Bab 4 - Kepulangan Yang Tak Diinginkan

923 Kata
"Aku boleh minta bubur ayam, yang tanpa daun bawang?” “Lah, daun bawangnya diambilin dulu aja, Mbak,” jawab perawat Raina sambil tertawa. “Enggak ah. Wanginya aja aku udah eneg.” “Kamu ini picky juga ya ternyata,” canda Raina sambil menuangkan teh hangat ke gelas plastik kecil di atas nampan. Pagi itu Zeya tampak lebih segar. Rambutnya diikat sederhana, matanya tidak lagi sembab. Tapi senyumnya masih canggung, belum sepenuhnya tenang. “Dokter Kenzo belum datang?” tanya Zeya seolah tak peduli, tapi matanya jelas mencari. “Biasanya dia mulai visite jam sembilan, tapi tadi sempat saya lihat dia di ruang tindakan. Mungkin hari ini banyak pasien.” Raina tersenyum menggoda. “Kangen, ya?” Zeya pura-pura sibuk mengaduk teh. “Biasa aja. Kan dokter semua ramah.” “Halah,” sahut Raina. “Kalau ramah, semua dokter juga. Tapi kalau keren dan dingin-dingin manis? Cuma satu.” Zeya nyengir, tapi tak menjawab. Baru saja ia akan menyendokkan bubur ke mulut, pintu kamar diketuk dua kali. “Permisi.” Kenzo muncul di ambang pintu. Rambutnya agak berantakan, wajahnya sedikit lelah, tapi tetap rapi dan terjaga. Ia memegang tablet dan mengenakan jas dokter berwarna putih bersih. Zeya buru-buru meletakkan sendok. “Pagi,” ucap Kenzo datar. “Pagi,” jawab Zeya cepat, lalu melirik ke arah Raina yang langsung pamit dengan alis menggoda. Kenzo melangkah masuk, menatap layar tablet lalu menoleh pada Zeya. “Gimana tidurnya?” “Lumayan.” “Ada keluhan nyeri kepala atau mual?” “Sedikit pusing tadi malam, tapi udah hilang.” Kenzo mencatat sambil duduk di kursi sisi ranjang. “Hari ini observasi kamu dari psikiatri dimulai. Dr. Naomi akan datang sekitar jam sebelas. Aku juga… perlu kasih info tambahan.” Zeya menegakkan badan. “Info apa?” Kenzo tak langsung menjawab. Ia menatapnya sejenak, seolah menimbang reaksi. “Pihak keluarga kamu akan segera menjemput. Ada seseorang yang dikirim langsung dari rumah keluarga Wijaya. Pihak kepolisian sudah menghubungi mereka, dan tadi pagi utusan keluarga tiba di rumah sakit.” Seketika wajah Zeya berubah. Tak ada kata keluar dari bibirnya, tapi tatapan matanya kosong. Dingin. Terluka. “Kamu bohong,” ucapnya pelan. “Aku nggak bohong. Aku dokter kamu, Zeya. Dan aku menjalankan prosedur sesuai etika medis.” “Aku percaya sama kamu.” “Dan aku tetap menjalankan tanggung jawabku.” “Tanggung jawab?” Zeya berdiri. “Aku pikir kamu orang pertama yang nggak akan mengembalikan aku ke tempat yang kubenci. Tapi ternyata kamu sama aja kayak mereka semua. Nggak peduli aku mau ke mana. Nggak peduli aku kenapa lari dari rumah itu.” “Zeya, kamu belum cerita apapun. Kami hanya bisa bertindak sesuai data dan hukum.” “Tapi kamu tahu aku bilang aku didorong!” “Kamu bilang itu waktu kamu setengah sadar. Setelah sadar, kamu bilang lupa semuanya.” Zeya tertawa getir. “Kamu lebih percaya catatan medis daripada mulutku sendiri.” “Zeya…” “Pergi. Aku nggak mau lihat kamu.” Kenzo terdiam. Napasnya berat. Ia berdiri pelan, memasukkan tablet ke saku jasnya. “Setelah ini, ada psikiater yang akan observasi kamu. Dan siang nanti, orang dari keluargamu akan masuk. Aku akan tugaskan dokter jaga untuk gantikan aku sementara.” Zeya tak menoleh. Tubuhnya kaku. Tapi saat Kenzo membuka pintu untuk keluar, suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. “Aku lebih baik jatuh dari tangga itu lagi daripada harus kembali ke rumah itu karena kamu.” Pintu tertutup. Beberapa jam kemudian, Zeya masih termenung di jendela. Sarapannya dingin. Buburnya tak disentuh lagi. Suara langkah kaki masuk, lalu suara baru terdengar. “Halo, saya Dr. Naomi, psikiater. Boleh saya duduk?” Zeya tidak menjawab. Tapi ia mengangguk pelan. Dr. Naomi duduk di kursi, meletakkan map di pangkuan. “Kalau kamu belum mau cerita hari ini, nggak apa-apa. Kita ngobrol yang ringan aja dulu. Aku bukan detektif, kok.” Zeya tersenyum tipis. Tapi tidak bicara banyak. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap ke arah gerbang rumah sakit. Sebuah mobil hitam mewah baru saja berhenti di sana. Seorang pria berjas rapi turun sambil berbicara lewat ponsel, diikuti dua staf berseragam. Zeya menegang. Dan dari kejauhan, matanya bertemu dengan sosok itu—seseorang yang membawa lambang keluarganya. Dia datang untuk menjemput. Dan Zeya tahu, sejak hari ini hidupnya tak akan lagi sama. Di ruang dokter, Kenzo berdiri di depan mesin kopi, menatap kosong ke arah cangkirnya yang hampir penuh. Di sebelahnya, dr. Tirta melirik sambil menyeruput kopi hangatnya. “Kamu kelihatan kayak orang gagal operasi.” “Pasienku marah besar,” sahut Kenzo. “Pasien yang mana? Yang cantik itu?” Kenzo tidak menjawab. Tirta menyenggol lengannya. “Satu hal yang harus kamu ingat, bro. Jadi dokter itu berat. Tapi lebih berat lagi kalau kamu mulai campur aduk profesionalisme dengan emosi pribadi.” “Aku tahu.” “Ya tahu, tapi tetap kejebak,” Tirta menepuk bahunya pelan. Kenzo menghela napas. Matanya menatap jauh ke depan, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang belum selesai ia bedah—perasaan bersalah dan rasa yang tak ia pahami. Siang itu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan, Zeya keluar dari kamar rumah sakit dengan pakaian rapi dan rambut terurai. Wajahnya cantik, tenang, tapi jelas tak bahagia. Utusan keluarganya menunduk hormat, membukakan pintu mobil untuknya. Zeya menoleh ke belakang. Ke arah rumah sakit, ke arah jendela lantai dua tempat ia tahu Kenzo biasa berdiri saat jeda operasi. Tapi hari itu, Kenzo tak terlihat di mana pun. Dan Zeya tahu, mulai sekarang luka yang dulu terasa hangat kini mulai mengeras jadi dinding dingin yang sulit dipecahkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN