Akbar yang mulai makan hanya mendengarkan. Dirinya dan Saga memang tidak bisa dibilang jauh, tapi juga tidak dekat. Berinteraksi hanya seperlunya saja. Akbar sebenarnya juga tidak membenci Saga, walaupun semenjak kecil sudah di doktrin dengan cerita buruk mengenai ibunya Saga yang tega masuk dalam rumah tangga sang mama. Bu Rista ingin agar Akbar pun membenci adiknya. Namun tidak bisa, kendati mengakrabi Saga juga tidak dilakukannya.
Mamanya ingin mereka saling membenci, tapi sang papa selalu mengajarkan pada dua putranya untuk selalu peduli dan mengasihi satu sama lain.
"Bar, kamu belum dapat kabarnya Nara?" Bu Rista bertanya pada sang putra yang duduk berhadap-hadapan dengannya.
"Ma," tegur Pak Norman. Merasa tidak enak dengan Melati.
"Cari tahu, Bar. Jangan sampai dia pergi karena mendapatkan ancaman." Bu Rista tidak peduli dengan terguran suaminya. Bahkan dia tidak peduli dengan Melati yang ada di sana. Terus saja bicara pada Akbar.
"Nggak ada kabar, Ma. Keluarganya juga nggak tahu," jawab Akbar.
"Mana mungkin nggak tahu?"
"Entahlah."
Melati yang tengah menyuap nasi, merasakan kenyang mendadak. Selera makannya lenyap sudah. Walaupun terbiasa dengan perlakuan seperti itu, tapi tetap saja merasakan sesak.
Nara yang pergi, Melati yang disalahkan. Bahkan oleh suaminya sendiri.
"Apa yang kamu katakan pada Nara? Kamu menyakitinya?" tanya Akbar dengan tatapan menyelidik.
"Untuk menentang tatapanmu saja aku nggak mampu, Mas. Bagaimana mungkin aku berani menyakiti perempuan yang kamu cintai." Melati membela diri.
Sekalipun terluka, marah, benci pada gadis cantik itu, tapi Melati bisa apa. Selain diam memendam segalanya sendirian. Diam dan diam. Bagi Melati itu adalah selfcare terbaiknya.
Mereka masih asyik berbincang, tentang calon menantu yang kabur, tentang perkebunan dan hasil pertemuan Akbar dengan PT Adi Karsa kemarin.
Sementara selesai sarapan, Melati beranjak ke dapur untuk menyiapkan bekalnya sendiri yang akan dibawa ke perkebunan. Jarak rumah mereka ke kebun teh sekitar lima belas menit perjalanan.
"Kamu nggak bareng sama mas saja?" tanya Akbar melihat Melati mengambil motornya di garasi.
Melati tidak menjawab. Namun ia mengembalikan motor ke tempat semula. Jika Akbar mengajaknya bareng, sudah pasti laki-laki itu langsung ke perkebunan. Tidak ada urusan ke luar.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan. Melati tidak akan berbasa-basi karena Akbar mungkin tidak menyukai suaranya lagi. Apalagi mendengarnya bercerita panjang lebar akan sesuatu yang tidak ingin diketahui. Hal remeh yang tidak bermakna lagi.
"Mas mau keluar kota Minggu depan. Kamu mau ikut?" Akhirnya Akbar yang mulai bicara.
"Ke mana, Mas?"
"Surabaya."
Melati mengangguk sambil tersenyum. Lantas kembali mengalihkan pandangan pada kebun sayur di sisi jalan.
Akbar memandang sang istri. Ada rasa bersalah telah menyakiti hati Melati, tapi ia tidak bisa menepis sosok Nara yang membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya.
Sesampainya di kebun teh. Melati langsung masuk ke kantor, sedangkan Akbar menemui beberapa pekerjanya yang berada di gudang.
Di sana bertemu Ana dan mereka kembali sibuk dengan rutinitas harian.
"Mbak, tadi Budhe Tami tanya tentang Mbak Melati." Ana menggeser kursi dan berkata lirih pada saudaranya. Khawatir jika Akbar mendengar, karena Ana tahu kalau Melati datang bersama suaminya.
"Tanya gimana?"
"Ya, tanya keadaan Mbak bagaimana. Budhe khawatir, Mbak."
"Bilang kalau aku baik-baik saja, An. Nggak usah nyemasin aku. Bilang ke Budhe, ya. Besok atau lusa aku akan ke sana."
Ana mengangguk kemudian menggeser kursinya lagi karena Akbar masuk ruangan. Lelaki itu langsung duduk meja kerjanya. Membuka laptop dan mulai serius mengamati layar bening.
Melati dan Ana juga sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ana turut merasakan perubahan yang sangat kentara. Biasanya Akbar sangat romantis pada istrinya. Perlakuannya membuat iri siapapun yang melihat. Namun segalanya telah berubah begitu cepat. Bagai sihir yang melenyapkan segala yang tampak di depan mata.
"Mel, mas pergi dulu." Akbar mendekati sang istri untuk berpamitan.
"Ya," jawab Melati singkat. Tanpa bertanya ke mana Akbar hendak pergi.
Tidak lama setelah Akbar berlalu, Saga datang.
"Kenapa kamu kerja? Kamu lagi sakit 'kan!" tegur Melati.
"Nggak ada yang gratis di sini. Kalau ingin dihargai dan tetap bisa makan, harus kerja," jawab Saga sambil duduk di kursinya.
"Pergilah ke dokter. Aku khawatir kalau lukamu itu berbahaya. Siapa tahu pisau itu beracun."
"Aku sudah kebal, Mel."
"Jangan sombong. Jika terjadi apa-apa kamu yang bakalan menyesal nanti."
Saga tertawa. "Kalau memang dikehendaki mati, mungkin aku sudah mati sejak masih di dalam kandungan ibuku. Sudahlah jangan khawatir. Aku nggak apa-apa. Kalau aku mati pun, mungkin kamu saja yang akan menangisi jasadku."
Begitu santainya Saga bicara, tapi membuat mata Melati berkaca-kaca. Perempuan itu tahu semua penderitaan Saga. Juga tentang preman-preman bak siluman yang selalu menyerang Saga. Mungkin mereka bukan preman biasa. Namun Saga tidak mau melaporkan ke pihak berwajib.
"Ga."
"Apa?"
"Sudah waktunya kamu bertindak. Laporkan ke pihak berwajib tentang penyerangan terhadapmu. Kamu nggak bisa berdiam diri terus."
Saga tersenyum samar. "Nggak apa-apa. Doakan saja aku mampu menghadapi mereka."
"Sampai kapan?"
"Sampai mereka bisa mengambil nyawaku."
"Gila kamu, Ga. Ngomong ngelantur nggak karuan." Melati menatap tajam menahan geram pada adik iparnya. Namun Saga justru sangat santai. Menganggap hal yang menimpanya adalah sesuatu yang biasa.
Hening. Saga sibuk membalas pesan di ponselnya, sedangkan Melati kembali menekuni berkas.
"Aku mau lihat pengemasan teh yang mau dikirim besok," pamit Saga kemudian keluar ruangan. Berjalan ke arah barat. Ke gudang tempat aktivitas para pekerja.
Ana kembali mendekati Melati. "Kenapa Mas Saga nggak mau lapor polisi, Mbak? Itu kan tindakan kriminal."
"Aku nggak tahu, An. Mungkin dia sebenarnya sudah tahu siapa pelakunya?"
"Siapa?"
Melati menggeleng. "Entahlah. Hanya Saga yang tahu."
Gadis itu diam sejenak, kemudian kembali memandang saudaranya. "Mbak, ibu dan ayahku ngobrol tadi malam. Ngobrolin tentang, Mbak."
"Ngobrolin gimana?"
"Kalau tersiksa begini terus, apa nggak sebaiknya Mbak Melati berpisah saja. Maaf itu hanya obrolan mereka, karena kasihan pada, Mbak."
Senyum menghiasi bibir Melati. "Nggak apa-apa, An. Makasih karena sudah peduli. Selagi bisa, aku akan bertahan."
"Jangan memaksakan diri, Mbak. Seumur hidup dalam pernikahan tak sehat, hanya membuang waktumu. Mbak, akan kehilangan banyak masa yang bisa Mbak gunakan untuk meraih kebahagiaanmu."
Melati menepuk bahu Ana. Baginya tidak ada manusia yang bisa terbebas dari ujian. Semua akan mengalami sesuai porsi dan berjuang dalam ujiannya masing-masing. Dan ujian untuknya tak tahu sampai kapan.
Next ....