BAB 15

1281 Kata
Putra merasa tak enak sekali dengan Hamdan karena sikap istrinya yang tak baik dan tak sopan itu. Ia benar-benar merasa tak memiliki muka untuk bertemu dengan keluarga baru adiknya itu. Rahma bahkan ikut emosi dengan ucapan Utari yang merendahkan Sekar. Utari yang terpojok merasa sangat kesal karena mereka jelas-jelas membela Sekar yang hanya benalu di keluarga ini. “Aku heran ya, kenapa kalian begitu membela Sekar, memang apa sih kelebihan Sekar? Sekar hanya wanita cacat, kenapa begitu terlihat istimewa, itu sangat menjengkelkan!” Putra benar-benar tersentak dengan ucapan sang istri. “Utari ….” “Sekar lebih dari pada kamu, apa yang Sekar miliki tidak mungkin bisa di miliki oleh orang seperti mu. Jangan pernah melihat fisik sebagai patokkannya lihat dulu hatimu itu, apakah sudah baik, atau lebih buruk dari wajahmu sendiri!” Putra, Rahma dan Sekar tersentak dengan kata-kata kejam yang terlontar dari mulut Hamdan. Utari sendiri shok mendengar itu dari mulut Hamdan yang selama ini ia kenal sebagai sosok dingin dan jarang bicara bila tak perlu. Dan sekarang, demi membela seorang cacat ia bisa mengatakan hal kejam seperti itu pada Utari? “Hamdan … kenapa kamu begitu membela Sekar? Dulu kamu tidak pernah seperti ini?” Rahma tersentak mendengar kata dulu. Ia melirik Hamdan yang terlihat sangat emosional. “Karena Sekar adalah istriku!” tegas dan jelas. Sekar meleleh, air matanya menetes dengan derasnya. Ia sangat bahagia mendengar kalimat itu dari bibir Hamdan. Tubuhnya bergetar dan kakinya semakin sakit namun, kebahagiaan hatinya mampu melupakan hal itu. Rahma diam-diam tersenyum mendengar ucapan sang suami yang mulai mengakui Sekar sebagai istrinya. “Kau dengar itu, Utari. Mas Hamdan adalah orang yang sangat menghargai istrinya dan Mas Hamdan bukanlah pria yang pemilih, kalau kamu pernah ada di masa lalu suamiku, artinya kamu benar-benar buruk karena tidak di pilih oleh suamiku!” semua orang terdiam dengan ucapan Rahma. Bahkan Putra pun menatap Utari seakan bertanya-tanya mengenai itu. Karena Putra memang tidak tahu tentang masa lalu Utari yang pernah menyukai Hamdan dan bahkan mungkin mengejar-ngejar cintanya. “Utari mari kita pulang.” Putra menarik lengan Utari dan pamit pada mereka. Utari berusaha berontak namun Putra benar-benar tak mau di buat lebih malu dari ini.   ****   Hamdan yang melihat Rahma menenangkan Sekar memilih untuk masuk kamar dan mandi. Ia merasa sangat panas dan emosional hari ini. Kenapa juga Utari bisa menjadi kakak ipar Sekar. Pantas saja jika Putra berubah pada Sekar pastilah karena pengaruh Utari sang ular itu. Hamdan menjambak rambutnya karena kesal Sekar di anggap remeh seperti itu. Padahal Sekar adalah wanita yang sangat hebat dan tabah. Mereka tidak tahu apa yang di alami Sekar selama ini bahkan sampai detik ini. Ia nampak baik-baik saja padahal ia sangat rapuh. Kenapa ada orang sejahat itu, orang yang melukai hati istrinya. Dan itu sulit untuk di maafkan. Bagaimana perasaan Sekar sekarang? Kenapa tidak ada kebahagiaan dari hidupnya. Haruskah Hamdan yang turun tangan untuk membahagiakan istrinya itu? Tapi bagaimana dengan Rahma? Dan lagi pula, Hamdan belum memiliki rasa pada Sekar hanya ada rasa kasihan di hatinya. Sial!!! Hamdan sendiri membuat istrinya sedih bagaimana mungkin ia bisa mengatakan hal buruk pada Utari. Padahal jelas masalah utama ada pada dirinya. Andai ia bisa mencintai Sekar juga pastilah hidupnya akan lebih bahagia kan? Dug!! Hamdan menjedotkan kepalanya ke dinding kamar mandi. Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang ternyata sama brengseknya dengan Utari. Dan bodohnya ia beru sadar sekarang. Dan sekarang Hamdan tidak tahu harus berbuat apa.   *****   Hamdan bangun dari tidurnya dan melihat Rahma yang sudah terlelap. Ia perlahan berdiri dan keluar dari kamar. Ia berdiri di depan kamar Sekar. Ia buka perlahan pintu kamar Sekar yang tidak pernah di kunci itu. Ia melihat Sekar terbaring dengan keringat dingin terlihat jelas di wajahnya. Hamdan langsung menyentuh kening Sekar dan kaget karena badan Sekar sangat panas. “Mama … Mama ….” Rintihan Sekar terdengar jelas di telinga Hamdan. Rahma terserang demam. Ia pun langsung membangunkan Sekar. “Sekar, hey, Sekar.” Sekar membuka matanya perlahan namun, yang ia lihat adalah bayangan sang Mama. Ia usap wajah Hamdan yang ia kira Mama nya. “Mama … Sekar nggak kuat,” ucapnya dengan lirih. Hamdan mengecup telapak tangan Sekar dan mencoba menyadarkan Sekar. “Sekar, ini aku Hamdan. Kita ke rumah sakit ya.” “Mama … Sekar sakit, Mah ….” Air mata Sekar semakin deras mengalir dan itu membuat kesadaran Sekar semakin kabur. Hamdan yang panik langsung membawa Sekar ke rumah sakit tanpa memberitahu Rahma lebih dulu. Ia benar-benar di serang rasa panik. Sekar langsung di tangani oleh Hans yang memang tengah mendapatkan shift malamnya. Hans melihat Hamdan nampak frustasi dan sangat khawatir. Lengan Sekar sudah mendapatkan infusan. “Istrimu akan baik-baik saja. Tenanglah.” “Bagaimana aku bisa tenang melihat istriku menderita seperti itu ….” “Hamdan, kamu harus terlihat lebih kuat agar istrimu mendapatkan aura positif itu dari mu. Bantu ia agar semangat kembali.” Hamdan mengangguk dan mengusap wajahnya agar kembali tegar. Hamdan masuk ke dalam kamar rawat Sekar dan melihat Sekar masih terbaring dengan lemah. Kedua matanya tertutup rapat dengan sedikit air di ujung matanya. Hamdan duduk di kursi dan teringat saat Sekar di rawat di rumah sakit dengan kondisi kritis. Seperti waktu itu, Sekar hampir tak ada kesempatan untuk hidup jika saja dirinya dan Rahma terlambat sedikit saja. Dulu, perasaan khawatirnya tak sebesar ini. Ia masih menganggap bahwa Sekar hanyalah sahabat sang istri tak lebih. Namun, sekarang ia merasa berbeda dari hari itu. Ia merasa sangat khawatir dan takut di tinggalkan. Banyak hal yang belum ia lakukan pada sang istri. Selama ini ia hanya mengecewakan dan membuat Sekar sedih dengan sikapnya yang dingin. Hamdan berjanji, jika nanti Sekar sadar ia akan bersikap baik pada Sekar. Ia tidak akan membuat Sekar sedih lagi. Ia raih jemari Sekar yang tak terdapat infusan. Ia usap jemari itu dan ia kecup. “Aku akan belajar untuk mencintaimu Sekar. Aku akan belajar ….” Air mata Hamdan tumpah di tangan Sekar. Ia terisak di sana. Sekar adalah wanita yang sangat hebat, kuat dan tabah. Seperti apa pun orang memperlakukan dirinya ia tetap bangkit dan sabar tanpa pernah membalas atau mendoakan hal buruk. Seperti kakaknya yang sudah meninggalkan dirinya saja masih ia sambut dengan baiknya. Ketulusan hatinya yang di permainkan oleh orang lain tak lantas membuatnya sakit hati dan membuatnya dendam. Ia tetap menjadi Sekar yang baik hati dan sabar. Pantaslah Rahma begitu menyayangi Sekar dan merelakan apa pun untuk kebahagiaan Sekar. Harusnya ia juga begitu, membantu kebahagiaan Sekar. Dan ia berjanji akan membahagiakan Sekar. “Mas ….” Hamdan tersentak dan langsung melihat ke arah Sekar, ia hapus air matanya dan tersenyum. “Kamu sudah sadar?” “K-kenapa aku di rumah sakit, Mas?” “Kamu terserang demam hebat, sampai tak sadarkan diri.” “Aku menyusahkan kamu lagi ya?” “Nggak sayang, kamu nggak nyusahin kok. Kamu kan istriku.” Sekar tersentak mendengar kata sayang dari bibir seorang Hamdan. “Mas ….” “Ya, sayang?” Kembali Sekar tersentak, jadi ia tak salah dengar. Atau Hamdan tengah berhalusinasi jika Sekar di anggap Rahma? “Aku bukan Rahma, Mas.” “Mas tahu.” “Tapi, kenapa Mas panggil aku ….” “Sayang?” Sekar mengangguk. “Karena kamu istriku lah, ya harus di sayang kan?” “Tapi, kan ….” “Sekar, dengar. Aku minta maaf dengan sikapku selama ini, bagaimana pun kamu adalah istriku, istri sahku. Aku salah telah mengabaikan mu, aku salah telah mengabaikan kewajibanku, aku benar-benar minta maaf untuk itu semua.” “Maksud, Mas, apa?” “Aku mau kita menjalin hubungan layaknya suami istri yang sah. Kamu mau kan?” Sekar tersentak dan tak bisa mengatakan apa pun. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN