elaine. Dia tahu wanita itu menyembunyikan banyak kesedihan, tapi ketika dia dihadapkan dengan anaknya, senyumnya selalu terpancar. Seolah tak ingin anaknya itu tahu bagaimana perasaannya. Ketika mereka turun, tangan Devan digandeng oleh Akram. Dia tersenyum dan langsung menggendong Akram begitu saja. "Pak," pekik Elaine kaget dengan sikap Devan. "Tak apa, aku tak ingin Akram lelah sebelum mencoba semua wahana permainan," ungkap Devan tersenyum. "Terima kasih, Om," kata Akram tersenyum dan langsung memeluk leher Devan. Mereka bertiga mengelilingi pasar malam tersebut. Mencoba permainan satu-persatu. Membeli banyak makanan yang dijual berderet di sana, sampai perut mereka merasa kenyang. Saat larut malam, Elaine memutuskan untuk mengajak mereka pulang. Devan segera menurutinya dan mengantarkan Elaine ke rumah. Tidak ada pembicaraan di dalam mobil. Tapi hati mereka merasa bahagia saat ini. Ketika sampai di rumah, ternyata Akram sudah tidur duluan. Elaine yang tak tega membangunkan anaknya berniat untuk menggendong. Tapi tiba-tiba Devan mendorongnya pelan. "Biar aku saja," pinta Devan menatap Elaine. Mengangguk pasrah, Elaine menghembuskan napas pelan. Dia membiarkan Devan menggendong Akram dan dia mulai berjalan duluan untuk membuka pintu. Elaine menunjukan di mana kamar Akram pada Devan. Begitu tubuh Akram diletakkan di ranjang, Elaine dengan cepat menyelimuti bocah tersebut. Tak lupa juga memasang obat nyamuk elektrik agar tak ada nyamuk yang berkeliaran. Elaine mengecup kepala Akram dan mematikan lampu sebelum beranjak dari sana. Ternyata semua itu dilihat oleh Devan. Lelaki itu berdiri di dekat pintu, matanya tak lepas memandang Elaine. Ketika wanita itu mulai mendekat ke arahnya, dia menjadi gelagapan. "Anda kenapa?" tanya Elaine heran. "Em, tidak ada. Hanya saja nyamuknya banyak," kata Devan beralasan, bahkan lelaki itu melambaikan tangan beberapa kali seperti sedang mengusir nyamuk. Elaine menggelengkan kepala melihat hal itu, senyum tipis terbit di bibirnya. Tak ingin Devan melihatnya, dia segera berjalan memunggungi Devan. Sesampainya di ruang tamu, mereka berdua berdiri berhadapan. Keduanya tampak canggung karena tak ada lagi hal yang perlu dibicarakan. Elaine menunduk sambil memainkan jari kakinya. Sedangkan Devan terlihat sibuk memandang isi rumah tersebut. "Aku…" "Saya…" Keduanya mendongak dan tertawa ketika menyadari jika mereka berbicara bersamaan. "Anda dulu," kata Elaine terkekeh kecil. "Woman first," kata Devan yang ikut tersenyum. Mendengar itu, Elaine segera bertanya, "Apa Anda ingin singgah dulu?" Sebelah alis Devan terangkat, menatap Elaine dengan mata memicing. Tak percaya jika wanita yang sejak kemarin mengusirnya, kini malah berbalik menawarinya singgah. Devan melihat jam di tangannya. Merasa waktunya sudah sangat larut malam, dia merasa tak enak pada Elaine. Akhirnya dengan tak enak hati, dia berkata, "Ini sudah hampir tengah malam, lebih baik kamu istirahat. Aku tidak ingin kamu telat datang ke kantor besok." Seketika wajah Elaine merasa pias, dia sungguh malu karena Devan menolak tawarannya. Tapi setitik kecil ruang di hatinya menghangat karena perhatian kecil dari Devan. "Baiklah," ucap Elaine lirih. Devan tersenyum, tanpa sadar dia mengacak-acak rambut Elaine. "Kalau begitu aku pulang dulu, besok pasti aku akan singgah." Setelah berkata seperti itu, Devan mulai beranjak pergi dari sana. Sedangkan Elaine diam membeku selama beberapa saat. Menyadari hal yang baru saja terjadi, tubuhnya menjadi lemas seperti tak mempunyai tulang. Wanita itu terjatuh begitu saja di sofa sambil menatap