"Elaine," pekik Devan begitu dia melihat siapa yang ditabraknya. Kini dia menyesal telah membentak wanita itu.
Tapi wanita itu terlanjur marah dengan Devan, dia menatap bosnya itu dengan mata memicing. "Seharusnya saya yang bertanya, apa Anda tidak punya mata? Anda berjalan melamun tapi malah menyalahkan saya," geram Elaine.
Tak disangka jika Elaine malah berbalik memarahinya. "Kau berani menyalahkanku?" tanya Devan dengan tajam.
"Tak peduli Anda bos atau karyawan, jika Anda salah seharusnya Anda mau mengakui," kata Elaine.
Wanita itu mengabaikan tatapan tajam dari Devan, lalu segera berjongkok dan mengambil beberapa kertasnya yang berserakan. Setelah selesai, dia segera pergi meninggalkan Devan.
"Kamu!" Tunjuk Devan dengan geram, lelaki itu berbalik dan berjalan mengikuti Elaine. Dengan marah, dia menarik tangan Elaine.
Lelaki itu menghempaskan tubuh Elaine di dinding, lalu memerangkap wanita itu dengan tangannya. Devan menatap tajam Elaine.
"Apa karena aku telah bersikap baik denganmu maka kamu berbesar kepala?" bisik Devan menggeram.
"Apa yang Anda lakukan?" tutur Elaine mulai panik. Dia mencoba kabur, tapi Devan tak memberinya celah sama sekali.
"Menurutmu apa yang akan aku lakukan?" tanya Devan balik dengan bibir menyeringai.
Melihat sikap Devan seperti ini, Elaine mulai panik. Dia takut jika Devan berbuat tak senonoh padanya. Tangannya menggenggam di depan d**a. Jantungnya berdegup dengan kencang. Napas Elaine mulai memburu dengan tatapan mata tak beraturan.
"Jangan memancing kemarahanku, Elaine, atau kamu akan menerima akibatnya nanti." Devan mendekatkan bibirnya pada telinga Elaine dan mulai berbisik mengancam.
Prank…
Amel tak sengaja memecahkan gelasnya ketika melihat adegan di depannya. Dari samping, kedua orang di depannya itu terlihat seperti orang yang sedang berciuman. Hal ini membuat dirinya membeku, apalagi setelah mengetahui jika orang di depannya adalah teman satu timnya dan CEO barunya.
Hal yang sama terjadi pada Devan dan Elaine. Mereka berdua juga terkejut karena suara pecahan gelas. Devan dengan cepat menjauh dari Elaine, lelaki itu memasukkan kedua tangannya pada saku celana dan menatap bawahannya itu dengan tajam.
"Kamu tahu berapa harga properti perusahaan?" tanya Devan dengan marah.
Amel seperti merasakan serangan jantung kali ini, dia tak menyangka CEO barunya itu akan marah dan mempersoalkan gelas yang pecah.
"Maaf, Pak, maaf saya tidak sengaja." Akhirnya hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Amel, wanita itu menunduk dengan takut.
"Bereskan ini, jangan sampai meninggalkan bekas," kata Devan pada Amel. Dia lalu berbalik ke arah Elaine. "Urusan kita belum selesai, aku akan datang ke rumahmu nanti malam."
Tanpa menunggu respon penolakan dari Elaine, Devan segera pergi dari sana. Lelaki itu menyugar rambutnya kasar sambil berjalan, andai saja para karyawan wanita melihat ini, pasti mereka akan berteriak histeris karena ketampanan yang dimiliki Devan.
"Aaa … Elaine."
Elaine yang masih tercengang karena ucapan Devan, kini malah terkejut karena teriakan Amel. Wanita yang menjadi sekretaris di dalam timnya itu menggoyang-goyangkan tangannya dengan antusias.
"Apa yang kamu lakukan dengan pak Devan, apa … apa kalian tadi berciuman?" tanya Amel dengan berbisik lirih. "Jika iya, aku tidak akan bilang pada siapapun," imbuhnya sambil terkekeh.
"Ish … Amel. Kamu hanya salah lihat saja. Tidak ada yang terjadi di antara kami," ucap Elaine mengelak.
"Ahh … kenapa masih menutup-nutupi padahal sudah ada saksi mata? Dan apa katanya tadi? Malam nanti akan datang?" tutur Amel menggoda.
"Mel…," keluh Elaine memelas. Dia tak menyangka jika akan menjadi begini, padahal tadi hanya kesalahpahaman saja. Tak kuat karena Amel terus menggodanya, Elaine segera berpaling dari sana.
"Sebaiknya kamu segera bereskan lantai sebelum pak Devan datang," kata Elaine.
Hal ini membuat Amel kembali terkejut, kini dia menatap Elaine dengan marah. "Kamu mau mengadukanku?" pekiknya pada Elaine yang hanya terlihat punggung saja.
Elaine terkekeh dari kejauhan karena bisa membalas teman timnya itu. Tak ingin mendapat masalah, dia dengan cepat berjalan dengan langkah yang lebar.
Dia masuk ke ruang kerjanya, baru saja dia duduk, Desy mendekatinya dengan wajah yang serius.
"Ada kabar dari gudang, jika kontainer yang mengirim barang ke Surabaya mengalami kecelakaan," kata Desy dengan serius. "Anton tidak bisa pergi ke luar kota karena istrinya akan melahirkan dalam waktu dekat. Jadi aku meminta tolong padamu untuk menggantikannya."
Elaine mendengarkan itu dengan seksama, tapi dia menjadi bimbang ketika Desy memintanya untuk mengecek keadaan gudang dan menghandle barang.
"Sekali ini saja, El, bisa ya?"
Karena wajah Desy yang memelas, Elaine tak sanggup untuk menolak. Akhirnya dengan terpaksa dia mengangguk menyanggupi. Hal ini membuat Desy tersenyum senang.
"Aku sangat berterima kasih untuk hal ini." ungkap Desy. "Aku akan menyiapkan keberangkatanmu untuk besok."
Embusan napas lelah keluar dari bibir mungilnya. Elaine dengan wajah cemberut mulai mengerjakan sisa pekerjaan yang masih tersisa di mejanya.
***
Devan tersenyum menatap pantulan dirinya di depan kaca. Lelaki itu menyisir rambutnya agar terlihat rapi. Tak lupa juga menyemprotkan parfum di tubuhnya.
Lelaki itu memilih penampilan modis kali ini. Tanpa kemeja dan jas yang selalu melekat di tubuhnya. Devan kini memakai kaos berlengan, sebuah jeans panjang dan jaket kulit hitam sebagai pelengkap.
Sepanjang perjalanan senyumnya selalu terpancar. Entah mengapa dia merasa senang akan bertemu dengan Elaine. Meskipun pagi tadi dia merasa jengkel pada wanita itu, tapi entah mengapa kini rasa jengkel itu menghilang.
Devan segera turun dari mobilnya begitu sampai di depan rumah Elaine. Lelaki itu langsung masuk begitu saja ketika pintu rumah itu terbuka.
"Om Devan," pekik Akram ketika melihat dirinya. Hal ini membuat Devan segera mendekati bocah lelaki itu.
"Hai, Akram." Devan ikut duduk di karpet menemani Akram, lelaki itu tampak menatap sekitarnya untuk mencari Elaine. "Di mana mama?" tanya Devan pada Akram.
"Ada di kamar," jawab Akram dengan mata bulatnya.
Sambil menunggu Elaine, Devan memutuskan untuk menemani Akram bermain. Tapi dia merasa kesal karena sudah hampir setengah jam, Elaine tak kunjung keluar juga. Dengan nekat, dia berpamitan pada Akram untuk menyusul Elaine.
Pintu kamar yang terbuka membuat Devan bisa melihat apa yang dilakukan wanita itu. Dirinya terkejut karena Elaine memasukkan baju pada sebuah koper.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Apa kamu akan pindah?"
Suara itu membuat Elaine merasa kaget, dia sampai memegangi dadanya yang berdegup kencang karena melihat Devan yang tiba-tiba ada di depan pintu kamarnya.
"Sejak kapan Anda di situ?" tanya Elaine.
Devan memutar bola matanya dengan malas, tangannya bersedekap d**a lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding. "Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu."
"Apa?" ucap Elaine dengan kedua alis yang berkerut. Dia meninggalkan pekerjaannya dan mendekat ke arah Devan.
"Kenapa Anda tidak bilang dari tadi," keluh Elaine.
Devan mengedipkan bahu dengan tak acuh, lalu berkata, "Kukira kamu sedang sibuk, makanya tadi aku bermain bersama Akram. Tapi memang benar jika kamu sedang sibuk." Devan mengarahkan dagunya pada tumpukan baju yang ada di ranjang. "Kamu mau ke mana? Apa kamu mau pindah karena aku sering datang mengganggumu?"
Tiba-tiba pikiran nakal terlintas di pikiran Elaine. Dengan senyum menyeringai, dia berkata, "Ya, saya mau pindah agar Anda tidak dapat mengganggu saya lagi.
"Tidak bisa!" teriak Devan yang membuat Elaine terkejut.
Lelaki itu mendekati Elaine sampai wanita itu terpojok. Mata hitamnya menatap Elaine tajam. Entah mengapa ada perasaan tidak rela jika Elaine pergi meninggalkannya. Devan sendiri tak tahu, kenapa dia sampai histeris seperti ini ketika mendengar jika Elaine akan pindah rumah.