4. Harapan dalam Kesesakan

1599 Kata
Akhir kelas Studi Mandiri di pertemuan keempat ini kembali berakhir seperti pekan sebelumnya. Girish lagi-lagi menahan Ry setelah kelas berakhir karena ada yang perlu dibicarakan dengan gadis itu. "Kenapa lagi, Pak? Saya kan udah dateng tepat waktu," ujar Ry lesu ketika menghampiri meja dosen.   "Memang. Tapi kamu belum menyerahkan judul untuk proposal," sahut Girish datar. "Proposal apa ya, Pak?" tanya Ry lugu. "Pra TA." Girish sungguh tidak mengerti isi kepala gadis ini. Bisa-bisanya ia mengambil  Studi Mandiri yang notabene adalah kelas persiapan untuk mengambil Tugas Akhir, tanpa tahu tujuan keberadaannya ada di kelas ini. "Semua sudah mengumpulkan judul, tinggal kamu yang belum." "Deadline-nya hari ini, Pak?" "Minggu lalu." "Haish!" seru Ry terkejut. Ini namanya bukan terlambat lagi, tapi sudah basi! "Kapan paling telat, Pak?" "Hari ini." "Haish!” Kembali Ry berseru antara jengkel dan panik. “Yang bener, Pak! Kok, saya enggak tahu apa-apa?" “Salah sendiri kamu selalu datang terlambat!” ujar Girish kejam. “Bagaimana bisa tahu kalau ada di kelas saja kamu hampir tidak pernah?” “Tapi enggak ada yang kasih tau saya juga, Pak!” balas Ry berani. Jawaban Ry mulai memancing kekesalan Girish. Heran, bisa-bisanya ada mahasiswa model begini. Sudah tidak tahu apa-apa, malas, berani kurang aja pula. “Salah sendiri kamu tidak usaha bertanya! Memangnya siapa yang berkewajiban memberi tahu kamu?” “Bapak!” celetuk Ry tanpa dosa. “Saya?!” Girish mendelik jengkel lalu berujar kejam. “Memangnya saya bapakmu!” “Ya, bukan! Tapi Bapak kan dosennya!” Ry belum habis akal menyahuti Girish. “Saya dosen, bukan guru SD yang harus kejar-kejar murid bermasalah!” “Ya, kalau enggak kan harusnya anak lain bisa kasih tau saya, Pak.” “Memangnya mereka semacam asisten pribadi atau manager yang dibayar untuk mengurus kamu!” bentak Girish. Kekesalannya sudah semakin menjadi. “Ya, bukan! Tapi kan rasa setia kawan gitu, Pak.” “Tidak ada yang seperti itu di dunia perkuliahan. Lagi pula, kenal dengan anak lain saja rasanya kamu tidak.” “Iya, deh, iya! Saya yang salah. Tapi sekarang gimana dong, Pak?” Girish mengangkat bahu tidak peduli. Ini bukan salahnya. Bukan urusannya. "Pikirkan sendiri! Pokonya saya tunggu sampai jam 12 malam." "Kalau lewat failed?" "Bukan. Besok saya akan paksa kamu bertapa di sebelah saya sampai dapat judul." "Enggak ada yang lebih ngeri, Pak?" Masih mending mengulang saja daripada harus terus-menerus menempel erat dengan dosen galak ini. Bukannya dapat ide untuk pengajuan judul, yang ada Ry malah tambah karatan. "Banyak," ujar Girish dengan nada mengancam. "Sekarang cepat kamu mulai pikirkan judul yang baik untuk proposal Pra TA kamu. Setiap satu jam saya akan kirim pesan ke WA kamu untuk mengingatkan." "Emang Bapak tau nomor saya?" Tanpa sadar bulu kuduk Ry mulai meremang. Girish tersenyum licik. "Untuk apa ada data mahasiswa di sekretariat?" "Bapak jagoan," puji Ry sambil bergidik. "Saya kelas dulu." Dan Girish meninggalkan Ry yang masih termangu di tempat, sibuk memikirkan waktu-waktu ke depan yang akan penuh tekanan. Lepas dari Girish, selanjutnya Ry masuk ke kelas MDI 5 yang dipegang oleh Alsaki. Ry sungguh tidak mengerti bagaimana caranya ia bisa sesial ini? Mengapa akhir-akhir ini Ry merasa hidupnya selalu dikejar-kejar oleh kedua dosen itu? Ganteng memang, Ry harus akui itu. Namun, masalahnya mereka beredar di sekitar Ry untuk menagih tugas, seakan terus mengingatkan dosa-dosa tunggakannya. Dan yang lebih sial lagi, setiap hari Senin kelas keduanya selalu berturutan, membuat Ry mulas saja.  Maka, ketika tiba saatnya kelas MDI 5 berakhir, Ry merasa seolah surga datang menjemputnya. Ia berjalan menuju foodcourt bersama keempat pemuda yang jadi teman sekelompoknya di MDI 5 setelah kelas berakhir. Ada Riki si ramah yang cerewet, Ikim si lucu menyebalkan, Damar si sok pintar, dan Tio si pendiam. "Mau makan, Kak?" tanya Ikim. "Iyalah! Laper edun!" sahut  Ry tanpa ragu. Dipaksa berpikir sepanjang 150 menit membuat Ry cekot-cekot. "Otak gue kayak dipelintir-pelintir hari ini." "Makan apa kita?" ujar Damar. "Mi jumbo pake telor kornet keju plus cabe yang banyak kayaknya maknyos!" Belum lagi merasakan sensasinya di mulut, Ry sudah ngiler. "Buset! Enggak salah tuh, Kak?" Riki melotot ngeri. Biasanya perempuan itu makannya porsi mungil, kenapa Ry malah seperti tronton? "Enggaklah!” protes Ry. “Gue butuh banyak asupan gizi. Makan banyak aja gue b**o, gimana kurang makan?" "Yuklah! Cari meja dulu!" ajak Damar. "Wadaw!" seru Ry tiba-tiba. Refleks ia mengerem langkah lalu putar arah. "Kenapa, Kak?" tanya Riki bingung. "Gue pergi aja!" Damar yang kepo langsung menghadang langkah Ry. "Katanya laper?" "Mendadak enggak jadi." Ry mendorong Damar ke samping lalu melanjutkan niatnya kabur. Namun, langkahnya berat. Kerah bajunya ditarik dari belakang dan membuat leher Ry tercekik. "Duh! Apaa, sih? Lepas, dong!" "Kamu mau ke mana, Ivory?" Mengenali suara orang yang bertanya padanya, sontak Ry menjerit. "Gawat!"  Ada satu suara lain yang terdengar akrab bertanya sambil tertawa. "Apanya yang gawat, Ry?"  Perlahan Ry memutar tubuh dan kini tampaklah di hadapannya sepasang dosen ganteng yang banyak digilai mahasiswi desain. "Eh, Bapak! Siang, Pak!" Ry meringis ngeri. Perutnya yang tadi kelaparan mendadak kenyang, bahkan berubah mulas. "Kamu mau ke mana?" tanya Girish ketus. "Ke sana, Pak." Ry menunjuk ke belakang. "Bukannya mau makan?" goda Alsaki. "Enggak jadi, Pak. Ada urusan mendadak," dusta Ry. "Kamu takut ketemu Girish, ya?" tanya Alsaki geli. "Eh, hebat bisa tau!" seru Ry terkejut, lalu segera menyadari kesalahannya. "Ops!" "Keliatan dari muka kamu, Ry." Alsaki tergelak kencang sambil menepuk bahu Girish. “Lo emang enggak pernah gagal bikin orang takut, Rish!” Girish tidak menjawab, hanya mengedik santai. “Saya permisi ya, Bapak-bapak sekalian!” ujar Ry cepat. Alsaki dengan gesit menyambar tali tas serut Ry. "Udah terlanjur ketemu, enggak usah kabur. Sini ikut makan sama saya dan Girish, nanti saya traktir." "Traktir air mineral, Pak?" tebak Ry. "Emang saya kayak kamu?" balas Alsaki tersinggung. "Serius Bapak mau traktir saya?" tanya Ry penuh harap. Perutnya tidak akan menolak rejeki semenarik ini meski harus tersiksa melihat wajah Girish. "Iya. Kamu mau apa?" "Mi jumbo pake telor kornet keju plus cabe." Kedua dosen itu sontak bengong. "Kenapa, Pak? Banyak, ya?" Ry terkekeh malu. "Bukan soal banyaknya, tapi enggak ada gizinya," sahut Alsaki. "Tidak heran kamu susah lulus, asupan nutrisi saja minim," celetuk Girish kejam. Pada akhirnya, Alsaki sungguh mentraktir Ry, memilihkannya makanan tinggi nutrisi yang dipercaya akan membuat otak gadis itu sedikit tertolong. Steak salmon dengan kentang tumbuk, salad udang saus alpukat, dan puding cokelat bersalut fla. Baru saja pesanan mereka datang dan Ry mulai menikmati suapan pertamanya, Girish sudah mengajukan pertanyaan maut. "Sudah ketemu judulnya?" "Ya, Lord!” desah Ry putus asa. Hampir saja ia tersedak. “Baru juga Ry nelen sesuap, Pak." "Kenapa, selera makan kamu hilang?" tanya Girish ketus. "Enggak, sih! Malah makin laper. Maksudnya, Ry itu belum juga sempet mikir, Pak. Udah ditagih lagi aja." "Sini saya bantuin, deh!” ujar Alsaki tiba-tiba. "Ih, Bapak baik banget!" seru Ry dengan mata berbinar.  "Coba, pikirin ide kamu, nanti saya kasih masukan." "Harapan dalam Kesesakan." Ry menyuarakan ide yang tiba-tiba melintas di benaknya. "Hmpt!" Alsaki refleks membuang pandang ke samping lalu menunduk. "Uhuk!" Girish yang sedang minum jadi tersedak. "Loh, pada kenapa?" Ry kebingungan melihat tingkah kedua dosen itu. "Ada yang salah?" Girish bertanya setelah batuknya reda. "Itu judul proposal?" "Iya, itu yang kepikiran. Kenapa?" "Kayak judul buku motivasi," gumam Alsaki yang masih kesulitan mengatasi tawanya. Girish mengangkat kedua alisnya kemudian ikut bergumam juga. "Terdengar seperti buku perjalanan spiritual." "Malah diledek," protes Ry jengkel. "Bukan diledek. Cuma kaget," ralat Alsaki. "Coba utarakan maksud kamu, barangkali saya bisa bantu," ujar Girish serius. Bagaimana juga, ia harus membimbing gadis ini. "Maksudnya saya mau bikin desain tempat sempit tapi nyaman. Jadi orang-orang yang punya lahan sempit, bisa tetep hepi. Tempat nyaman tuh bukan cuma yang luas. Gitu, Pak." "Ah, small space design maksud kamu?" terka Alsaki. "Iya kali." Ry mengangkat bahunya cuek. Tidak banyak ruang di otaknya untuk mengingat istilah-istilah rumit dalam desain. "Dibayangan saya mau bikin tempat yang multifungsi gitu, kayak ruang tamu yang bisa merangkap tempat tidur." "Sudah banyak yang seperti itu. Lagi pula, untuk TA lahan yang disediakan luas," ujar Girish. "Ya, kalo gitu saya buatnya bukan rumah." "Terus?" cecar Girish. "Misalnya kantor." "Mau kamu buat bagaimana kantornya? Ingat, harus berbeda!" Girish mengingatkan. "Ya, misalnya kubikel yang bisa alih fungsi buat meja makan gitu. Jadi orang kerja tinggal duduk aja di tempat yang sama. Waktunya makan siang, tring! Berubah jadi meja makan deh!" "Bagus juga, sih idenya!” Alsaki mengangguk kecil. “Tapi realisasinya tidak mudah. Lagian orang jadi tidak sehat kalau terus-terusan diam di meja kerjanya sepanjang hari," imbuh Girish. "Bikin aja kursi kerjanya bisa buat workout sekalian," sahut Ry. "Menarik juga." Alsaki kembali mengangguk. "Terus misalnya ruang meeting yang bisa alih fungsi jadi sport center. Intinya hemat penggunaan ruang, kan kalo di kantor-kantor suka banyak ruang kosong enggak kepake." Girish mengambil waktu sejenak untuk memikirkannya lalu akhirnya memutuskan. "Idenya cukup menarik, pikirkan judulnya." "Ya, yang tadi itu yang kepikiran sama saya." Alsaki menggeleng cepat sebelum Ry kembali menyebut judul absurd dan membuatnya terbahak parah. "Jangan yang tadi!" "Coba angkat topik tentang transformasi," usul Girish. "Nah, itu bisa! Tentang gaya hidup juga," celetuk Alsaki. "Transformasi Gaya Hidup," gumam Ry. "Hm, sudah terdengar cukup baik. Tinggal tambahkan, desain spesifik kamu di bidang apa," ujar Girish lagi. Ry memejamkan mata sambil menikmati gurihnya salmon berpadu udang di mulutnya. Lalu, tiba-tiba saja sebuah judul melintas dalam benaknya. "Transformasi Gaya Hidup Perkantoran." "Cakep!” Alsaki langsung menjentikkan jari lalu menyikut Girish. “Catet, Rish!" "Eh, serius?” Ry mengerjap tidak percaya. “Gitu aja judulnya, Pak?" "Memang mau bagaimana lagi?" Ada senyum samar di wajah Girish ketika mengatakannya. Ry masih terus menatap tidak percaya. Semudah itu?  Alsaki mengangguk kemudian berkedip jenaka. "Kamu hutang budi sama saya, Ry."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN