“Zeya!”
Langkah kaki tergesa terdengar dari arah lorong. Seorang wanita anggun bergaun satin biru muda berlari kecil lalu langsung memeluk Zeya erat.
“Maafkan Mama, ya. Mama benar-benar nggak tahu kamu kecelakaan. Mana yang sakit? Apa kamu luka parah? Mama benar-benar kaget waktu dikabari kamu ditemukan di rumah sakit.”
Zeya membiarkan pelukan itu berlangsung beberapa detik sebelum perlahan menarik diri.
“Sudah nggak sakit.”
“Syukurlah. Kamu kelihatan lebih dewasa sekarang. Makin cantik juga.”
Zeya hanya tersenyum kecil. “Terima kasih.”
“Ayo duduk dulu. Mama sudah siapkan teh kesukaan kamu.”
Zeya mengikuti langkah ibunya ke ruang tengah. Ruangan itu tetap mewah dan hangat, tapi tidak ada rasa nyaman di dalamnya. Ia duduk, menyilangkan kaki dan menerima secangkir teh melati dari pelayan.
“Mama nggak nyangka kamu bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Tapi mungkin ini saat yang tepat, ya.”
Zeya mengangkat alis. “Saat yang tepat untuk apa?”
Wanita itu tersenyum samar. “Untuk mulai dari awal. Semua orang pernah jatuh, Sayang. Tapi kamu bisa bangkit. Mama yakin itu.”
Zeya memandangi cangkir teh di tangannya. “Aku nggak merasa sedang jatuh.”
“Lalu kenapa ekspresimu seperti orang yang tidak senang pulang ke rumah sendiri?”
“Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”
“Wajar. Rumah ini memang sunyi sekarang. Sejak Papa kamu pergi, suasananya terasa berbeda.”
Zeya menahan perasaan ingin muntah. Ia memaksakan senyum tipis. “Iya.”
Perang dingin tersaji rapi. Tidak ada teriakan, tidak ada tuduhan. Hanya sapaan lembut dan senyum yang saling membunuh pelan-pelan.
“Kamarmu masih sama. Mama nggak ubah sedikit pun. Kamu masih suka wangi lavender, kan?”
“Masih.”
“Aku minta pelayan naikkan koper kamu. Nanti Mama ke atas sebentar ya, bantu kamu bongkar barang.”
“Maaf, aku ke kamar dulu ya. Pusing.”
“Oh tentu. Istirahat yang cukup.”
Zeya berdiri dan menaiki tangga tanpa menoleh. Begitu pintu kamar tertutup dan terkunci, ia jatuh terduduk di lantai, napasnya terengah.
Tangannya bergetar, wajahnya basah keringat dingin. Serangan panik datang lagi.
Zeya menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan tangis, lalu beringsut ke tempat tidur. Ia menggenggam bantal seolah bisa melindungi dirinya dari segalanya.
Beberapa menit berlalu. Ketukan di pintu terdengar.
“Nona Zeya. Maaf mengganggu. Kakek Anda sudah sadar.”
Zeya membuka matanya pelan. Ia bangkit dan segera turun ke ruang medis pribadi.
Begitu pintu dibuka, Pak Hartawan duduk bersandar dengan wajah lelah tapi segar. Tatapannya langsung mengarah pada cucu perempuannya.
“Kamu pulang.”
Zeya menahan air matanya. Ia duduk di samping ranjang. “Iya, Kek.”
“Kamu nggak apa-apa?”
Zeya mengangguk. “Lebih baik dari sebelumnya. Kakek gimana? Udah nggak sakit, kan? Kakek tidurnya kelamaan." Nada bicaranya masih sama, manja seperti cucu pada kakek tersayang.
"Kakek segar, seperti hidup kembali."
Zeya menghela napas lega, lalu memeluk kakeknya. "Zeya seneng, Zeya kangen kakek."
Kakeknya hanya membalas pelukan Zeya, mengelus punggungnya lembut.
“Kakek punya permintaan.”
“Apa?”
“Kamu akan dijodohkan.”
Zeya mengangkat wajahnya, kaget. “Kenapa tiba-tiba begitu?”
“Kamu butuh perlindungan. Dan Kakek sudah menyiapkan ini sebelum koma. Pilihannya sudah Kakek tentukan.”
“Aku belum siap menikah.”
“Tak ada yang benar-benar siap. Tapi kamu akan mengerti nanti.”
“Siapa orangnya?”
“Nanti malam kamu akan tahu. Datang di jamuan makan. Keluarga dia juga akan hadir.”
---
Langkah kaki Zeya melambat ketika pelayan membuka pintu ruang makan utama. Aromanya menggoda, pencahayaan temaram yang hangat berpadu dengan meja panjang penuh hidangan mewah. Di ujung meja, duduk pria tinggi bersetelan abu-abu gelap. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya.
Zeya terpaku.
Itu jelas nyata, jelas-jelas dia. "Dokter Kenzo, kan.""
Matanya berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak salah lihat. Namun ia tetap menyangkal, mungkin salah, tak mungkin.
