Di dalam apartemen Shanum yang mungil tapi hangat, Lira duduk di sofa dengan tangan mengusap perutnya yang mulai membuncit. Matanya menerawang sementara pikirannya masih terjebak dalam bayang-bayang pertemuannya dengan Aksa tadi. Kata-kata pria itu masih memenuhi kepala, membebani d4d4nya seperti batu yang menggelayut di lehernya. “Dia bilang apa?” Shanum yang baru saja menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir di atas meja, duduk di seberang Lira. Lira menghela napas. Dengan suara tertahan yang sarat dengan emosi, Lira menjawab, “Dia ingin aku menikah dengannya.” Shanum mendengus, lalu meletakkan teko kristal dengan keras di atas meja. “Sialan, dia pikir dia siapa? Setelah semua yang dia lakukan padamu, sekarang dia datang dengan tawaran konyol semacam itu?” Lira menatap sahabatnya d