kosong ke arah depan dengan wajah berbinar, sebuah senyuman terbit di bibir mungilnya. *** "Ini laporan-laporan yang Anda minta, Pak," kata Erik menyerahkan beberapa berkas di meja Devan. Lelaki berparas tampan yang masih terlihat rapi itu mengangguk. Tanpa mengalihkan pandangannya dia berkata, "Apa jadwalku hari ini?" Erik dengan segera membuka tablet yang selalu dibawanya. Lelaki itu membaca sekilas catatan yang dia tulis beberapa hari yang lalu. "Hanya rapat bersama dewan direksi, setelah itu jadwal Anda kosong," jelas Erik. Seketika tangan Devan terhenti dengan kegiatannya. Memikirkan tidak ada jadwal, dia jadi ingin datang ke rumah Elaine untuk singgah. Bukankah wanita itu menawarinya semalam? Erik yang melihat bosnya tersenyum sendiri menjadi heran, bahkan lambaian tangannya diabaikan oleh bosnya. Merasa bingung, akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan bosnya. Hatinya tiba-tiba bersemangat, dengan segera dia menyelesaikan pekerjaannya. Tapi pintu yang tiba-tiba terbuka membuatnya menjadi kesal. Setelah melihat siapa yang datang, senyum Devan memudar. "Di mana teleponmu, kenapa tak menjawab panggilan Daddy?" pekik Bagus menatap geram pada putranya. Lelaki paruh baya itu mendekat dan langsung duduk di hadapan Devan. "Aku lupa membawa telepon," jawab Devan dengan acuh, dia menyibukkan diri dengan pekerjaannya dan tak ingin melayani kemarahan ayahnya. Tapi tentu saja hal ini membuat Bagus menjadi geram, lelaki itu dengan kasar menutup laptop yang ada di hadapan Devan. "Dad," pekik Devan kesal. "Apa kamu sudah kehilangan sopan santun, Dev?" sindir Bagus dengan mata memicing. "Jika orang tua sedang bicara, maka lihat dan dengarkanlah." Bagus menekankan suaranya, kebiasaan jika dia sedang merasa marah. Menghembuskan napas pelan, Devan mulai duduk tegak dan menghadap ayahnya. "Apa yang Dad ingin bicarakan?" tanya Devan. "Kamu mempermalukan mommy-mu kemarin malam. Kenapa kamu tiba-tiba pergi begitu saja? Kamu membiarkan mommy-mu menjadi sedih karena sikapmu," ungkap Bagus. "Daddy sudah tahu, jika aku tidak ingin dijodohkan," bisik Devan tak ingin menatap ayahnya. "Tapi mommy ingin kamu menikah, dia ingin menimang cucu," kata Bagus dengan pelan. Dia sebenarnya juga tak suka tentang perjodohan, tapi dia tak kuasa untuk menolak keinginan sang istri. "Setidaknya berkenalanlah dulu dengan Stevanie agar mommy merasa senang. Soal pernikahan, pikirkan itu nanti. Daddy akan membantumu." Hening sesaat, Devan sedang meresapi perkataan ayahnya. Secara tak langsung, ayahnya sudah memberikan jalan keluar padanya. Akhirnya dengan pasrah, Devan mengangguk. "Baiklah," ucapnya dengan lemah. Senyum tipis mulai terbit di wajah Bagus, lelaki paruh baya itu mulai berdiri dan memutar meja menuju tempat Devan. Bagus menepuk pundak Devan dua kali dan berkata, "Daddy hanya tidak ingin membuat mommy merasa sedih." Dia menjeda sebentar sebelum melanjutkan kembali. "Datanglah ke rumah dan minta maaf pada mommy." "Yes, I will," jawab Devan lesu. Setelah kepergian ayahnya, Devan tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Lelaki itu mendesah kasar lalu melonggarkan dasi yang terasa mencekik bagi lehernya. Ruangan terasa menyesakkan sekarang, Devan memutuskan untuk keluar dari ruangannya. Lelaki itu berniat ke kantin perusahaan, ingin menikmati kopi agar pikirannya menjadi tenang. Karena tidak mengawasi sekitarnya, dia tak sengaja menabrak seseorang. Tapi bukannya minta maaf, Devan malah berbalik untuk memarahi orang tersebut. "Apa kamu tidak punya mata, huh?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN