Ditariknya napas dalam-dalam. "Jika dia menginginkan menjadi ratu satu-satunya, aku bisa apa? Melihatmu terluka seperti ini, aku tahu betapa dalamnya perasaanmu padanya. Jika Mas masih mencintaiku, nggak akan ada perempuan lain di antara kita. Nggak perlu Mas jelaskan rasamu padaku sekarang seperti apa? Aku sudah tahu tanpa kamu ungkapkan."
"Mel." Akbar hendak meraih Melati dalam dekapannya. Namun wanita itu menolak. Kemudian melepaskan mukenanya.
"Kita harus bersiap, Mas. Sebentar lagi akan ada tamu. Ayo!" Melati berdiri sambil mengusap air matanya. Melipat mukena dan menaruhnya di rak pojok kamar.
Akbar memperhatikan wanita yang pernah membuatnya tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Gadis cantik yang saat menikah dengannya baru berumur dua puluh tahun. Perempuan yatim piatu yang sederhana dan sopan. Karyawan kantor papanya dengan ijazah lulusan D1.
Meski sang mama menolak mentah-mentah karena Melati tak sepadan dengan putranya yang lulusan S2. Juga karena status sosial mereka yang jauh berbeda. Namun Akbar sangat gigih memperjuangkannya hingga mereka bisa menikah. Namun perkenalannya dengan Nara yang modern, ceria, kekinian, dengan tutur katanya yang manis dan manja, telah membuatnya kembali terjatuh dalam lembah asmara. Bersamanya Akbar merasakan bagaimana pandangan hidup yang berbeda. Yang tidak di dapatnya dari Melati.
Laki-laki itu bangkit dan melepaskan sarungnya. Dia menghampiri Melati yang tengah membuka lemari dan memilih busana untuk mereka berdua.
Baru saja melingkarkan lengan di pinggang ramping sang istri, Melati melepasnya pelan. "Aku mau ganti baju dulu, Mas," kata perempuan itu sambil tersenyum menatap suaminya. Kemudian bergegas masuk ke kamar mandi.
"Mel, kenapa nggak ganti baju di sini?"
Tidak ada jawaban dari dalam.
Sudah beberapa pekan ini, Melati merubah kebiasaannya. Tak pernah lagi lepas pakaian di hadapan Akbar. Kecuali di kala mereka hendak berhubungan. Bahkan setelah itu pun, sang istri lekas kembali mengenakan pakaiannya. Tidak seperti dulu, hanya di tutupi selimut dan Akbar bebas menyentuhnya.
Sementara di kamar mandi, Melati menepuk-nepuk pipinya di depan kaca. Menghalau kaca-kaca yang hendak menghambur keluar. Entah sampai kapan dia kuat bertahan. Rasanya sekarang saja sudah hendak tumbang.
Melati membasuh wajah. Melepaskan pakaian dan menggantinya dengan gamis warna biru dongker.
Wanita itu keluar kamar dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Sebab ia tahu, lelaki yang dulu begitu menginginkannya belum tentu menginginkan selamanya. Lelaki yang pernah memperjuangkannya, belum tentu akan terus mencintainya. Melati sudah merasakannya sendiri detik ini. Dan ia harus belajar untuk mengikhlaskan.
"Ganti bajumu dulu, Mas," kata wanita itu sambil duduk di depan meja rias. Mulai mengaplikasikan make up sekedarnya dan memakai jilbab.
Akbar mengganti baju koko yang biasa dipakai untuk salat dengan hem warna senada gamis yang dipakai oleh Melati.
Selesai bersiap, mereka keluar kamar. Disambut si kecil Moana yang sudah cantik dengan rok tutu warna merah jambu dan bando warna senada. Ada Tini yang mendandani tadi. Gadis yang menjadi pengasuhnya Moana.
"Mama."
Melati menggendong Moana, menciumi, dan mengajaknya melangkah ke ruang tamu. Di mana kedua mertuanya sudah duduk di sana. Namun Saga, yang memiliki kepentingan malah belum ada di situ.
"Tini," panggil Pak Norman pada perempuan yang baru saja menyuguhkan cemilan. Gadis itu berbalik.
"Panggilkan Mas Saga. Suruh ke sini cepat."
"Njih, Pak." Gadis itu terburu-buru melangkah ke belakang. Belum juga sampai ke kamar Saga, Tini berhenti. Sebab anak majikannya telah keluar kamar sambil mengancingkan ujung lengan kemejanya. "Bapak minta Mas Saga segera ke ruang tamu," kata Tini sopan.
"Ya."
"Om Aga, mo ke mana?" Moana turun dari pangkuan Melati kemudian memeluk kaki sang paman. Batita itu memang suka kalau diajak Saga keliling perkebunan dengan motor besarnya.
Saga meraih Moana dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Suara tawanya yang lucu begitu menggemaskan. Saga mengendong gadis kecil itu seraya menciuminya. Membuat Moana makin terkekeh geli.
Baru saja Saga duduk, suara mobil yang memasuki halaman membuat mereka semua menoleh. Pak Norman bangkit dari duduknya, diikuti oleh Bu Rista. Mereka menyambut tamu di teras.
Seorang gadis berambut sebahu, yang memakai celana jeans dan kaus lengan panjang turun dari pintu belakang. Diikuti perempuan seumuran Bu Rista. Dari samping kemudi turun laki-laki sepantaran Pak Norman. Mereka memang teman dekat waktu masih kuliah dulu. Kebetulan anak-anak mereka juga seumuran dan kuliah di tempat yang sama.
"Ayo, masuk!" Pak Norman merangkul pundak teman lamanya."
Dua keluarga saling bersalaman dan bertanya kabar. Alita tersenyum bahagia bersitatap dengan Saga. Tatapan gadis itu begitu memuja. Sementara Saga membalasnya dengan tatapan biasa. Baginya pertemuan malam ini tidak diinginkannya. Namun ia tidak bisa membantah kehendak sang papa.
Mereka berbincang-bincang sejenak. Pak Norman mengajak tamunya langsung ke ruang makan. Menjamu mereka lebih dulu karena dari perjalanan jauh, pasti sudah lapar. Dari Jogjakarta langsung ke Malang dan nanti pulang ke Surabaya.
"Moa, sini ikut mama." Melati mengambil si kecil dari gendongan Saga.
"Mbak Alita cantik, Ga," ucapnya lirih pada adik ipar.
Saga memandang perempuan yang melangkah di sebelahnya. Tanpa menanggapi ucapan Melati.
Canda tawa mewarnai jamuan makan malam. Sekaligus membicarakan rencana lamaran Saga untuk Alita ke Surabaya.
"Kira-kira kapan waktu yang tepat untuk menerima kedatangan kami ke Surabaya?" tanya Pak Norman di tengah-tengah mereka menikmati hidangan.
"Kapan, Ma?" Laki-laki berkepala botak itu memandang ke arah sang istri.
"Minggu depan ini kami masih ada acara nikahan kan, Pa. Gimana kalau dua Minggu saja dari sekarang? Atau coba kita serahkan pada Alita dan Saga untuk memutuskan?" Bu Handoyo menatap putrinya dan Saga secara bergantian.
"Oke, gimana, Ga?" Pak Norman memandang sang anak.
"Jangan dalam waktu dekat, Pa."
"Lebih cepat lebih baik, 'kan," bantah sang papa.
Saga memandang Alita. Gadis yang tampak kecewa karena perkataan Saga tadi, hanya diam memandanginya. Kenapa lelaki yang membuat hatinya terpikat semenjak di bangku kuliah itu terlihat tidak seantusias dirinya. Padahal kalau ngobrol di telepon, Saga sangat hangat berbincang dengannya.
"Kenapa di undur? Yang penting kalian tunangan dulu. Biar ada ikatan gitu." Bu Rista yang semenjak tadi diam, akhirnya ikut bicara. Meski hanya sekedar basa-basi. Ingin menunjukkan bahwa ia juga peduli meski Saga bukan dari dagingnya sendiri.
"Betul kata Jeng Rista. Lagian pernikahan bisa dilaksanakan setelah Alita wisuda S2 nanti. Tinggal setengah tahun lagi Lita lulus." Bu Handoyo menimpali. Wajah wanita umur lima puluh lima tahun itu terlihat semringah. Dia memang menyukai Saga sejak dulu. Ketika anak-anak masih duduk di bangku kuliah. Saga itu anaknya sopan dan tidak banyak tingkah. Walaupun ia tahu betul kalau Saga hanya putra dari istrinya Pak Norman yang lain.
"Gini aja, bulan depan kan ulang tahunnya Alita. Sekalian kita langsungkan pertunangan mereka di tanggal itu. Gimana?" saran Pak Handoyo, yang langsung disetujui oleh Pak Norman.
Pada akhirnya kesepakatan telah di buat. Saga akur pada keputusan. Walaupun entah kenapa, sisi hatinya yang lain merasa bimbang.
Next ....