Waktu yang Hilang
- Menjaga Jarak
Jam sembilan malam keluarga Alita pamitan. Mereka menolak saat ditawari untuk menginap, karena Senin besok sibuk dengan rutinitas pekerjaan.
"Kok badanmu panas? Kamu sakit?" tanya Alita saat menyalami Saga di halaman rumah. Telapak tangan pria itu terasa panas di kulitnya. Nara mendongak menatap lelaki di hadapannya.
"Aku nggak apa-apa," jawab Saga sambil santai.
Melati yang berada tidak jauh dari mereka, memerhatikan Saga yang memang kelihatan pucat. Cahaya lampu di halaman menyoroti wajahnya yang tampak lelah.
"Ga, minumlah obat. Wajahmu kelihatan pucat gitu. Tadi sudah kubilang, sebaiknya kamu pergi ke dokter saja." Melati berkata lirih setelah mereka masuk rumah dan bertemu di ruang makan.
"Biasanya juga gini. Dua, tiga hari pasti sembuh sendiri."
"Tapi lukamu kali ini parah. Aku serius. Beda dengan sebelumnya." Melati mencoba meyakinkan Saga.
"Nggak apa-apa, jangan khawatir. Aku nggak akan mati semudah dan secepat itu, Mel. Oke, tidurlah." Saga melangkah ke arah kamarnya. Sedangkan Melati masih mematung sejenak, baru menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
"Apa yang kamu bahas dengan Saga tadi?" tanya Akbar yang menunggu Melati di puncak tangga.
Melati tidak kaget dengan teguran sang suami, ia terus melangkah ke kamarnya. Akbar mengikuti dan duduk di tepi pembaringan.
"Tadi Mbak Alita bilang kalau tubuh Saga panas, Mas. Makanya aku bilangin agar dia minum obat," jawab Melati sambil melepaskan jilbabnya. Mengambil piyama di lemari dan ganti pakaian di kamar mandi.
Di hadapan sang suami, ia merasa asing sekarang. Walaupun Nara memilih pergi, tapi apa perasaan Akbar bisa kembali utuh untuknya? Perasaan yang sudah terbagi itu, apa mungkin bisa membuat hubungan mereka seperti dulu lagi? Bukankah sang suami masih terus berusaha mencari perempuan itu.
Melati merasakan sesak dalam dadanya. Andai dia punya kekuatan untuk menentang, atau paling tidak memutuskan pergi saat cinta untuknya dibagi. Namun sayangnya dia harus bertahan dalam luka-luka yang menganga.
Ingat ketika sang suami bilang ingin menikahi perempuan yang dipacarinya diam-diam. Terasa runtuh dunianya. Perempuan yang lebih muda setahun darinya itu sangat cantik dan modis. Pantas saja Akbar kepincut. Dirinya yang sederhana memang tidak sebanding dengan Nata. Tapi jika selera Akbar seperti gadis itu, kenapa dulu menikahi dirinya? Bukankah banyak rekan kuliah yang cantik-cantik dan anak orang kaya?
Setelah diam beberapa saat, Melati keluar dari kamar mandi. Menyusul suaminya yang telah berbaring di ranjang. Lelaki yang baru pulang dari luar kota itu memejam. Kelelahan setelah perjalanan panjang.
Melati mengambil posisi miring menghadap dinding. Pernikahan yang hambar. Tak ada lagi kemanisan kecuali dia diinginkan untuk memuaskan Akbar. Lantas untuk apa dia dipertahankan? Apa karena perempuan pujaannya itu pergi, jadi daripada kehilangan keduanya, lebih baik mempertahankan yang ada. Meski tinggal separuh rasa.
Ia ingat enam tahun yang lalu. Saat berdua mendengarkan nasehat pernikahan dari seorang petugas penasehat di Kantor Urusan Agama. Apa tujuan menikah, apa hak dan kewajiban suami dan istri. Juga memaparkan segenap permasalahan yang bisa saja terjadi di sepanjang menjalani pernikahan, sekaligus bagaimana cara menyelesaikannya.
Dulu Melati sangat bahagia karena Akbar memperjuangkannya hingga bisa diterima sang mama meski itu sungguh terpaksa. Tidak terpikirkan sedikit pun oleh Melati bahwa perjanjian pernikahan mereka akhirnya ternodai oleh perselingkuhan diam-diam suaminya. Pengkhianatan yang menyeretnya menandatangani surat izin berpoligami.
"Kamu berhak untuk tidak setuju, Mel. Sesekali egoislah untuk mempertahankan apa yang menjadi milikmu. Kadang mengabaikan perasaan orang lain itu perlu. Agar dia tahu bagaimana menghargaimu," kata Saga dikala Melati diminta menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk dipoligami. Sebab Nara, si gadis cantik itu tidak ingin dinikahi secara siri.
Namun Melati tidak bisa mengikuti saran adik iparnya. Ia akur pada keinginan sang suami yang didukung oleh ibunya sendiri.
"Kamu ikhlas?"
Melati tersenyum aneh. Antara terluka dan senyum ejekan untuk dirinya sendiri. "Jangan bicarakan tentang ikhlas, Ga. Ikhlas itu menjadi rahasiaku dengan Tuhanku."
Sebab pada hakekatnya, tidak semua perempuan bisa ikhlas di duakan. Apalagi di duakan sepanjang hidup.
"Kalau itu keputusanmu, mulai sekarang terbiasalah tanpa semua yang kamu dapatkan selama ini. Matikan rasa jika perlu. Karena aku tahu, bagaimana rasanya hidup berbagi, Mel." Saga bicara padanya suatu malam. Disaat keluarga sibuk mempersiapkan pernikahan kedua Akbar.
Terkadang perasaan ingin menang itu memang ada. Makanya sedaya upaya, Melati menarik perhatian sang suami. Siapa tahu Akbar akan menyadari dan mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Melati berdandan tiap malam, menyodorkan diri, tersenyum manis meski hatinya remuk redam. Namun ketika Akbar yang tergila-gila pada Nara enggan menyentuhnya, Melati memilih mundur. Merasa tidak ada harga dirinya lagi di hadapan suami. Di pikir-pikir, seperti Pela*ur yang menjajakan diri.
Sampai sekarang, Melati benar-benar membentengi diri. Menjaga jarak, meski masih mengurusi suaminya dengan baik. Semuanya, mulai dari menyiapkan makan, pakaian, memotong kukunya, hingga urusan ranjang dikala diinginkan.
Namun Melati berhenti bicara jika tidak diperlukan. Memilih diam karena perasaannya tak lagi berharga.
***LS***
"Ini obat untuk siapa, Mbok?" tanya Melati pada Mbok Sarwi saat melihat ada Paracetamol di sebelah gelas teh atas nampan.
"Untuk Mas Saga, Mbak."
Melati menoleh pada kamar yang masih tertutup rapat. Pasti Saga tengah demam akhibat lukanya kemarin.
"Suruh sarapan dulu, Mbok, sebelum minum obat."
"Sudah, Mbak. Tadi minta dibuatin mie kuah."
"Oh, ya sudah."
Mbok Sarwi ke kamar Saga, sedangkan Melati melangkah ke kamar putrinya. Moana ternyata masih pulas tidur di baby crip-nya.
"Tadi udah bangun minta s**u, Mbak. Terus tidur lagi," ujar Tini yang tengah melipat pakaian majikan kecilnya.
"Ya, nggak apa-apa." Melati menghampiri Moana. Mengusap pipinya pelan. Menciumnya, lantas keluar kamar.
Tugasnya hanya melahirkan, soal pengasuhan dan segala urusan mengenai Moana dilakukan oleh ibu mertua. Makanya andai dia memilih bercerai dari Akbar, jelas tidak akan bisa mendapatkan hak asuh anaknya meski Moana masih di bawah umur. Jangankan hak asuh, mungkin tidak akan diperbolehkan bertemu dengan bidadari kecilnya.
Melati kembali ke ruang makan, membantu Mbok Kiyem menyiapkan sarapan.
Di rumah besar itu ada dua asisten rumah tangga yang sudah sejak dulu bekerja pada keluarga Akbar. Seorang supir yang mengantarkan sang mertua jika ada keperluan di luar. Sekarang di tambah Tini yang dibayar untuk menjaga Moana.
Akbar turun dan duduk di meja makan. Pria itu sudah rapi dan wangi. Melati mengambilkan piring dan menaruh di hadapan sang suami. Tidak lama keluar Pak Norman beserta istrinya. Seperti biasanya, mereka akan sarapan bersama setiap pagi.
"Saga mana, Mbok?" tanya Pak Norman pada Mbok Kiyem.
"Mas Saga sedang sakit, Pak. Tapi tadi sudah sarapan dan minum obat."
"Sakit apa dia?"
"Demam," jawab Mbok Kiyem kemudian kembali ke dapur.
Pak Norman hendak bangkit, tapi di tahan oleh sang istri. "Sarapan dulu, Pa. Biar saja anak susah di atur itu. Suka sekali berkelahi. Apa ingin menunjukkan kalau dia paling jagoan?" omel Bu Rista seraya mengambilkan nasi untuk suaminya.