Suara pintu depan terbuka perlahan. Zeya masih duduk di ujung ranjang dengan selimut tersampir di lutut, menatap kosong ke arah jam dinding. Waktu sudah melampaui pukul sembilan malam. Hening. Ia mengira itu suara angin atau mungkin sekadar ilusi dari harapannya yang tak kunjung dijawab. Tapi langkah kaki itu nyata. Zeya menoleh cepat ke arah pintu kamar. Degup jantungnya langsung tak beraturan. Bayangan tubuh tinggi itu muncul dalam siluet, dan untuk sesaat, ia tak bisa berkata apa-apa. Kenzo berdiri di ambang pintu, jas kerjanya sudah dilepas, dasinya setengah longgar, wajahnya lelah tapi hangat. Pandangan mereka bertemu dalam diam. Zeya tetap diam di tempat, tubuhnya kaku, tapi bola matanya langsung menggenang. Bibirnya sempat membuka, ingin menyapa, namun hanya udara yang keluar. I