Hamdan tersentak saat melihat Rahma tengah duduk sembari menatapnya. Hamdan berdehem dan berpura-pura biasa saja.
“Dari mana?” tanya Rahma.
“Dari dapur.”
“Ngapain?”
“Ambil minum aja.”
“Kan, aku udah sediain minum di kamar.” Hamdan nyengir dan garuk-garuk kepala. Rahma bangun dari duduknya dan mengusap d**a bidang sang suami membuat Hamdan merinding enak.
“Sayang ….”
“Kenapa kamu nggak jujur sama aku?” tanya Rahma sembari melihat d**a bidang sang suami dan memainkan putingnya yang kecil.
“Jujur tentang apa?” Hamdan nampak bingung dan juga menikmati sentuhan Rahma.
“Kamu dan Sekar.” Hamdan tersentak. Jangan bilang Rahma tau tentang Sekar, bisa gawat.
“Aku sama Sekar kenapa sayang?”
Rahma menatap Hamdan tajam. “Tadi, Mas, dari kamar Sekar kan?” Hamdan menelan salivanya dengan susah payah.
“I-itu, itu ….”
“Ya Allah, Mas. Kenapa sih berita baik begini kalian sembunyikan? Kalian takut aku marah gitu kalau kalian b******u?” Hamdan tersentak kaget dengan kesimpulan Rahma yang tak ada terlintas di otaknya sama sekali.
“Ap-apa? b******u?”
“Iya, kamu sama Sekar, iya kan?”
“Kamu bicara apa sih, ya enggaklah.”
“Kenapa harus bohong sih, Mas, kalau emang iya juga kan nggak apa-apa, aku juga seneng kok denger nya.”
“Rahma, kamu tahu kan, yang aku cinta itu Cuma kamu, Sekar itu Cuma sahabat yang kamu minta untuk di nikahi. Sudah di nikahi ya sudah, jangan minta lebih apalagi sampai b******u. Nggak mungkinlah.” Rahma mendadak kecewa.
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa kamu bicara begitu tentang Sekar, bukankah Sekar juga berhak atas kamu, Mas. Kamu kan suaminya, Mas. Memang kamu nggak takut dosa ya. Mengabaikan istri itu kan dosa mas.”
“Rahma, bukankah kita pernah bahas ini sebelumnya, kalau kamu nggak akan ikut campur masalah ini?”
“Aku emang nggak ikut campur kok. Aku Cuma penasaran sama sikap kalian berdua yang suka bertemu dan bersikap romantis di belakangku. Kenapa harus di belakangku sih, kalau emang kalian sudah saling suka kan bagus, aku juga senang Cuma yang bikin aku kecewa adalah kalian seperti sembunyi-sembunyi di belakang aku dan aku nggak suka itu mas.”
“Kamu salah paham, Rahma. Aku dan Sekar tidak melakukan apa yang tuduhkan.”
“Aku tidak menuduh, Mas. Aku Cuma ingin tahu apa yang kalian lakukan di belakangku dan kenapa harus di belakangku sementara kalian boleh melakukannya di depanku. Kenapa kalian seakan memiliki rahasia yang aku tidak boleh tahu, kenapa?”
“Rahma.” Hamdan mencengkram pundak Rahma. “Dengarkan aku, aku minta maaf jika kesannya aku dan Sekar menyembunyikan sesuatu dari mu. Tapi, aku hanya mencoba untuk bersikap baik pada Sekar seperti anjuranmu. Aku ingin belajar untuk bisa menerima dirinya. Tapi, aku butuh prosesnya dan aku bisa melakukannya jika kamu tidak melihatnya.”
“Kenapa?”
“Karena jika kamu melihat kami berdua, sama saja aku sedang menyakitimu secara terang-terangan. Aku tidak mau sayang, walau ini kemauanmu, aku tetap ingin menjaga perasaanmu. Kamu mengerti maksudku?”
“Jadi, benar kalian sudah b******u?”
“Rahma, aku aku nampak semudah itu untuk b******u dengan wanita lain selain istri yang aku cintai?” Rahma diam. “Apa kamu cemburu?” Rahma memalingkan wajahnya. Hamdan tersenyum dan memeluk tubuh sang istri.
“Jadi, kamu cemburu kalau aku b******u dengan Sekar diam-diam, dan tidak cemburu jika aku b******u dengan Sekar di depanmu?”
“Ih, apaan sih!”
“Mas kan tanya, kamu mau aku mencumbu Sekar di depan matamu?” Rahma diam lagi. Hamdan mulai menjahili istrinya, ia dekatkan bibirnya pada telinga Rahma.
“Apa kamu mau mencoba threesome?”
“Mas Hamdan!!!” teriak Rahma yang murka. Hamdan tertawa terbahak-bahak karena berhasil menjahili istrinya yang super kepo.
****
Rahma yang berfikir jika Sekar dan Hamdan mulai dekat satu sama lain suka mendadak pergi jika melihat Hamdan dan Sekar bersama. Ia ingin memberikan waktu untuk mereka berdua lebih banyak namun terkesan natural.
Apakah Rahma tidak cemburu melihat suaminya dekat dan bahkan bisa tersenyum di depan wanita selain dirinya? Tentu saja, Rahma memiliki kecemburuan yang besar, namun, kesetiaanya pada sang sahabat bisa membuatnya melupakan kecemburuan itu. Ia kubur dalam-dalam rasa cemburu itu, walau kadang air matanya tak bisa membohongi hatinya.
Demi Sekar, Rahma rela mengorbankan semuanya.
Sekar nampak memijit kakinya saat Hamdan telah berangkat ke kantor. Saat itulah Rahma muncul. Sekar tersenyum dan membenarkan kakinya kembali. Ia tutup rapat dengan rok panjangnya dan duduk dengan tenang seakan kakinya baik-baik saja.
“Bagaimana kakimu, apakah ada perubahan setelah terapi?” tanya Rahma.
“Ya, sedikit lebih baik, walau berjalan lebih lambat dari perkiraan.”
“Benarkah?” Sekar mengangguk.
“Apa dokter di rumah sakit kurang bagus, apa kau perlu meminta mas Hamdan untuk memberikan dokter baik atau perlu ke singapur?”
“Rahma ….” Sekar memotong ucapan Rahma yang tak berhenti.
“Aku baik-baik saja, oke.”
“Kamu yakin?”
“Sangat yakin, Rahma ku.” Rahma tersenyum lega mendengar itu. Rahma mendekat dan memeluk Sekar.
“Jangan sakit lagi ya, kamu harus sehat dan terus bersama-sama denganku. Kamu mau berjanji kan?” Sekar mengusap air matanya yang hampir menetes.
“Ya ….” Ucap Sekar dengan bibir bergetar.
Maafkan aku Rahma, aku tidak bisa jujur padamu tentang kakiku yang semakin buruk. Maaf kan aku ….