BAB 14

1788 Kata
Tidak terasa 4 bulan sudah pernikahan Sekar dan Hamdan. Kehamilan Rahma pun sudah memasuki usia 7 bulan. Tidak seperti tradisi yang Sekar tahu,  Rahma membuat acara yang bernama Baby shower. Baby shower adalah acara yang sebenarnya hampir mirip dengan tujuh bulanan. Bedanya jika Baby Shower adalah tren masa kini yang tidak memerlukan adat dan tata cara yang rumit macam tujuh bulanan. Intinya baby shower di buat untuk pesta penyambutan si buah hati kecil dengan cara yang lebih modern. Sahabat, rekan dan relasi semua hadir di acara Rahma. Banyak sekali orang datang ke acara mereka. Memang acara di buat semeriahkan mungkin karena ini memang anak yang di tunggu-tunggu oleh Rahma dan Hamdan. Sejak pagi mereka nampak sibuk bersiap dan siangnya menerima tamu. Sementara Sekar ia tak mau terlihat oleh rekan Rahma dan Hamdan, ia memilih untuk membantu di dapur saja. Rahma dan Hamdan tak bisa memaksa Sekar karena ia tahu Sekar memang sangat pemalu, apalagi di rumah mereka kini terdapat banyak sekali tamu. Saat Rahma memakai gaun indahnya yang cantik, Sekar hanya memakai pakaiannya yang biasa. Ia benar-benar tak mau tampil di depan banyak orang. Sebenarnya Rahma ingin sekali Sekar menikmati acara ini dan menemani dirinya. Namun apa daya, Sekar menolaknya dengan alasan yang membuat Rahma tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rahma meminta Sekar untuk membuat kue yang ia suka dari kecil. Dan juga kue yang akan ia potong nantinya. Rahma tak mau kue dari buatan orang ia mau dari sahabatnya langsung. Hingga Sekar pun benar-benar sibuk di dapur di bantu beberapa pelayan lainnya dan juga pelayan bayaran yang di peruntukkan menjadi pelayan tambahan. “Nyonya, sungguh buat kue ini?” tanya sang asisten rumah tangga. “Ya, ini permintaan nyonya Rahma. Aku hanya membuat apa yang ia minta. Ia suka sekali dengan onde-onde. Memang kenapa?" tanya Sekar. “Ah, tidak apa-apa.” Sekar tersenyum dan kembali membuat onde-onde sebanyak mungkin. Saat kakinya mulai sakit, ia segera ke kamar dan meminum obatnya agar rasa sakitnya bisa hilang. Ia terus membuat kue hingga rasa lelah menghampirinya. Kepalanya mulai pusing dan matanya mulai berkunang-kunang. Namun, lagi-lagi Sekar menahan dan melawannya karena sebentar lagi kuenya akan selesai ia buat dan siap di hidangkan. Sekar langsung ijin ke kamar setelah selesai semua ia serahkan pada pelayan karena Sekar merasa sudah tidak sanggup lagi. Ia ingin merebahkan tubuhnya ia lelah sekali. Kakinya terasa mati rasa yang sebelah kiri. Baru saja Sekar memejamkan mata sebuah ketukan membangunkannya dan dengan susah payah ia membuka pintu kamarnya terlihat Rahma yang nampak cantik dengan balutan gaunnya tersenyum lebar. “Cantiknya,” puji Sekar terlontar begitu saja. Rahma tersenyum lebar mendengar pujian sang sahabat. “Acara udah mau di mulai dan kamu kok malah tiduran di kamar sih, ikut keluar yuk.” “Nggak ah, aku di sini aja, aku malu.” “Tapi, aku mau kenalin kamu ke semua orang, aku mau pameran adik kesayanganku.” “Rahma, tidak usah ya, aku sudah senang kok melihat kamu bahagia hari ini. aku di sini ya. Kalau kelamaan berdiri aku kan bisa capek.” “Tapi ….” “Rahma, sudah tidak apa-apa, sana mulai acaranya kasihan orang-orang udah nunggu kamu.” Sekar mengusap perut Rahma yang sudah besar itu. Rahma tersenyum sedih namun, ia tak mau memaksa Sekar. Rahma pun pergi ke tempat acara, baru saja Sekar hendak menutup pintu kamarnya sosok tinggi besar mendadak berdiri di sana membuat Sekar tersentak dan mundur selangkah. “Mas ….” “Bagaimana kondisi kakimu?” Sekar terharu karena Hamdan masih memperhatikan kondisi kakinya. “Baik, kok.” “Sudah minum obatnya?” “Sudah.” Hamdan bernafas lega. Ia mengangkat jemarinya dan ia taruh di puncak kepala Sekar. Ia usap sedikit. “Bagus, istirahatlah aku harus menemani Rahma.” Sekar mengangguk. Hamdan pun melangkah pergi namun langkahnya terhenti dan menoleh. “Oh ya, terima kasih kuenya, enak.” Hamdan mengacungkan jempolnya. Sekar tersenyum lebar dan mengucap terima kasih tanpa suara lalu masuk ke dalam kamarnya. Begitu masuk ia langsung meremas dadanya yang berdebar-debar. Ia bahkan menyentuh kepalanya yang tadi sempat di usap lembut oleh Hamdan. Ia mengingat jemari besar dan panjang itu. Sekar berjalan perlahan ke arah meja dan mengambil kertas dan juga pensil. Hobby menggambarnya kembali bangkit. Ia mulai menggambar sebuah jari di sana, jari suaminya.   *****   Acara selesai dan semua tamu sudah pulang. Saat itulah Rahma buru-buru ke kamar Sekar dan memberikannya gaun yang ia beli bersamaan dengan gaun yang ia pakai. Rahma ingin sekali berfoto dengan Sekar dengan gaun bagus. Ia bahkan menyeret sang suami agar mau berfoto bersama dengan Sekar. Hamdan tersentak saat melihat Sekar nampak anggun dan cantik dengan gaun warna pastelnya yang membuat cerah wajahnya. Hamdan sampai lupa jika wanita yang ada di hadapannya ini adalah wanita dengan kaki yang tidak sempurna. Iya justru terlihat sangat sempurna. Mereka pun berhasil foto bertiga dengan keceriaan di wajah masing-masing. Sekar dan Rahma bagai kembali masa lalu, di mana mereka senang sekali berfoto bersama untuk menghabiskan waktu berdua. Dan kini mereka bisa berfoto bersama kembali bahkan dengan suami mereka. Rahma memeluk Hamdan juga Sekar secara bersamaan, ia eratkan pelukkan hingga membuat Hamdan mau pun Sekar maju dan bertemu. Kepala Hamdan ia tempelkan pada kepala sang istri dan tangannya ia lingkarkan pada kedua pinggang istrinya. Sekar nampak tersentak saat merasakan sebuah sentuhan di pinggangnya dan ia pun melirik Hamdan. Hamdan nampak bersikap biasa, seakan hal itu adalah hal yang lumrah. Rahma meminta fotografer untuk kembali memoto mereka dengan pose itu. Berkali-kali Rahma mengatakan bahwa ia sangat bahagia. Hamdan dan Sekar pun senang jika Rahma senang.   *****   Sekar berada di rumah seorang diri, karena Hamdan dan Rahma tengah ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sekar menghabiskan waktunya untuk membuat kue kesukaan Rahma dan Hamdan, setelah itu ia berdiam diri di kamar untuk menghabiskan waktunya dengan menggambar. Ia tersenyum saat kembali membuat sebuah tangan yang saling menggenggam. Sekar hanya bisa menghayal untuk bisa menggenggam jemari sang suami. Ia juga membuat gambar sebuah pelukkan hangat yang lagi-lagi hanya bisa ia hayalkan saja. ia melirik kakinya yang mulai terasa sakit. Sekar justru mengabaikan hal itu dan kembali menggambar sepasang kaki yang sempurna. Kaki yang cantik yang ingiikan agar bisa membuat suaminya berpaling padanya walau hanya sekejab. Semua yang ia inginkan hanya bisa ia sampaikan lewat sebuah gambar. Ia tak akan berani untuk mengutarakannya langsung karena itu akan menyakiti hati sang sahabat. Sekar sudah bersyukur dengan kehadiran mereka di dalam hidupnya. Mas Hamdan yang begitu baik dan perhatian padanya sangatlah membuat hatinya hangat dan cukup. Rahma yang selalu ceria dan sayang padanya bahkan terkadang berlebihan bila memberi kasih sayangnya membuat Sekar merasa sangat beruntung bisa memiliki mereka di dunia ini. Hati kecil Sekar ingin merasakan sebuah kecupan manis di bibir, seperti yang di lakukan Rahma dan Hamdan yang sering Sekar lihat tanpa sengaja. Ada jiwa yang berontak di tubuhnya, keinginan yang kadang tidak terkontrol. Dan ia merasa malu jika sudah membayangkan hal itu, maka biasanya Sekar akan buru-buru mengerjakan sesuatu yang bisa membuatnya lupa akan hal itu. Dan kadang rasa sakit di kakinya sangat membantu dirinya untuk melupakan hal yang memalukan itu. Sekar meraih kertas dan pensil lagi, bayangan sebuah kecupan terasa jelas terlihat di pelupuk matanya. Ia goreskan ujung pensil di kertas dan goresan-goresan mulai terbentuk sebuah gambar. Saat sedikit lagi sebuah gambar intim itu selesai sebuah ketukan membuatnya salah menggores hingga gambarnya gagal di buat dengan sempurna. Sekar merapihkan kertas dan pensil miliknya lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Terlihat maid tengah berdiri di sana dengan canggung. “Ya?” tanya Sekar. “Ada yang mencari anda nyonya.” “Siapa?” “Beliau bilang kakak anda.” Mata Sekar langsung berbinar-binar. “Benarkah, aku akan segera menemuinya, terima kasih ya, dan bisakah kamu buatkan teh untuk kakakku?” pinta Sekar. “Tentu nyonya.” Sekar tersenyum dan masuk ke dalam kamarnya lagi untuk merapihkan penampilannya. Ia harus meyakinkan kakaknya jika ia bahagia tinggal di sini. Sekar tak bisa mengatup bibirnya yang tersenyum sampai memperlihatkan deretan giginya. Ia begitu senang karena sang kakak benar-benar datang memenuhi janjinya dan ia serius membawa kakak iparnya yang sangat cantik. Sekar dengan terseok-seok memanggil kakakknya hingga Putra dan sang istri menoleh. Senyum Sekar yang mengembang mendadak redup saat melihat kakak iparnya terlihat kaget melihat kondisi Sekar, jelas terlihat di wajah sang kakak ipar jika ia merasa jijik. Sekar langsung tertunduk dan bersikap biasa lagi, tak ada senyum di wajahnya karena harapannya sirna. Sebagai wanita cacat memang tidak ada yang bisa di banggakan. Kenapa juga ia berharap bahwa kakak iparnya akan menyambutnya dengan senyum juga. “Sekar, aku memenuhi janjiku, kan?” ujar Putra saat Sekar sudah dekat mereka. Sekar tersenyum kecil dan canggung saat kakak ipar itu meliriknya. “Utari, kenalkan ini adalah adikku, Sekar. Adik iparmu.” Putra mencoba memperkenalkan Sekar pada Utari sang kakak ipar. Utari menarik nafas sejenak lalu mencoba mengukir senyum yang gagal di wajahnya. “Utari.” “Sekar.” Mereka benar-benar nampak canggung. Putra yang melihat itu langsung meminta mereka untuk duduk dan bersikap biasa lagi. Hingga teh yang di minta Sekar tiba. “Silahkan di minum, kak,” ujar Sekar dan itu semakin membuat Utari tak suka. Ia merasa tak adil, karena wanita secantik dirinya hanya menikah dengan Putra yang kekayaanya tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Hamdan. Utari adalah kawan lama Hamdan yang pernah menaruh hati padanya. Namun, sial. Hamdan lebih memilih gadis kampung bernama Rahma. Dan ia harus menikah dengan Putra karena semua temannya sudah menikah ia tak mau di cap sebagai wanita tak laku. Dan lebih sial lagi ternyata Putra memiliki adik yang cacat, itulah kenapa ia meminta Putra untuk tidak mengundang sang adik di pernikahannya. Ia bisa malu kalau sampai Sekar datang dengan cara jalannya yang menyedihkan macam pengemis di jalanan yang berpenyakitan. Dan kenapa juga wanita cacat itu harus jadi istri kedua seorang Hamdan???? Andai waktu Putra menikahkan Sekar ia tahu siapa yang menjadi calon Sekar ia pasti datang dan mengacaukan pernikahan itu. Harga dirinya seakan tercoreng begitu saja. Seperti terinjak-injak karena Hamdan lebih memilih wanita cacat ini dari pada dirinya. Walau jadi madu pun ia mau karena harta Hamdan tak akan habis tujuh turunan. “Utari, ada apa?” bisik Putra yang melihat Utari nampak melamun dan menunjukkan wajah kesal terhadap Sekar. “Entahlah, aku merasa tidak nyaman di sini.” Sekar tersentak begitu pun dengan Putra yang tak enak pada Sekar. Ia sebenarnya tahu tabiat sang istri yang bila tak suka maka akan di tunjukkan secara terang-terangan. Ini yang ia khawatirkan bila Utari bertemu dengan Sekar. “Utari, tolong jaga perasaan adikku.” “Kenapa, adikmu itu hanya wanita cacat yang beruntung bisa menikah dengan Hamdan, lalu ia bisa bersombong diri di depanku? Maaf saja.” “Siapa yang sombong?” semua orang tersentak dan langsung menoleh ke arah pintu luar. Hamdan dan Rahma masuk dengan wajah marah.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN