Novia kembali menundukkan kepalanya saat dia mendapati Galang sedang melihatnya. Lebih tepatnya melihat ke arah dadanya yang masih basah.
“Apa itu? Kenapa baju kamu basah begitu?” tanya Galang sambil mengerutkan keningnya.
“In-ini kena—“ Novia bingung sekaligus malu kalau harus menjawab dengan jujur.
“Jorok! Jangan bikin perusahaan saya dibilang jorok karena ada OB kayak kamu!”
“Maaf, Pak. Lain kali saya akan lebih hati-hati lagi,” jawab Novia yang masih tidak berani mengangkat pandangannya.
“Pergi sana! Sekali lagi kamu bikin masalah. Saya gak akan segan-segan pecat kamu dari sini. Ngerti kamu!” tegas Galang.
“Baik, Pak. Saya permisi dulu, Pak.”
Novia segera berjalan cepat keluar dari ruangan pimpinan perusahaan. Rasanya sangat menegangkan berada di dalam sana jika sudah bersama dengan pemiliknya.
Aura dingin dan arogan Galang sangat terasa, membuat lidah Novia menjadi keluh, hampir tidak bisa menjawab semua pertanyaan Galang.
Novia melihat ke arah kemeja Galang yang ada di tangannya. “Aku harus ganti baju ini pake uang apa lagi. Gajiku udah aku pake buat bayar perawatan ibu. Ya ampun, ceroboh banget aku ini,” keluh Novia di depan ruang kerja Galang.
Novia yang kebingungan dengan masalah baru ini, memilih kembali ke pantry sambil memikirkan jalan keluarnya.
Saat melihat Novia sudah keluar, Aji pun masuk ke ruangan Galang. Dia segera menghadap atasannya yang memanggilnya datang.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Aji pada Galang.
“Selidiki tentang Novia. Cari tahu semua tentang dia,” perintah Galang.
“Baik, Pak.”
“Segera laporkan!”
“Baik, Pak. Saya permisi dulu.”
Galang menyandarkan punggungnya di kursi singgasananya. Beberapa hari ini kepalanya sangat pusing, karena urusan bayi kecil, penghuni baru rumahnya.
Galang merawat Niko, bayi kecil yang juga keponakannya yang kini harus hidup sebagai yatim piatu. Kecelakaan mobil dua bulan lalu yang merenggut nyawa Bram, adik Galang, dan juga istrinya, membuat dia harus rela berbagi rumah dengan bayi kecil itu.
Saat awal ditinggal, Niko masih memiliki banyak stok asi beku di lemari pendingin. Bayi kecil itu juga mengonsumsi s**u formula untuk tambahannya.
Namun belakangan ini Niko mulai sering rewel. Bayi itu tidak mau minum s**u formula. Berat badannya juga mulai turun dan bayi itu sering menangis saat malam karena lapar. Galang takut stok asi mama Niko habis, maka Niko akan semakin rewel.
“Aku harus carikan Niko ibu s**u. Tapi gimana sama mama. Mama pasti gak akan setuju. Akh, pusing aku!” Galang yang stres menyugar rambutnya kasar ke belakang.
Sepanjang hari, Galang menunggu laporan dari asistennya. Telepon dari suster penjaga Niko juga berdering terus setiap kali Niko gagal minum s**u.
Pintu ruangan Galang terbuka. Dia berharap Aji yang masuk membawa laporan yang dia harapkan.
“Kamu. Ngapain kamu ke sini?” tanya Galang saat melihat Velia muncul di hadapannya.
“Mampir aja. Sekalian mau ngajak kamu makan siang bareng. Kat—“
“Aku sibuk. Aku gak ada waktu!” tegas Galang.
“Tapi kamu harus makan siang, Lang.”
“Nanti.”
“Galang!” bentak Velia yang kesal melihat sikap Galang yang terus mengabaikannya.
Galang mengangkat pandangannya dan menatap tajam ke arah Velia. “Kalo kamu mau ribut di sini, mending kamu pergi. Aku udah cukup stres hari ini!”
“Stres? Pasti karena Niko lagi kan? Lagian ngapain sih kamu repot-repot ngurusin dia. Serahkan aja dia ke keluarga Linda. Lagian dia kan anak gak jelas.”
“Diam kamu!” bentak Galang semakin kesal.
“Pergi. Pergi kamu dari sini. Ato aku bakalan panggil penjaga buat seret kamu keluar!” tegas Galang mengusir Velia.
Velia kesal pada Galang. “Kita harus segera rancang pernikahan kita, Galang!”
