Akhirnya dua keluarga sepakat mengadakan acara pernikahan satu bulan kemudian dan aku pun hanya bisa diam saat kedua nyonya besar berencana mengundang ribuan tamu. Awalnya aku menolak dan hanya ingin acara pernikahan sederhana tapi mami Renny menolak dengan alasan Rakha anak tunggal dan pewaris perusahaan besar sedangkan bunda pun ingin acara pernikahanku berlangsung mewah karena aku anak bungsu dan anak terakhir yang harus mereka nikahkan.
Aku menyerahkan semua urusan ke tangan mami Renny dan bunda, aku hanya ikut campur saat memilih kebaya serta foto prewedding.
"Norak loe. Pakai acara prewed segala," ocehku saat kami berada di sebuah taman untuk melakukan beberapa foto prewedding.
"Sudahlah cantik, ikut aja sih semua rencana gue. Nikah itu cuma sekali dan nggak boleh setengah-setengah, prewed itu lagi trend jaman sekarang. Nggak lucu aja pas resepsi tamu-tamu nggak lihat foto kita berdua. Entar dikira kita nikah karena terpaksa."
"Ya emang kepaksa kok, kalo gue nggak bunting elo pikir gue mau apa jadi bini elo."
Rakha hendak membalas ucapanku tapi dia urungkan saat fotografer datang bersama beberapa orang penata busana.
Aku memeletkan lidah dan dibalasnya dengan mengacak rambutku, setelah itu dia pergi untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian sesuai tema yang kami pilih sedangkan aku masih merapikan rambut yang dibantu salah satu hairstylish langgananku.
"Calonnya ganteng banget sih mbak, kenal di mana? Cucok banget loh," tanyanya.
"Panjang kalo diceritakan, intinya saya dan dia sudah sangat lama saling mengenal."
"Jaga loh mbak calonnya. Ganteng gitu pasti banyak yang suka ..." dan dia mulai bercerita tentang kenalannya yang dulunya normal lalu berubah jadi homo karena godaan dunia, aku hanya bisa menanggapi dengan kata 'oh ya' 'oooo' dan lain-lain.
Aku kembali teringat awal perkenalan kami, walau kadang kesal dengan tingkah lakunya tapi terkadang aku sulit lepas dari bayang-bayang Rakha. Ada saatnya aku butuh dia untuk melepaskan unek-unek bahkan dia masih menganggapku sahabat meski dulu aku pernah membuatnya patah hati dan bayangan bertahun-tahun yang lalu kembali muncul.
Aku mengenal Rakha sudah sangat lama, saat dia menjadi anak baru di sekolahku. Rakha dulu sangat pemalu dan tidak sekonyol sekarang. Rakha sangat pintar dan tidak jarang sekolah lebih memilihnya dibandingkan aku saat acara olimpiade, bahkan sejak kedatangannya aku yang biasa juara kelas kini harus mengalah dan menyerahkan tampuk juara ke tangan Rakha.
Sejak itu pula hubungan kami semakin dekat, di mana ada Rakha di situ pasti ada aku juga dan tidak jarang kami dipasangkan dalam acara olimpiade. Sungguh masa-masa SMA adalah masa-masa hubungan kami tidak segila sekarang. Rakha benar-benar menghormatiku dan selalu menjagaku. Meski terlihat lemah tapi dia menguasai beberapa beladiri dan bersamanya aku merasa aman.
Tahun demi tahun hubungan kami semakin dekat bahkan kedua orangtua kami pun saling mengenal. Tidak jarang bunda menitipkan aku di rumah mami Renny saat ujian sekolah datang agar aku dan Rakha bisa belajar bersama, lucunya kami selalu bergantian menyandang juara kelas.
Hingga pada suatu hari Rakha tiba-tiba menyatakan cintanya, aku benar-benar tidak menyangka kalau kedekatan kami selama ini membuatnya suka padaku, apalagi umur kami masih 17 tahun. Aku masih fokus pada pendidikan dan tidak mau merusak persahabatan kami dan aku pun menolak cintanya. Rakha pun menerima dan detik-detik terakhir dia membatalkan pendaftaran di universitas yang sama denganku dan memilih kuliah di Belanda.
Sejak dia kuliah di Belanda baru lah Rakha berubah total, nilai kuliahnya hancur dan pergaulannya sangat mengkuatirkan hingga akhirnya aku tahu dia memilih orientasi yang berbeda dibandingkan laki-laki pada umumnya.
Yup, di hari kepulangannya dari Belanda akhirnya dia mengaku kalau selama ini hubungannya tidak dengan makhluk berjenis kelamin perempuan tapi laki-laki dan hubungan kami yang dulunya normal langsung berubah total. Kami mulai melakukan hal-hal gila dan kini aku mengandung anaknya.
"Gem, gue ganteng nggak?"
Lamunanku tentang Rakha buyar saat melihatnya memakai seragam putih abu-abu, persis saat kami dulu duduk di bangku SMA. Penampilan Rakha sama persis, bahkan kacamata andalannya kini terpasang di matanya.
"Ehemmmm, biasa aja tuh."
Rakha mendekatiku lalu menoel hidungku dengan jarinya.
"Ngaku aja sih, calon suami elo emang manusia paling ganteng. Ya nggak mbak eh mas?" tanyanya kepada hairsylish yang tidak berkedip melihat Rakha.
"Cucok mas, guanteng pisan."
Aku lalu berdiri dan meminta sesi pemotretan dimulai, aku sedikit gerah dengan rok SMA yang terlihat mini di tubuhku atau gerah melihat hairsylish ku menggodanya?
"Buruan cong," teriakku saat Rakha sibuk melihat penampilannya di kaca.
"Iya."
Sesi demi sesi pemotretan kami lalui dengan lancar, beberapa kali kami terpaksa menghentikan sesi pemotretan saat Rakha minta istirahat. Aku yang hamil saja nggak pernah merasakan lelah eh dia laki-laki malah sibuk dengan keringat yang menurutnya membuat penampilannya jelek saat difoto serta makanan kecil yang selalu dikunyahnya dan entah kenapa setiap sesi pemotretan membuatku kembali teringat saat-saat kami duduk di bangku SMA.
"Sudah?" tanyaku saat fotografer memberi tanda semua prosesi pemotretan akhirnya selesai.
"Sudah mbak," balasnya. Aku pun membuang napas dan langsung duduk di kursi untuk melepaskan rasa penat.
Fotografer, penata busana dan hairstylish pun minta izin untuk pulang. Aku yang kelelahan pun memilih duduk sebentar di taman sekalian merenggangkan otot-otot kaki yang terasa kaku.
"Capek? Mau gue pijitin?"
"Boleh."
Perlahan-lahan Rakha mulai memijat bahuku.
"Nggak kerasa ya sudah lebih 12 tahun kita kenal dan bulan depan elo jadi bini gue dan nggak lama setelah kita nikah elo bakal jadi enyaknya anak gue."
Aku mencoba menghitung dan Rakha benar, ternyata sudah 12 tahun aku mengenalnya.
"Iya, dari elo yang dulunya cupu sampai elo yang sekarang m***m pun sudah gue kenal, kenapa bahas masalah itu?" aku memutar kepala untuk memintanya duduk di sampingku.
Rakha lalu duduk di sampingku.
"Dan gue bentar lagi jadi babehnya anak yang sedang elo kandung, nggak nyangka aja kalo hubungan kita bisa berubah sedratis itu karena hubungan satu malam, gila nggak?"
Aku membuang napas. Nasi sudah jadi bubur dan bulan depan si b*****g homo akan menjadi suamiku.
"Elo nggak nyesal?"
"Nyesal kenapa?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Nggak, maksud gue hubungan elo sama si orang Padang gimana?"
Rakha lalu merebahkan badannya lalu meletakkan kepalanya di pahaku.
"Gue putusin."
"Terus dia terima? Gue nggak mau ya nantinya mantan-mantan homo elo ganggu hidup gue."
Senyum tersungging di wajahnya, rambutnya menutupi sebelah mata karena hembusan angin malam dan reflek aku merapikan rambutnya.
Sial! Kenapa kami jadi romantis begini di tengah taman berhias lampu remang-remang. Rakha memegang tanganku lalu kami sama-sama meletakkan tangan kami di atas perutku.
"Kayaknya Tuhan pengen gue tobat makanya dia menitipkan bayi di rahim elo."
Bulu kudukku berdiri.
"Cong, kok perasaan gue nggak enak ya."
"Ternyata gue bisa romantis juga ya sama perempuan, elo terharu kan?"
Beuh.
"Bukan."
"Anak sekolah ngapain masih keliaran malam-malam! Pakai acara elus-elus perut segala, kalian mau berbuat m***m ya. Ayo ke kantor!"
Firasatku ternyata benar, di depan kami berdiri beberapa orang petugas satpol PP dengan wajah menyeramkan menatap kami dengan tatapan menuduh. Aku berusaha menjelaskan kalau kami sedang melakukan prewedding dengan tema anak sekolah tapi mereka tidak percaya karena aku nggak bisa memperlihatkan KTP yang tertinggal di mobil.
Rakha? Bukannya menjelaskan dia malas asyik tertawa.
"RAKHA! GARA-GARA ELO KITA DI GEREBEK SATPOL PP!"
****