Kenapa dia ada di sini, batinnya terus gusar bertanya-tanya.
Langkahnya otomatis mundur setengah, jantungnya berdetak tak beraturan. Seolah tubuhnya langsung bereaksi sebelum pikirannya sempat memproses.
Kenzo mendongak dan mata mereka bertemu. Tidak ada senyum. Tidak ada sapa. Hanya tatapan datar yang sejenak membuat Zeya seakan kehabisan napas. Sementara keluarga yang datang bersama Kenzo saling menyapa keluarga Zeya, juga menyapa Zeya yang menatap bingung akan semua yang tersaji di depan matanya.
“Ayo, Zeya,” suara ibunya memecah keheningan. “Kita mulai makan.”
Zeya kembali sadar dan terpaksa melangkah masuk. Ia mengambil kursi di sisi kanan Kakek, sedangkan Kenzo duduk agak jauh di seberang meja. Wajahnya tetap datar, dingin seperti malam pertama mereka bertemu di rumah sakit.
Zeya mencuri pandang beberapa kali. Otaknya penuh dengan satu pertanyaan.
Kenapa dia ada di sini. Kenapa, dan kenapa.
Mereka mulai makan. Suasana begitu formal, dingin, dan terasa dipenuhi ketegangan halus.
“Kami benar-benar bersyukur kamu menemukannya, Dokter Kenzo,” ucap ibu tiri Zeya sambil tersenyum lembut. “Kalau bukan karena kamu, kami mungkin belum tahu Zeya mengalami kecelakaan.”
“Saya hanya menjalankan tugas,” jawab Kenzo tenang. “Zeya datang sebagai pasien tanpa identitas, jadi begitu datanya muncul, kami wajib menghubungi pihak keluarga.”
“Dan kamu juga rawat Zeya dengan sangat baik, aku dengar. Terima kasih banyak.”
Zeya meletakkan garpunya perlahan di atas piring. Wajahnya berubah. Ia menatap Kenzo dengan pandangan penuh kemarahan yang tertahan.
Kenzo hanya melirik sekilas. Ekspresinya tetap dingin.
Senyum manis ibu tirinya mulai berubah kaku. Ia mulai mencium ketegangan tak kasat mata.
Sementara itu, seorang gadis seumuran Zeya, berambut panjang lurus dan mengenakan gaun putih elegan, duduk di samping ibunya.
“Oh iya, Dokter Kenzo,” suara ibu tiri itu kembali mengalun, “perkenalkan, ini Tania, anak saya.”
Gadis itu tersenyum, memiringkan kepala sedikit. “Halo, Dokter. Saya sering dengar soal Rumah Sakit Aryasatya. Keren banget bisa bertemu langsung dengan direkturnya.”
Kenzo menoleh, memberi anggukan kecil. “Senang bertemu, Tania.”
Zeya menegakkan punggungnya. Jari-jarinya mencengkeram taplak meja. Ada dorongan aneh di dadanya—bukan cemburu, tapi semacam rasa jijik.
“Dokter Kenzo ini luar biasa,” lanjut ibu tiri itu dengan nada berlapis gula. “Masih muda, tapi sangat sukses.”
Tania tersenyum manja. “Iya, dan tampan juga.”
Zeya meletakkan gelasnya agak keras ke meja. Kenzo tetap tenang. Tapi jelas ia mendengar.
Sebelum suasana makin absurd, suara berat dan tenang Kakek Hartawan memotong semua percakapan.
“Ada satu hal penting yang ingin Kakek umumkan malam ini.”
Semua kepala menoleh. Termasuk Kenzo dan Zeya.
“Zeya dan Kenzo akan menikah. Dua hari lagi.”
Suara sendok jatuh dari tangan pelayan. Piring terdengar geser. Wajah Tania membeku. Ibu tirinya tersenyum menahan kaget. Tatapan Zeya langsung tertuju pada Kenzo.
“Apa, Kek?” Zeya nyaris tak percaya. “Kenapa begitu cepat?”
“Ini bukan mendadak. Sudah dibicarakan sejak lama antara Kakek dan orang tua Kenzo. Waktu Kakek masih sadar sebelum koma.”
Zeya tidak menjawab. Ia menatap Kenzo dalam diam, menuntut penjelasan. Tapi pria itu hanya duduk tenang, menatap lurus ke depan.
Ibu tiri Zeya mulai menangkap aroma kebencian yang saling bersilang di meja makan. Ia tersenyum lembut, tapi sorot matanya tajam.
Sementara Tania menunduk, wajahnya pucat, matanya melirik Kenzo yang tak menggubris.
Kakek Hartawan kembali bicara.
“Orang tua Kenzo sudah menyetujui. Ini demi kebaikanmu, Zeya.”
Zeya tidak mengiyakan. Tidak juga menolak. Tapi ekspresinya gelisah, sama sekali tidak bisa tenang. Sementara pria itu menatapnya dingin, seolah ekspresinya sama sekali tidak bisa dibaca oleh siapapun di sana.