Bab 5

1612 Kata
Ara masih menungguku memberi jawaban dari dua pilihan yang diberinya, di luar apartemen Briana masih berteriak tidak mau kalah. Damn! Aku terjebak permainan yang aku buat sendiri, aku mencintai Ara dan tidak mau melihatnya terluka di posisinya seperti saat ini tapi aku juga tidak mungkin mengakhiri apa yang telah aku mulai tanpa menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang aku harapkan. "Ara..." aku hendak mendekatinya, tapi dia mundur beberapa langkah dengan airmata masih mengucur dari bola mata yang dulunya bersinar sekarang terlihat sendu dan sedih. "Aku atau dia!" ujarnya lagi disela isak tangis tertahan, aku masih diam membisu di tempatku berdiri, aku menghela napas, aku butuh berpikir dengan jernih. "Rovan!" ketukan di pintu luar semakin memekakkan telinga, aku butuh ketenangan untuk bisa berpikir secara logis tapi sepertinya Briana tidak rela melihatku hidup dengan tenang. "Maaf, kamu memintaku memilih dia atau kamu jadi aku akan menjawab..." aku menghela napas dan melihat panjang ke arahnya, "aku nggak akan milih siapa-siapa untuk saat ini, aku tetap pacar kamu dan kamu tetap pacar aku dan wanita itu hanya pion catur yang akan aku mainkan dalam permainan yang sedang aku rancang, kamu dengar apa yang dia bilang tadi kan? Rencanaku semakin mendekati tujuan dan setelah aku berhasil membalas semuanya, aku akan meninggalkan dia dan memilih kamu," sambungku dengan penuh keyakinan, ya aku yakin bisa menyelesaikan semuanya dengan secepatnya dan membalas semua kesalahan yang telah aku perbuat pada dirinya. Ara mendekat dan mengarahkan mulutnya di telingaku, lalu tertawa miris dan berkata dengan nada pelan, "Kamu... sangat...egois... Rovan Arizona," dia sengaja memenggal ucapannya lalu menghela napas berulang kali, "kamu menghancurkan hati dua wanita secara bersamaan dan jangan sampai menyesal kalau suatu saat kamu akan kehilangan kami berdua, dulu aku pikir tujuan kami memang hanya balas dendam tapi mendengar perkataan tadi aku semakin yakin kalau aku dan wanita itu mempunyai tempat yang sama di hati kamu meski belum kamu sadari dan kita lihat siapa yang akan menangis diakhir cerita ini, aku... kamu... atau wanita itu atau kita bertiga secara bersamaan," ujarnya lagi setelah menghela napas, ya Ara benar dan aku jamin Briana menjadi satu-satunya orang yang akan menangis diakhir permainan ini, aku jamin bukan aku atau Ara tapi dia. **** Ara mendiamkanku beberapa hari, semua usahaku untuk menghubunginya selalu mental di tengah jalan, orang tuanya pun seperti angkat tangan saat aku ingin bertemu Ara. SMS yang aku kirim diacuhkan, w******p di blokir bahkan setiap aku meneleponnya pasti direject atau ponselnya dimatikan, Ara benar-benar dalam suasana hati tidak baik dan aku sadar ini semua mungkin hukuman atas perlakuanku yang menyakiti hatinya. Niat hati ingin berkeluh kesah tentang amarah Ara dengan Calvin yang ada dia tidak berhenti meledekku. "Aduh Abang Rovan yang ganteng sayang nggak setia, maruk atau apalah, makanya jadi orang jangan suka main api kalo tidak mau terbakar, terbuktikan ini akibatnya kalau berani menginjak dua perahu dengan satu kaki, untung saja lo nggak tenggelam, ckckckc makanya hentikan sebelum semua terlambat, mungkin sekarang Ara hanya bisa marah dan mendiamkan lo, bagaimana kedepannya kalau hati lo mulai terombang-ambing di antara Ara dan Briana, gue jamin nggak ada wanita yang mau pacarnya berciuman, make out atau petting dengan wanita lain, helowwww gue jamin lo bakal goyah jika setiap hari disuguhi wanita h***y," moodku yang buruk kian memburuk saat mendengar ocehan Calvin. Aku merebut semua keeping DVD dari tangannya dan berniat mematahkan DVD itu jika dia masih membuatku kesal dengan mulut nyinyirnya. "Yaelah, jangan dong bro...itu DVD pesanan tante-tante langganan gue, katanya kalo DVD kali ini isinya ruarrrrrr biyasakkkk maka gue akan diajak jalan-jalan keliling yurop, yuropppppp bro gila nggak tuh! Kapan lagi gue bisa jalan-jalan gratis," aku menjitak kening Calvin yang isinya kalo nggak bokep ya uang, kurang apa sih kakak pertamanya memberi fasilitas penunjang hidupnya hingga masih saja menggantungkan hidup dengan menjual kenikmatan birahi, lama-lama Calvin bisa berubah haluan menjadi gigolo. "Terus nanti lo upload foto berdua tante-tante itu terus lo bikin hastag #liburanberdua #lovelymoment #sekamarberdua #12haritanpapengaman #openyoureyes," sindirku menirukan sesetanteh yang nggak punya pori-pori yang heboh mengejar pertanggungjawaban seorang brondong. "Hahahaha ya ya bisa jadi, gue nggak sabar menghabiskan liburan bareng tante Zeefa, pasti uangnya banyak dan bisa gue porotin," aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan ulah Calvin, Calvin merebut kepingan DVD itu dari tanganku dan tersenyum tanpa beban. Tidak sepertiku yang merasa beban semakin lama semakin menekan kedua pundakku. **** "Happy anniversary dear Rovan," aku terkejut saat membuka apartemennya, terlihat suasana romantis dengan cahaya lampu sengaja dibuat temeram, aku juga melihat lilin-lilin terpasang dimeja makan dan tentu saja meja dipenuhi berbagai macam hidangan dan juga sebotol wine. "Happy anniversary? Wow kenapa aku nggak tau kalo hari ini kamu ulang tahun, bukannya itu akhir tahun ya," tanyaku bingung, dia bergelayut manja ditanganku, Briana akan menjadi sosok berbeda jika berada disampingku. Mengenalnya hampir tiga bulan dan menjadikan dia 'kekasih' selain Ara membuatku mengenal sosok lain dari seorang Briana. Kesombongan, keangkuhan dan galak hilang seketika saat dia berada didekatku. "Yahhhh bukan ulang tahun aku, tapi hari jadi perkenalan kita yang ke 90 alias tiga bulanan," balasnya sambil mencium pipiku, aku tertawa bukan karena senang tapi merasa menjijikkan, untuk apa sih merayakan hari jadi nggak penting seperti ini. Sangat sangat kekanakan, tidak pantas bagi wanita seusianya melakukan hal memuakkan seperti ini. "Oh... happy anniversary Briana sayang," aku membalas ciumannya dengan sebuah pelukan. "Ayo duduk dan cicipi masakan pertama yang sengaja aku buat," dia mendorong tubuhku untuk duduk di meja makan, terlihat beberapa piring berisi makanan berbentuk aneh. Aku yakin kalau  memakan makanan aneh ini, perutku akan langsung sakit minimal diare. "Wah kamu masak sendiri? Pasti rasanya sangat enak," balasku basa basi busuk, cuih andai tidak untuk memuluskan rencana besarku, secuilpun makanan ini tidak akan aku sentuh. Dia tersenyum dan mengangguk lalu membuka tutup wine dan menuangkan kedalam gelas khusus yang telah disediakannya. "Untuk kamu my dear," dia menyerahkan wine itu dan aku langsung meneguk sampai habis untuk menetralkan rasa lidah sebelum mencicipi daging yang tersedia diatas piring. Aku mulai memotong daging itu dan mencoba mengunyahnya. Gigitan pertama terasa lembut, aku mengunyah untuk merasakan kelembutan daging itu dan aku masih merasakan lembutnya daging yang bentuknya walaupun aneh tapi memiliki cita rasa lumayan enak, eh bukan lumayan tapi benar-benar enak. Cacing-cacing diperutku langsung meminta lagi dan lagi. "Enakkan aku nggak tau apa steak itu sesuai dengan selera kamu tapi aku yakin rasanya mencerminkan apa yang hatiku rasakan," dia tersenyum dan ikut memotong dagingnya, aku melihat pergelangan tangannya seperti tertutup perban. Aku menghentikan kunyahan dan menatapnya tajam. "Tangan kamu kenapa?" tanyaku, dia berusaha menyembunyikan tangan itu dariku. "Ah nggak kenapa-napa kok," balasnya, aku tau itu bukan luka biasa... jangan bilang gara-gara memasak tangannya mengalami luka atau terkena minyak panas. "Bri... kamu tau aku kan, jangan paksa aku untuk melihat langsung kenapa tangan kamu sampai dibebat perban," ancamku. "Nggak apa-apa... percaya sama aku ya, aduh makanannya jadi dinginkan," dia berusaha mengacuhkan aku dengan menuangkan wine dengan tangan kirinya, aku tau dia bukan kidal dan ya wine itu tidak tertuang dengan benar di gelas. "Jawab!" teriakku, wajahnya berubah dari manja menjadi dingin. "Selera makan aku hilang, aku mau tidur," dia meninggalkan meja makan, aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja langsung menarik tangan kirinya dan mendorongnya menuju kamar pribadinya. "Rovan! apa yang kamu lakukan!" teriaknya dan berusaha membebaskan diri dari pelukanku. "Kita sudah lama tidak intim seperti ini dan aku nggak suka kamu membantah apa yang aku perintahkan!" aku menahan tangan kiri dengan badanku sedangkan tangan kananku berusaha melepaskan perban yang mengikat pergelangan tangannya. Dia meronta, berteriak, menyumpahiku atau apapun yang bisa dikeluarkannya, tapi aku tidak peduli dan saat perban itu terbuka aku melihat luka panjang, bukan terkena minyak seperti dugaanku tapi sebuah sebuah luka akibat irisan benda tajam. "Kamu... melukai diri sendiri, Bri? Kenapa?" dia mendorongku dan aku jatuh terjerembab ke lantai kamar, dia memungut perban yang telah berserakan dan memasangnya secara tidak beraturan. "s**t! Perban sialan!" dia memaki perban yang kembali jatuh akibat susahnya menggunakan tangan kiri, aku memungut perban yang jatuh dan menahan tubuhnya untuk tetap duduk diatas ranjang, aku mengambil tangannya dan yakin kalau luka ini belum terlalu lama, kami terakhir bertemu dua hari yang lalu dan luka itu belum ada. "Wanita secantik kamu kenapa melakukan hal bodoh seperti ini," dia diam dan membuang muka, aku melihat genangan airmata di sudut matanya. "Mungkin dengan bercerita beban di hati kamu akan semakin berkurang," aku mengikat perban itu dan mengelus pergelangan tangannya, aku memang ingin dia terluka tapi hanya berupa bathin bukan fisik seperti ini. "Nggak ada yang perlu diceritakan... ah iya mau lanjut? Kita sepertinya sudah terlalu lama tidak bermesraan," dia mengalunkan kedua tangannya di leherku, aku menghela napas. Briana belum 100 % mencintaiku dan mempercayaiku, aku butuh usaha keras untuk membuatnya tunduk dan mau membuka kunci gembok yang tiga bulan ini susah aku buka. Dia mendekatiku dan mencium hidungku pelan, aku selalu terbuai dan melupakan tujuanku jika dia sudah memancingku dengan ciuman panas andalannya, aku terbuai sampai rasa ingin tauku tentang luka itu hilang dan berganti dengan napsu membara, AC di kamar tidak sedikitpun membuatku kedinginan yang ada gerah dan rasanya ingin melepaskan semua kain yang melekat di tubuh kami berdua. Ritual yang biasanya kami lakukan setiap pagi kini bertambah di malam hari dan entah kapan aku bisa terbebas dari kebinalan Briana yang mampu membuat lututku goyah setiap dia menyentuh setiap inci tubuhku. "I hate my family," bisiknya di telingaku sesaat sebelum aku melepaskan tanganku dari area intimnya yang sudah basah akibat permainan jariku. Aku menatapnya tajam, ada kerapuhan dibola matanya. Dia melihatku. "Kamu... nggak akan menyakitiku seperti mereka kan? Darah mereka mengalir ditubuhku menjadi alasan aku tidak membunuh mereka, tapi jika kamu ikut menyakitiku... aku nggak tau apa yang akan aku lakukan... mungkin membunuh menjadi jalan pembalasan setimpal," aku menyumpal mulutnya dengan ciuman demi ciuman, lenguhan,... desahan keluar dari mulutku dan mulutnya disaat bersamaan. Aku hampir terbuai dan hampir merenggut hartanya andai bel pintu tidak berbunyi. Dia menghentikan ciuman kami dan mengmbil tissue basah yang selalu ada di samping ranjangnya, dia membersihkan apa yang telah aku lakukan pada dirinya dan mengenakan kembali pakaian yang sudah berserakan di lantai. "Cukup untuk malam ini, dear... thank you," dia tersenyum dan keluar dari kamarnya meninggalkan aku dengan bayangan ucapannya tadi tentang membunuh siapapun yang menyakitinya. Aku tertawa sinis. "Aku tunggu tangan itu membunuhku, dear Briana" **** Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN