Hamdan bangun lebih pagi dan memakai pakaian joggingnya. Ia pun bersiap untuk keluar kamar, namun, sebuah pelukkan menghentikan langkahnya. Hamdan terdiam dan melihat jemari lentik yang tengah memeluk erat tubuhnya. Hamdan menarik nafas dan menyentuh jemari itu untuk ia lepaskan.
“Maaf,” seru Rahma sembari terisak. Hamdan bergetar mendengar isakan sang istri. Ia usap jemari itu dan ia genggam. Ia tarik dan ia kecup dengan lembut, ia pun memutar tubuhnya dan melihat istrinya tengah menatap dirinya dengan air mata yang mengalir. Ia usap air mata itu perlahan.
“Kenapa?” tanya Hamdan.
“Aku minta maaf, aku salah sama Mas, aku … aku udah maksa Mas untuk dekat dengan Sekar, aku sadar sekarang aku salah, Mas. Aku minta maaf.”
“Kok bisa sadar, siapa yang nyadarin?” goda Hamdan. Namun di jawab serius oleh Rahma.
“Sekar, dia nasehatin aku agar aku nggak maksa Mas buat deket sama Sekar. Aku egois karena Cuma mikirin diri aku sendiri, aku nggak mikirin perasaan Mas yang pasti tertekan, aku bodoh banget ya Mas, aku udah buat Mas sedih dan sakit ya, Mas?” Hamdan menghembuskan nafasnya dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukkannya.
Ia kecup ubun-ubun sang istri. Namun, pikirannya tak tertuju pada sang istri saat ini melainkan pada Sekar. Ia bingung kenapa Sekar bisa berkata demikian, bukankah ia juga memiliki rasa pada Hamdan? Apakah ia tak ingin mendapatkan balasan cinta dari dirinya?
****
Hamdan telah kembali dari joggingnya dan melihat Sekar tengah menyiram tanaman. Ia ingin menyapa namun ia urungkan, ia tak mau seakan memberi harapan palsu, lebih baik dingin seperti ini agar cinta di hati Sekar runtuh dengan sendirinya. Hamdan hanya bisa berharap itu.
Ia pun masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa melirik Sekar. Sementara Sekar yang tak sengaja melihat Hamdan masuk hanya bisa tersenyum melihat suaminya sudah baik kembali dengan Rahma. Ia memang tidak ingin melihat rumah tangga sahabatnya berantakan apalagi karena dirinya. Tidak akan.
Ia menerima pernikahan ini karena Rahma yang memaksa dan mengancam. Bila memang ada cinta di hatinya untuk Hamdan itu karena Hamdan adalah pria pertama yang memberi perhatian padanya. Dan di tambah Hamdan adalah suaminya yang setiap ia bersujud pada Illahi maka nama Hamdan selalu tersemat dalam doanya.
Sekar pun menyelesaikan pekerjaanya kembali dan merapihkan selang yang ia pakai.
Saat sarapan Sekar membiarkan Rahma untuk melayani sang suami. Mereka nampak kembali mesra seperti dulu saat pertama kali Sekar menginjakkan kaki di rumah ini. Sekar sangat bahagia melihat sahabatnya bahagia. Mereka sarapan dengan riang dan ceria di tambah Sekar mendengar bahwa Rahma akan memeriksa kandungannya yang memasuki usia 4 bulan.
“Sekar, apa kamu mau ikut ke rumah sakit?” tanya Rahma. Hamdan melirik Sekar sekilas dan mendapat gelengan perlahan dari Sekar.
“Tidak usah, kalian kan sudah lama tidak keluar berdua, ya kan? Lebih baik kalian gunakan waktu itu untuk quality time berdua. Pasti sangat menyenangkan, saat hamil muda harus sering-sering refreshing tahu agar tidak jenuh dan kalau hati ibunya bahagia maka sang anak pun akan bahagia di dalam sana.”
“Wah, kamu benar sekali Sekar.” Rahma nampak antusias. “Mas, nanti kita ke mall ya.” Hamdan melirik Sekar yang tersenyum ke arah mereka, senyum tulus yang sangat indah.
****
Hamdan kewalahan membawa belanjaan Rahma yang berkantung-kantung. Dan Rahma nampak belum puas ia masih saja memasuki setiap toko yang menjual perlengkapan bayi.
“Rahma, apa ini tidak berlebihan?” tanya Hamdan.
“Nggak lah, kita emang belum membeli satu pun perlengkapan bayi Mas.”
“Iya, tapi ….”
“Mas nggak suka ya?” Rahma nampak sedih. Hamdan menaruh kantung belanjaan di bawah dan menarik lengan sang istri untuk ia peluk. Mengingat anjuran dokter untuk menjaga kestabilan emosi Rahma. Karena akan berakibat buruk untuk sang anak dan istri.
“Suka kok, yaudah kamu beli aja yang kamu suka.”
“Asik, bener ya???”
“Iya.” Hamdan memilih duduk saat Rahma dengan semangat memilih perlengkapan bayi. Baru kali ini Hamdan melihat istrinya seantusias ini berbelanja. Biasanya ia jarang berbelanja jika tidak perlu. Mungkin ini karena menyambut anak pertama mereka, pastilah ia sangat antusias.
Walau mereka belum tahu jenis kelamin sang anak karena mereka ingin mendapatkan kejutan dari sang anak sendiri. Mereka tak suka langsung mengetahui jenis kelaminnya tanpa melihat langsung sang anak.
Hingga perlengkapan yang Rahma beli memiliki warna-warna yang netral untuk laki-laki mau pun perempuan.
Selesai belanja Rahma mengeluh lapar, mereka pun makan di restoran cepat saji.
“Mas, beli makanan untuk Sekar juga.” Rahma mengingatkan. Hamdan mengangguk dan berdiri untuk memesan makanan. Namun, langkahnya terhenti dan menatap sang istri.
“Sekar suka apa?” tanya Hamdan. Rahma mencoba berfikir sejenak.
“Apa pun Sekar suka,” jawab Rahma akhirnya. Hamdan mengangguk dan berjalan ke arah kedai makanan yang menyajikan makanan khas betawi. Hamdan berfikir Sekar pasti tidak pernah makan makanan ini, karena memang adanya hanya di kota. Ia pun membeli soto betawi dan juga kerak telor. Ia bungkus dan ia bawa ke tempat Rahma.
“Kamu beli apa?” tanya Rahma.
“Makanan khas betawi.”
“EH … Sekar belum pernah makan itu, apa Sekar bakal suka?”
“Pasti suka.” Hamdan menarik Rahma untuk mengajaknya pulang.
****
Sekar sangat senang mendapatkan makanan dari Hamdan walau tak ia tunjukkan rasa suka itu. Ia menerimanya dengan wajah datar seperti biasanya. Hamdan sampai merasa kesal sedikit karena Sekar nampak biasa-biasa saja. Bahkan saat sehabis makan pun Sekar hanya bilang enak dan terima kasih, tak lebih.
Hamdan sedikit kecewa dengan reaksi dari Sekar karena tak sesuai dengan ekspetasinya. Sementara Hamdan kesal Rahma dan Sekar justru sedang asik melihat barang-barang yang Rahma beli. Mereka terkikik sendiri dan heboh sendiri karena barang-barang lucu yang Rahma beli.
Nampak Sekar mengusap perut Rahma dan mendoakan agar anak dalam kandungan Rahma sehat hingga waktunya melahirkan. Hamdan menutup pintu kamar karena jenuh di luar mendengar obrolan heboh dua wanita di rumahnya itu.
Hamdan mengganti pakaian dan membuka laptop kerja miliknya. Ia malas untuk keluar hingga ia habiskan waktu liburnya untuk menyelesaikan pekerjaanya yang tertunda di kantor.
“Mas Hamdan.” Hamdan menoleh dan tersenyum melihat Rahma masuk dengan senyum manis nan menawannya.
“Kenapa sayang?” Rahma lantas memeluk Hamdan mengecup lehernya.
“Hm … ada apa ini, pasti ada maunya?”
“Hm … Mas, besok jadwal Sekar terapi kan?” Hamdan tersentak karena ia lupa jika besok adalah jadwal Sekar terapi. Tapi, Hamdan ada meeting besok pagi. Bagaimana ini?
“Mas?”
“Ah, maaf sayang, ya Mas tahu kok.”
“Mas bisa antar kan?”
“Itu … ehm ….”
“Kalau bukan Mas yang antar lantas siapa, masa supir kan nggak enaklah.”
“Ya, Mas paham kok. Tapi, besok Mas ada meeting penting, bagaimana ya?”
“Ah … Mas, gimana sih?”
“Ya kan, Mas nggak bisa memprediksi semuanya secara tepat sayang. Tapi, Mas usahakan untuk antar Sekar kok.”
“Antar doang?”
“Ya, gimana, kan Sekar juga sudah dewasa masa nggak tahu jalan pulang sih, gini deh, besok aku yang antar dan aku yang bicara pada dokter setelah itu Sekar mendapatkan terapinya lalu aku pergi kerja. Yang jemput Sekar supir aja ya.” Rahma menghela nafas, ia sudah berjanji untuk tidak berusaha mendekatkan mereka lagi akhirnya Rahma mengangguk setuju.