BAB 12

1108 Kata
Pagi ini Sekar di kejutkan dengan kedatangan Putra sang kakak. Sekar begitu gembira melihat kedatangan Putra ke rumah Hamdan. Sekar pun mempersilahkan kakaknya masuk. Saat Putra duduk, Rahma dan Hamdan yang baru keluar dari kamar langsung menghampiri Putra. “Kak Putra?” Rahma menyapa lebih dulu sementara Hamdan hanya tersenyum. Mereka duduk bersama di ruang tamu. “Aku buatkan teh dulu ya,” ujar Sekar. “Sekar, biar bibik saja yang buatkan, kamu diam saja di situ.” Rahma dan Putra menatap Hamdan heran. Terlebih Rahma, biasanya Hamdan akan cuek dengan apa yang Sekar lakukan. Kali ini jelas terlihat berbeda karena Hamdan nampak mengkhatirkan Sekar. Hamdan bahkan rela memanggil asisten rumah tangga untuk membuat teh. Biasanya Hamdan tidak pernah mau terlibat dalam hal remeh seperti itu. Di hati kecil Rahma ada rasa syukur karena sepertinya suaminya mulai terbuka untuk Sekar. Walau tidak di tunjukkan secara jelas, tapi, untuk Rahma yang sudah menikah dengan Hamdan lebih dulu tentu lebih tahu tabiat sang suami. Rahma menggenggam jemari Hamdan tiba-tiba membuat Hamdan memalingkan wajahnya menatap sang istri yang cantik jelita setiap harinya. “Ada apa?” tanya Hamdan. Rahma tersenyum manis dan menggeleng. Sementara Sekar melirik Hamdan dan sepertinya menyadari perhatian Hamdan. Putra yang memperhatikan mereka berdehem agar mereka kembali fokus pada Putra karena bagaimana pun Putra adalah tamu. Dan benar mereka pun langsung kembali fokus pada Putra. “Sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya Putra pada Rahma. Rahma yang mendapat pertanyaan itu langsung tersenyum senang dan mengusap perutnya. “Sudah memasuki lima bulan sekarang.” “Syukurlah kalau begitu, dan kamu Sekar?” semua terdiam. “A-aku, aku kenapa, Kak?” tanya Sekar bingung. “Kok kenapa? Kamu belum hamil?” tanya Putra yang membuat Sekar tersentak kaget dan merasa tak enak pada Rahma mau pun Hamdan. “Itu, aku ….” “Belum, Sekar belum di beri kepercayaan, doakan saja.”Sekar dan Rahma menatap Hamdan yang menjawab pertanyaan Putra. “Ya, kakak doakan kamu cepat menyusul Rahma. Jadi, rumah kalian yang besar ini akan terasa lebih ramai nanti.” “Ah, iya kak, terima kasih.” “Kamu tidak masalah kan, Rahma?” tanya Putra. “Aku? Ya tentu saja tidak, kak, aku justru akan sangat senang jika Sekar juga bisa mengandung seperti ku.” Rahma melirik Hamdan saat mengatakan hal itu. Hamdan hanya berdehem dan mengubah posisi duduknya. Yang artinya ia mulai tak nyaman dengan pembicaraan ini. Rahma tersenyum kecil melihat suaminya. Lalu melirik Sekar yang terus menunduk. Putra merasa bahwa hubungan adiknya dengan suami Rahma baik-baik saja terlihat dari sikap Rahma yang ceria saja. Putra senang karena adiknya bisa bahagia di sini dari pada di kampung, dengan begitu setidaknya perasaan bersalah Putra sedikit berkurang. Saat pulang Sekar menemani Putra sampai depan mobilnya. Putra meraih jemari sang adik. “Kamu sehat-sehat di sini ya.” “Kakak juga ya.” “Ya, kalau gitu kakak pergi ya.” “Kak.” “Ya?” “Kapan-kapan ajak kakak ipar ke sini ya, aku mau kenal.” Wajah Putra mendadak pucat. Namun, ia paksakan untuk tersenyum. “Ya.” “Janji ya kak.” Putra mengangguk dan masuk ke dalam mobil.   ****   Sekar nampak sedikit lebih ceria dari biasanya dan itu membuat Rahma mau pun Hamdan tersenyum senang. Rahma mendekati Sekar yang tengah membuat kue di sore hari. Hamdan hanya duduk memperhatikan mereka. “Aku bantu ya.” Sekar mengangguk dan tersenyum, mereka pun lantas membuat kue bersama. Rahma nampak membantu dengan mengaduk adonan. Sementara Sekar yang memberikan bahan-bahannya dengan takaran yang sudah Sekar hapal. “Udah lama nih nggak makan kue buatan kamu.” Sekar tersenyum dan mengingat masa-masa dulu. Saat orang tuanya masih hidup saat kondisi semuanya masih normal. Rahma dan Sekar suka membantu ibu membuat kue lalu kadang Sekar jual dan di bantu Rahma keliling kampung. Saat ibunya sakit Sekar dan Rahma lah yang membuat kue untuk di jual. Mendadak Sekar teringat dan sedih, Rahma yang menyadari itu langsung tersentak dan meminta maaf. Hamdan yang mendengar percakapan mereka semakin miris melihat Sekar yang pasti sangat kesepian. Hamdan masih tak bisa membayangkan bagaimana Sekar bisa menahan rasa kesepian dan sakit itu sendiri. Kenapa ia bisa begitu kuat dan tabah menjalani ini semua. M Hamdan benar-benar merasa bersalah padanya. “Mas, kamu harus makan kue buatan Sekar, karena kue  buatan Sekar itu enak banget!” puji Rahma yang sudah mencicipi kue buatan Sekar yang sudah jadi separo. “Benarkah?” Hamdan berdiri dan duduknya dan menghampiri Rahma. Sekar tersenyum kecil saat Hamdan mau menerima kue buatannya. Di tambah saat Hamdan langsung makan potongan kecil kue dari tangan Rahma tanpa ada rasa ragu sama sekali. Sekar bahkan memperhatikan setiap gerakan gigi dan rahang Hamdan saat mengunyah kuenya. “Hm … enak nih,” puji Hamdan yang membuat Rahma sumringah. “Ya, kan? Apa aku bilang.” “Ya, enak banget. Kamu pintar Sekar.” Hamdan menatap Sekar yang langsung membuat Sekar salah tingkah. Rahma tertawa melihat wajah Sekar yang memerah karena malu.   ****   Di kamar Sekar senyum-senyum seorang diri karena mengingat saat makan kue tadi bersama Rahma dan Hamdan. Ia sangat senang karena Hamdan sangat menyukai kue buatannya. Salahkah Sekar merasakan hal seperti ini. mencintai suami sahabatnya. Sekar kembali mengingat wajah Hamdan yang terlihat bahagia karena bisa makan kue olahan khas kampung Sekar. Dan Hamdan benar-benar suka. Mereka bahkan bisa bercanda dan bergurau bersama, tertawa dengan lepasnya hingga kue yang Sekar buat habis tak bersisa. Hamdan bahkan meminta Sekar untuk membuat kue lagi besok. Tentu saja Sekar dengan senang hati menerima permintaan Hamdan. Dan ia tak sabar untuk membuat kue besok pagi. Sekar mencoba merebahkan tubuhnya di ranjang, namun, saat kakinya menyentuh ranjang rasa sakit langsung menyerangnya. Sekar membengkap mulutnya agar tidak teriak kesakitan. Rasanya benar-benar sakit. Seharian ini ia tidak meminum obat pereda nyeri. “Sekar!” Sekar tersentak saat melihat Hamdan masuk ke dalam kamarnya dan membawa plastik putih. Ia mendekat dengan cepat dan membantu Sekar untuk duduk. Ia membuka bungkusan plastik di tangannya dan menuangkan air di samping kasur Sekar. “Ini, minumlah.” Sekar kaget melihat obat di tangan Hamdan. “Udah nggak usah mikir dulu, minum dulu obatnya nanti aku jelasin.” Sekar pun menurut dan meminum obatnya. Setelah beberapa saat rasa sakit di kaki Sekar perlahan hilang dan Sekar merasa lega ia bisa tidur dengan nyenyak. “Tidurlah.” “Terima kasih, Mas.” “Ya, sama-sama.” Sekar merebahkan tubuhnya karena memang sudah merasa sangat ngantuk. Hamdan lantas menyelimuti tubuh Sekar yang sudah terlelap dengan cepatnya. Ia usap rambut Sekar dan tersenyum melihatnya. “Tidurlah yang nyenyak, mimpi indah.” Hamdan menaruh obat di nakas dan mematikan lampu kamar Sekar. Perlahan ia tutup pintu kamar Sekar dan kembali ke kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN