Bab 3 - Cucu Konglomerat

892 Kata
Zeya duduk di sisi ranjang, menatap kosong ke luar. Wajahnya terlihat lebih pucat dari kemarin, dan ada lingkaran samar di bawah matanya. Ia tampak tenang di luar, tapi kedua tangannya gemetar ringan. Kenzo masuk membawa hasil lab. Ia melirik sekilas, kemudian meletakkannya di atas meja tanpa banyak kata. “Zeya,” panggilnya singkat. Zeya hanya menoleh tanpa suara. “Kamu demam ringan. Mungkin efek dari stress metabolik pasca trauma, tapi hasil lab lainnya cukup stabil.” Zeya tidak merespons. Kenzo duduk di kursi seberang ranjang, posturnya tetap tenang dan tegas. “Aku butuh tanya satu hal lagi. Kamu yakin tidak ingin memberi tahu kami tentang keluargamu?” Zeya terdiam. Jemarinya meremas ujung selimut. Kenzo memperhatikan gesturnya yang kaku, matanya menelusuri reaksi kecil di wajah pasien itu. “Kami sudah identifikasi kamu lewat sistem nasional. Nama lengkapmu sudah terdaftar. Dan karena kamu belum menghubungi siapa pun, sesuai protokol rumah sakit, aku harus melibatkan pihak kepolisian untuk menyampaikan informasi ini ke keluargamu.” Zeya menoleh cepat, suaranya pelan tapi tegas, “Jangan.” Nada itu seperti datang dari tempat yang dalam dan penuh luka. Kenzo tetap tenang, meski ada sedikit perubahan di matanya. “Zeya, ini bukan hanya soal kamu. Kami terikat hukum dan etika. Kalau kamu dalam kondisi sadar dan stabil, kamu bisa menolak. Tapi kalau kamu masih dalam observasi trauma psikis, kami harus bergerak.” Zeya memejamkan mata, lalu berbisik, “Aku nggak mau pulang.” Kenzo menatapnya lama. Ia mencatat sesuatu di tabletnya, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa. Beberapa saat setelahnya, seorang perawat muda masuk ke kamar membawa alat tensi. “Halo, Mbak Zeya. Boleh saya periksa tekanan darahnya sebentar?” Zeya mengangguk. “Namamu siapa?” “Raina,” jawabnya sambil tersenyum. “Saya baru dua hari di sini, tapi udah dengar tentang kamu.” “Dengar apa?” tanya Zeya curiga sambil tertawa kecil. “Katanya kamu pasien spesial. Soalnya langsung ditangani sama Dokter Kenzo. Biasanya yang beliau tangani itu kasus darurat gawat banget.” “Dia memang... kelihatan spesial,” sahut Zeya pelan. Raina tertawa. “Dia memang dokter paling andalan di sini. Masih muda, tapi udah kayak konsultan senior. Orang tuanya pemilik rumah sakit ini, tapi dia tetap kerja keras, nggak pernah bawa-bawa nama keluarganya buat cari hormat.” Zeya menoleh penuh perhatian. “Serius?” Raina mengangguk semangat. “Iya. Dingin, tapi penuh dedikasi. Dan ya, kamu pasti juga sadar—dia ganteng banget untuk ukuran dokter. Kami suka bilang, dia itu dokter yang lebih cocok jadi model.” Zeya tertawa pelan, menunduk malu. “Aku cuma kagum aja, deh." "Kagum doang boleh. Tapi hati-hati jatuh hati,” canda Raina sebelum pamit keluar. Zeya tersenyum kikuk, diam-diam dia menyembunyikan pipi merahnya sendirian. Sore harinya, Kenzo duduk di kantor administrasi bersama kepala unit hukum rumah sakit dan seorang petugas dari kepolisian medis. “Kami sudah dapat konfirmasi dari database nasional. Zeya Arluna Hartawan, Usia 22 tahun. Terdaftar sebagai anak tunggal Hartawan Wijaya," jelas kepala unit hukum sambil memperlihatkan datanya. Rupanya Zeya adalah cucu konglomerat, tapi aneh karna tidak ada yang mencarinya. “Kami akan kirim pemberitahuan resmi kepada keluarga. Tapi karena pasien menolak bertemu siapa pun, kami butuh observasi lanjutan dari psikiatri untuk penilaian kompetensi,” tambah petugas kepolisian. “Besok pagi saya jadwalkan observasi dari Dr. Naomi,” kata Kenzo. “Tapi perlu dicatat, pasien menunjukkan reaksi defensif ekstrem saat mendengar tentang keluarga. Ada indikasi tekanan emosional yang belum terungkap.” Malamnya, Kenzo kembali masuk ke kamar 303. Zeya duduk termenung, matanya menatap jendela yang mulai gelap. Di tangannya, ia memegang gelang logam bertuliskan “Zeya”. Ada inisial kecil lain di baliknya H.A.W. “Kamu gemetar,” ucap Kenzo perlahan. Zeya menoleh cepat, menyembunyikan pergelangan tangannya di balik selimut. “Aku nggak apa-apa.” Kenzo berjalan mendekat, lalu duduk di sisi ranjang. “Kalau kamu tidak percaya pada siapa pun, aku bisa terima. Tapi kamu harus tahu satu hal. Selama kamu di bawah perawatan kami, keselamatanmu menjadi tanggung jawabku.” Zeya mengerjap pelan. “Apa kamu percaya padaku?” “Aku percaya kamu pasien yang sedang terluka. Dan aku akan tetap jadi doktermu, apapun yang terjadi.” Zeya mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya, ia menahan perasaan yang lebih rumit dari sekadar rasa sakit fisik. Sementara itu, di ruang dokter, Kenzo duduk sambil menatap layar tablet. Ia menonton ulang rekaman pengamatan awal Zeya. “Aku rasa aku didorong,” suara itu lirih, seperti gumaman dalam tidur. Di sebelahnya, dr. Tirta duduk dengan cangkir kopi. “Kamu masih kepikiran pasien itu?” Kenzo mengangguk. “Kamu lihat hasil observasinya. Fisiknya bagus, tak ada gangguan kognitif signifikan. Tapi dia bersikeras lupa semuanya. Dan reaksi emosinya terlalu stabil untuk ukuran seseorang yang trauma.” “Dissociative amnesia bisa seperti itu,” sahut Tirta santai. “Atau dia pura-pura. Kamu curiga?” “Aku nggak bisa bilang pasti. Tapi ada tanda-tanda gerakan tubuhnya terlatih, cara dia merespons terlalu cerdas.” Tirta menyeruput kopinya. “Kalau dia pura-pura, berarti ada alasan besar di baliknya.” Kenzo mengangguk pelan. “Dan aku rasa apa pun itu, dia belum siap bicara.” Tirta menepuk pundaknya. “Jaga dirimu juga. Jangan sampai kamu jadi terlalu dalam sebelum kamu tahu pasti kamu berdiri di mana.” Kenzo menatap cangkir kopinya. Masih ada sisa panas di dasar gelas, seperti sisa rasa yang belum sempat ia pahami sepenuhnya. Zeya Arluna. Siapa kamu, sebenarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN