Sekar tak bisa tidur malam ini karena obatnya habis. Ia lupa bilang pada Hamdan tentang itu hingga malam ini ia harus merasakan kesakitan luar biasa pada kakinya. Sekar menahan tangisnya dan menarik rok yang senantiasa menutupi kakinya yang tak bisa di ajak berjalan itu.
Kulitnya mulai membiru dan terlihat lebih kecil dari kaki sebelah kiri. Ia gigit kuat-kuat bibir bawahnya karena rasa sakit di kakinya itu. Ia tak bisa membayangkan kakinya akan di amputasi bila ia ingin sembuh. Karena jika tidak, kaki kirinya yang normal bisa terkena dampaknya dan bisa-bisa kedua kakinya lumpuh.
Sekar benar-benar tidak tahu harus apa sekarang. Ia bingung dan tak tahu harus bicara pada siapa di saat-saat seperti ini. Orang tuanya sudah meninggal, kakaknya jauh dari dirinya dan tak begitu peduli lagi seperti dulu, Rahma yang paling sayang padanya dan Sekar tidak bisa membebani dirinya lagi. Hamdan suaminya lah satu-satunya orang yang tau tentang hal ini dan Sekar tidak bisa terlalu lama dekat dengan Hamdan karena takut akan membuat Rahma cemburu dan berakhir pada masalah rumah tangganya.
Sekar meneteskan air matanya karena rasa sakitnya tidak bisa tertahankan lagi. Rasanya ia ingin teriak dan memotong kakinya karena terlalu sakit. Kenapa rasanya sesakit ini, padahal dulu ia mampu menahannya.
Sekar mencoba untuk berdiri dan berjalan dengan terseok-seok dengan tangan meraba-raba apa pun agar bisa di pakai untuk pegangan. Sekar berhasil sampai pintu kamarnya dan membukanya, saat kakinya hendak melangkah keseimbangannya tak stabil hingga ia harus tersungkur di lantai dan membentur kepalanya.
Sekar membekap mulutnya agar tidak teriak, karena ia takut membangunkan Rahma dan Hamdan. Ia berusaha untuk bangun dan kembali berjalan ke arah dapur. Ia merasa butuh air hangat untuk mengompres kakinya yang sakit. Ia tak sanggup menanggung rasa sakit di kakinya terlalu lama.
Namun, saat ia memasuki dapur Sekar terdiam karena melihat Hamdan tengah menyeduh kopi di sana. Sekar hendak kembali ke kamar, namun, Hamdan lebih dulu melihat Sekar.
“Sekar?” Sekar diam. Hamdan menaruh gelas kopinya dan mendekat ke arah Sekar.
“Sedang apa?” tanya Hamdan. Sekar menggeleng sembari menahan sakit.
“Tunggu, apa obatmu masih ada?” tanya Hamdan lagi. Sekar diam.
“Sekar, aku sedang bertanya padamu, aku tahu kamu tidak ingin dekat-dekat denganku, tapi, tolong hargai aku sebagai suamimu di sini. Saat aku bertanya jangan hanya diam saja. Setidaknya jawab, bisa kan?” Sekar mengangguk.
“Maaf.”
Hamdan menghela nafas. “Baiklah, sekarang, kamu butuh apa, biar aku bantu.”
“Aku bisa sendiri.”
“Aku tahu kamu menahan rasa sakit di kakimu, jangan anggap aku tidak ada Sekar!” Sekar akhirnya diam saja. Ia tak mau membuat Hamdan semakin marah padanya. Sekar pun memberitahu jika ia butuh air hangat untuk mengompres kakinya. Dengan cekatan Hamdan langsung memasak air dan menyediakan baskom. Lalu ia taruh air panas di dalam baskom dengan di tambahkan air dingin.
Ia ambil kain bersih dan di berikannya pada Sekar.
“Duduklah dan angkat kakimu.” Sekar tersentak mendengar itu. Ia tak mau melakukan apa yang di perintahkan Hamdan.
“Sekar, angkat kakimu sekarang dan taruh di kursi ini.”Hamdan menarik satu kursi lagi agar kaki Sekar bisa di taruh di sana. Karena Sekar tak kunjung melakukannya Hamdan pun langsung mengangkat kaki Sekar begitu saja dan itu berhasil membuat Sekar teriak kesakitan. Hamdan panik dan buru-buru minta maaf. Air mata Sekar terlanjur tumpah karena tak kuasa menahan rasa sakit di kakinya.
“Sekar, aku … aku tidak bermasud membuatku kesakitan, aku ….”
“Tidak, jangan minta maaf, ini bukan salah Mas Hamdan. Aku saja yang cengeng.” Sekar berusaha melawan rasa sakitnya dan ia taruh perlahan kaki kanannya di kursi. Hamdan memperhatikan Sekar yang diam saja setelah menaruh kakinya di atas kursi.
“Sekar, tarik rokmu yang menutupi kakimu.”
“Mas, biar aku saja yang kompres, Mas bisa kembali ke kamar.”
“Apa sih, nggak usah mengalihkan pembicaraan.” Hamdan yang benar-benar tak sabar dengan Sekar langsung menarik rok Sekar ke atas hingga memperlihatkan kulit kaki Sekar yang mulai membiru. Hamdan tersentak melihat kaki Sekar.
“Sekar … ini ….”
“Jangan di lihat Mas.” Sekar merasa malu karena ia yakin Hamdan pasti jijik melihat kakinya yang biru dan kecil sebelah. Harga dirinya sebagai seorang wanita sudah benar-benar hancur sekarang. Ia memang tidak pernah terlihat cantik apa lagi menarik.
“Selama ini kamu menanggung rasa sakit ini sendiri?” Sekar tersentak saat Hamdan menyentuh kakinya yang kebiruan.
“Mas ….”
“Kenapa kamu sembunyikan ini semua dari kami, kamu tahu kan kami sangat peduli denganmu. Kaki mu sampai biru seperti ini, ini kah alasanmu selalu memakai rok panjang?” Sekar tak mampu menjawabnya. Ia tak suka di kasihani seperti ini. Ia merasa sangat tidak berguna bila seperti ini. Sekar berusaha menutup kakinya kembali, namun, Hamdan melarangnya.
Tanpa bersuara ia mengompres kaki Sekar perlahan.
“Mas, aku bisa ….”
“Diamlah.” Sekar tak bersuara lagi, ia kagum melihat Hamdan yang mau mengompres kakinya yang cacat itu. Ia bahkan tak terlihat geli atau jijik. Hati Sekar kembali menghangat. Tetesan embun bagai oasis di hatinya. Wajah tampan Hamdan terlihat menyilaukan mata Sekar, jemari Hamdan yang nampak meremas kain lalu menekankan kain itu di kakinya terlihat sangat menggoda.
Namun, cincin yang terlingkar di jemari manis kanannya menyadarkan Sekar, bahwa Hamdan hanya milik Rahma sahabatnya. Karena Hamdan hanya memakai cincin pernikahan antara dirinya dan Rahma bukan Sekar.Sekar tak bicara hingga Hamdan merapihkan bekas kompresan. Bahkan ia merapihkan kembali rok Sekar seperti semula. Ia jongkok dan menatap Sekar, ia cengkram kedua pundak Sekar membuat Sekar harus menatap kedua manik mata Hamdan yang indah dan tajam bagai elang.
“Mengeluhlah setiap kamu merasa sakit, saya siap menjadi sahabatmu yang bisa di percaya untuk menjaga setiap rahasiamu.”
“Mas ….”
“Aku serius, aku tahu kamu butuh orang untuk berbagi cerita dan keluh kesah tentang apa yang kamu rasakan. Aku tahu kamu butuh pundak untuk membantumu meluapkan emosimu. Aku tahu kamu butuh pelukkan untuk bisa meredakan gejolak hati dan pikiranmu. Aku suamimu dan kamu berhak atas aku.”
Mata Sekar berbinar mendengar setiap ucapan yang keluar dari bibir sang suami. Suami yang ia cintai namun tak berani ia miliki karena ia sadar bahwa Hamdan hanya milik Rahma seorang.
“Aku tidak berhak atas kamu, Mas.”
“Sekar ….”
“Aku tidak bisa melakukan hal itu Mas, karena itu akan membuat Rahma sedih.”
“Sekar, bukankah kita menikah karena desakkan Rahma, bahkan di malam pertama kita menikah saja ia rela mendorong aku untuk tidur bersamamu?”
“Apa Mas berniat untuk tidur denganku juga?” Sekar membekap mulutnya yang telah lancang bertanya hal memalukkan seperti itu. Hamdan terdiam.
“Aku ….”
“Maafkan aku Mas, aku tidak bermaksud mengatakkan hal itu. Lupakan saja.” Sekar berusaha bangun dari duduknya.
“Sekar, aku mau kita menjadi sahabat, kita bisa akrab layaknya kamu dan Rahma.” Sekar tersenyum.
“Terima kasih, Mas. Terima kasih atas perhatianmu.” Sekar perlahan berjalan ke kamarnya.