“Aku pasti akan nikahin kamu, kalo semua urusan aku selesai. Kalo kamu mau kita cepat nikah, jangan ganggu aku!”
Velia yang sangat mengenal watak Galang, memilih pergi dari pada nanti Galang akan berulah lagi membatalkan pernikahan mereka.
Galang dan Velia memang sedang menjalani perjodohan bisnis. Setelah kehilangan salah satu putra mereka, kini keluarga Galang, ingin menjodohkan putra tertua di keluarga Bagaskara, demi memperbesar bisnis keluarga.
Saat Velia hendak keluar, Aji masuk ke dalam ruang kerja Galang. Pria itu menundukkan kepalanya pada Velia yang berjalan melewatinya dengan wajah cemberut.
Galang yang melihat kehadiran asisten pribadinya, diam-diam berharap agar Aji akan membawa berita yang dia harapkan.
“Kamu sudah dapat infonya?” tanya Galang.
“Sudah, Pak.”
“Novia ibu tunggal yang baru saja kehilangan anaknya. Anaknya meninggal dua minggu lalu dan dia juga harus merawat ibunya yang sa—“
“Jadi itu benar asi,” gumam Galang yang tidak lagi konsentrasi pada laporan Aji.
“Anaknya meninggal karena apa?”
“Panas tinggi, Pak. Meninggal sebelum sampai di rumah sakit.”
“Dia gak punya suami?”
“Menurut kabar suaminya sudah pergi sejak dia hamil, Pak.”
“Aji, kamu tadi liat kan kalo baju Novia basah. Itu kena apa?”
“Asi, Pak. Menurut info, asi Novia sering tumpah karena dia memang masih di awal masa menyusui. Jadi dia sering pompa asinya di kantor lalu dia buang, Pak.”
“Dibuang? b******k! Seenaknya aja dia buang asinya!” geram Galang menggerutu sendiri.
Galang diam sejenak. “Panggil Novia ke sini. Dan cari tahu lebih dalam tentang keluarganya dan juga tentang anaknya yang meninggal.”
“Baik, Pak.”
Ada sedikit embusan angin segar saat Galang mendengar apa yang disampaikan Aji. Setidaknya Niko bisa tertolong kalau bisa mendapatkan asi meski dari orang lain.
Galang kini hanya berharap kalau Novia bersih dari masalah kesehatan dan dinyatakan layak menjadi ibu s**u Niko. Masalah Novia bersedia atau tidak, itu bukan sesuatu sang sulit untuk orang seperti Galang.
Novia sedang duduk di ruang rapat, setelah dia membersihkan ruangan itu sendirian. Novia menarik napas dalam karena kelelahan.
Gubrak.
Novia segera berdiri saat melihat pria berdasi masuk ke dalam ruang rapat.
“Ma-maafkan saya, Pak,” ucap Novia yang segera meraih alat pelnya.
“Novia,” panggil Aji.
“Iya, Pak.”
“Taruh pel itu sini dulu. Kamu ikut saya.”
“Sa-saya, Pak. Ke-ke mana?” tanya Novia ketakutan.
“Cepet ikut saya.”
Aji segera keluar dari ruangan itu dan mau tidak mau Novia pun segera mengikutinya. Mereka berdua naik lift yang membuat Novia semakin tegang karena lift itu menuju ke arah atas.
Novia memejamkan matanya erat-erat. “Ya ampun, kenapa lagi ini. Kenapa aku di bawa ke sana lagi,” ucap Novia dalam hati saat dia mengetahui ke mana tujuan mereka.
Dan benar saja, Aji menyuruh Novia keluar saat mereka tiba di lantai tempat Galang bekerja. Dengan sedikit menyeret langkahnya, Novia dengan pasrah mengikuti langkah kaki Aji.
Aji langsung membawa Novia ke hadapan Galang. Pria pimpinan perusahaan ini langsung menatap tajam ke arah Novia yang masih berdiri sambil menunduk.
“Tinggalkan kami,” perintah Galang.
“Baik, Pak,” jawab Aji yang kemudian terdengar suara langkah kaki menjauh dari meja kerja Galang.
Galang masih melihat ke arah Novia yang berdiri di depannya. Tatapannya tertuju ke d**a Novia yang saat ini dadanya terlihat lebih membusung dibandingkan dengan saat pertama mereka bertemu.
“Kamu tau kenapa saya panggil lagi?” tanya Galang memecahkan keheningan.
“Tidak, Pak.” Novia masih tetap menunduk, berharap atasannya tidak memecatnya.
“Serahkan susumu ke saya,” ucap Galang tiba-tiba.