Aku duduk bersimpuh di sisi jenazah suamiku. Aku memeluk Haidar, dia dari tadi memandangi wajah ayahnya yang sengaja aku buka. Haidar tidak menangis, dia mengusap lembut kening ayahnya. “Nda, yayah bobo?” tanya Haidar. “Iya, ayah sedang bobo, dan ayah mau berangkat ke surga, Nak,” ucapku dengan menciumi wajahnya. Aku sebisa mungkin tidak menangis, aku sebisa mungkin harus terlihat tegar di depan anakku. Air mataku lolos dari sudut mataku, meski aku sudah menahannya agar tidak jatuh, tapi tetap saja air mataku menetes. “Nda angan anis.” Haidar menghapus air mataku, daia juga menciumku. “Bunda tidak menangis, Sayang,” jawabku dengan tersenyum di depannya. “Haidar, sekarang Haidar hanya sama Bunda, Opa, dan Oma. Bunda minta, Haidar jangan rewel ya, Nak? Kasihan yayah yang sudah di surga

