BAB 9

955 Kata
Sekar telah rapih dan melihat Hamdan menunggu dirinya di luar sembari memanaskan mobil. Walau ada supir Hamdan tetap berusaha menjaga mobilnya sendiri, beda dengan mobil yang suka di pakai untuk antar jemput Rahma. Mobil itu selalu di bersihkan dan di rawat oleh supirnya. Rahma yang melihat Sekar ragu-ragu untuk keluar langsung mendorong Sekar membuat Sekar menoleh kaget. Rahma manyun sembari melipat kedua tangannya di d**a. “Masih ada begitu, Mas Hamdan itu suami kamu tahu.” “Rahma, jangan mulai deh.” “Abis gemes aku.” “Udahlah jangan di pikirin, biar ini aku yang jalani.” “Iya, kamu yang jalani tapi aku yang lihat dan gemes sendiri. Suami istri kok nggak pernah saling sapa. Boro-boro sapa, tidur sekamar aja nggak pernah.” “Rahma!” “Haduh, iya-iya maaf, udah sana Mas Hamdan udah nungguin tuh.” “Aku berangkat ya.” “Ya, hati-hati ya.” Sekar mengangguk dan ia pun menghampiri Hamdan. Rahma nampak melihat mereka berdua yang terlihat cuek saja. Hamdan sendiri langsung masuk dan tak memperdulikan Sekar yang nampak kesusahan untuk masuk ke dalam mobil. Hingga mobil Hamdan menjauh dari rumah, Rahma menghela nafas. Rahma berfikir kapan mereka akan bersikap normal layaknya suami istri sesungguhnya? Apakah selamanya akan seperti itu? “Nyonya?” Rahma tersentak dan langsung menoleh. “Maaf, nyonya saya mengagetkan.” “Nggak apa-apa, ada apa, Bik?” “Ada telepon Nyonya.” “Oh, ya, terima kasih.” Rahma langsung menerima telepon itu.   ****   Hamdan memperhatikan terapi Sekar, harusnya ia segera berangkat ke kantor, namun, melihat Sekar nampak bingung akhirnya ia membantu Sekar dan menemaninya untuk terapi. Hans yang melihat Hamdan setia menemani sang istri langsung mendekat. “Perkembangannya bagus.” Hamdan tersentak dan langsung menoleh ke arah Hans. “Baguslah,” jawab Hamdan. “Tapi, kesembuhan bagi kaki istri keduamu itu tidaklah mungkin terjadi.” “Apa? Apa maksudmu?” Hamdan tersentak mendengar penuturan Hans. “Aku minta maaf, sebenarnya terapi ini hanya sebagai percobaan, apakah kaki istrimu itu bisa di sembuhkan atau tidak. Kita ingin melihat apakah ada tanda-tanda dari kaki istrimu untuk bisa di obati. Tapi, melihat sekilas saja aku langsung tahu jawabannya. Kakinya tidak bisa di sembuhkan.” “Tapi, kenapa?” “Andai waktu pertama kali ia kecelakaan dan mau merawat kakinya mungkin masih ada harapan, namun, kaki yang luka dan tulang yang remuk di dalam itu tidak ia obati justru ia biarkan begitu saja. ia tanggung rasa sakitnya yang aku jamin rasanya teramat menyakitkan. Yang aku heran istrimu itu mampu menahannya. Untuk orang lain mungkin sudah pingsan berkali-kali. Karena tulang kaki istrimu itu sudah remuk dan ada saraf yang putus. Dan itu tidak mudah di obati walau pakai jalur operasi sekali pun.” “Benar-benar tak ada cara?” “Aku minta maaf sebagai dokter, tapi aku menyerah.” “Jadi, Sekar akan terus kesakitan?” “Kami akan berikan obat penahan sakit. Rasa sakit yang timbul akan sedikit berkurang, mengingat istrimu sangat kuat, ia pasti akan merasa lebih baik setelah meminum obat itu. Tapi, di anjurkan di minum jika merasa sakit saja. Bila tidak, jangan di minum, itu saja.” “Hans ….” “Ya?” “Benarkah tak ada jalan lain?” Hans menatap Hamdan yang penuh harap di matanya. Ada kemauan di matanya untuk menyembuhkan Sekar. “Ada.” Mata Hamdan langsung berbinar. “Apa itu?” “Pasang kaki palsu.” “Apa???” Hamdan semakin tersentak di buatnya. “Pasang kaki palsu, bukankah itu artinya Sekar harus ….” “Ya, amputasi kaki.” Brrukk !!! Hamdan dan Hans tersentak dan menoleh ke belakang di mana Sekar nampak tersungkur di lantai. Refleks Hamdan langsung lari dan meraih tubuh Sekar yang ternyata sangat kurus dan ringan. Hamdan sampai bengong karena tak menyangka Sekar sekurus ini. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Hamdan. Sekar hanya diam dan terus menunduk. Ia duduk di kursi sementara Hans mengambilkan air mineral untuk Sekar minum. Hamdan meraih air mineral itu dan memberikannya pada Sekar, ia menerimanya dengan tangan gemetar hingga air bukannya keminum justru tumpah ke bajunya. Hamdan dengan sabar membantu Sekar untuk minum air mineral dari botolnya itu. Sekar meneguk sedikit karena rasanya ia tak sanggup untuk meneguk air mineral itu. Tenggorokkannya sangat sakit karena mendengar kata amputasi. Sekar benar-benar lemas, ia merasa malu karena akan menyusahkan Hamdan dan Rahma lagi. Dengan memiliki kaki dua saja ia sudah kerepotan berjalan, bagaimana jika kakinya hanya ada satu? Sekar tak bisa membayangkan hal itu terjadi, lebih baik ia pindah lagi ke kampung agar tidak menyusahkan Rahma dan Hamdan. Sudah cukup banyak mereka mengeluarkan uang untuk pengobatan Sekar. Sekar melirik Hamdan yang nampak sangat khawatir dengan kondisinya, begini saja Sekar sudah sangat menyusahkan bagaimana ke depannya? Hamdan memberikan botol mineral itu kembali pada Hans yang langsung di terimanya. Setelah itu Hamdan mengusap peluh Sekar dengan lembut dan penuh kasih membuat jantung Sekar tak karuan karena perbuatan suaminya ini. Perlahan Sekar menepis jemari besar dan panjang itu, jemari yang sangat ingin Sekar sentuh dan genggam. Ia singkirkan perlahan agar terlihat tetap menghargai sang suami. “Aku tidak apa-apa, maafkan aku,” ucap Sekar. “Kamu yakin?” Sekar mengangguk. Hamdan melirik Hans seolah ingin meyakinkan jika Sekar memang baik-baik saja. Namun, Hans mengatakan hal lain dengan isyaratnya. Hamdan sampai gigit bibir bawahnya karena merasa sangat bersalah telah membahas masalah rentan ini di ruang terbuka dan sialnya Sekar mendengar obrolan mereka. Hamdan tidak tahu harus bagaimana agar Sekar menjadi ceria dan semangat kembali. Karena kenyataanya tak ada harapan bagi Sekar untuk bisa berjalan normal kembali. Ia juga tidak sanggup mengatakan untuk amputasi dan ganti kaki palsu. Sekar adalah seorang wanita, bagaimana pun penampilan akan menjadi nomor satu. Melihat hal ini apakah Hamdan masih bisa bersikap acuh pada sang istri keduanya?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN