“Apa maksudnya ini?” tanya Lira dengan suara yang bergetar. “Mbak Siti bilang, aku harus ke sini untuk memeriksa—”
“Dia hanya menyampaikan pesanku,” potong Aksa dengan tenang sambil menutup lalu mengunci pintu. Ia berjalan mendekati Lira. “Aku ingin bicara denganmu tanpa ada yang mengganggu.”
Lira mundur selangkah. Tubuhnya mendadak jadi kaku sementara ketegangan menguasainya dengan cepat. “Aksa, kita tidak bisa begini. Revan—”
“Revan sibuk berbincang dengan tamu-tamu yang lain,” potong Aksa lagi, “dan anak kalian tampaknya menikmati malam ini. Jadi, tidak ada alasan untuk panik, Lira.”
Lira merasakan d4d4nya semakin sesak. “Apa yang kamu inginkan?” Lira berusaha bertanya dengan suara yang terdengar tegas meskipun ketakutan.
Jarak di antara mereka kian memudar. Kedua tangan Aksa memegang lengan Lira. Tatapannya lebih dalam seperti sedang meneliti setiap detail wajah Lira. “Aku hanya ingin melihatmu,” katanya pelan, “dan, aku ingin tahu apakah kamu memikirkanku sejak malam itu?”
“Malam itu tidak berarti apa-apa,” jawab Lira cepat, meskipun ia tahu bahwa getaran suaranya mengkhianati keinginannya.
Aksa tertawa kecil. “Benarkah? Kalau begitu, kenapa kamu terlihat begitu gugup?”
Lira mencoba mundur, tapi punggungnya sudah menyentuh salah satu rak buku. Ia merasa sudah tidak punya kesempatan untuk melarikan diri. “Aksa, tolong … aku sudah melakukan semua yang kamu minta. Aku tidak ingin kita—”
“Kamu pikir kita akan berhenti sampai di malam itu?” Untuk ketiga kalinya Aksa memotong ucapan Lira. Tatapannya semakin keras dan intens mengarah ke mata Lira yang mulai diselimuti kabut ketegangan. “Kamu pikir hanya sekali tidur denganku bisa membayar semua yang sudah kuberikan untukmu dan juga suamimu itu?”
Ucapan Aksa yang merendahkan sontak membuat Lira naik darah. “Kamu pikir aku p3l4cνr?!”
“Kenyataannya memang seperti itu,” tandas Aksa, “kamu mau tidur denganku dengan imbalan.”
“Br3пgs3k kamu, Aksa!”
Lira berusaha melayangkan tamparan ke wajah Aksa. Namun, Aksa dengan mudah mencegahnya. Pria itu dengan cepat membaca dan menangkap gerakan tangan Lira, lalu mendorong Lira hingga punggung Lira menyentuh rak buku. Kedua tangannya memegang rangka kokoh rak kayu di sisi lengan Lira seakan sedang mengurung wanita itu.
“Kamu tahu, Lira. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Sejak kamu kembali ke hidupku, aku tidak bisa menghapusmu dari pikiranku. Aku ingin kamu lebih dari yang pernah aku inginkan sebelumnya.”
Tubuh Lira tiba-tiba gemetaran seiring firasat buruk yang menyambangi dirinya. Ia tahu Aksa tidak pernah main-main dan selalu serius dengan ucapannya. “Aksa, aku sudah menikah. Apa kamu tidak mengerti itu? Kita sudahi semua ini.”
Aksa mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Lira. Tapi sebelum tangannya mencapai pipi Lira, wanita itu memalingkan wajahnya dengan cepat.
“Aku mengerti,” jawab Aksa dengan suara yang terdengar seperti bisikan. “Tapi itu tidak akan menghentikanku.”
Lira melebarkan mata dan seketika napasnya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa berada di ruangan ini sendirian dengan Aksa adalah sebuah kesalahan besar, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara keluar tanpa menimbulkan kecurigaan orang lain yang mungkin saja melihat mereka.
Di luar, suara tawa para tamu masih terdengar samar. Tapi di dalam ruangan ini, Lira merasa seperti sedang berada di dalam jerat yang tidak bisa ia lepaskan.
“Aku menginginkan kamu malam ini,” bisik Aksa lagi persis di telinga Lira.
Mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa, Lira mencoba mendorong d4d4 Aksa dengan kedua tangannya. Namun, kekuatan Aksa mustahil untuk dilemahkan oleh Lira.
“Aksa, kita tidak bisa begini,” ucap Lira dengan penuh tekanan dan berharap Aksa akan melepaskannya.
“Kita bisa.” Aksa mendekatkan wajahnya ke wajah Lira. Ia bahkan menempelkan bibirnya ke telinga Lira dan membuat suaranya yang berat menjadi stimulan bagi ketakutan Lira. “Ini pilihanmu. Masih ingat?”
Tubuh Lira gemetaran di bawah perangkap tangan kuat dan tubuh atletis Aksa. “Aksa ….”
“Kamu memilih tidak meninggalkan Revan. Jadi, ini konsekuensi yang harus kamu ambil,” tutur Aksa sarat akan tekanan.
“Aksa kamu g!l4!” sergah Lira dengan suara sedikit ditekan agar tidak terlalu kencang. “Kamu sudah bertunangan dengan Shinta dan aku sudah—”
Aksa tidak membiarkan Lira bicara lagi. Ia mencium Lira dengan kasar dan tidak membiarkan wanita itu menghirup oksigen lebih banyak. Tubuhnya kian tak menyisakan jarak dan terus mendesak ke tubuh Lira. Lira bahkan bisa merasakan bukti gairah Aksa yang sudah mengeras menyentuh perut bawahnya. Lira panik. Ia tidak ingin kejadian malam itu terulang lagi. Cukup sekali ia mengkhianati Revan dan ia tidak akan pernah melakukannya lagi. Sayangnya, semua tidak seperti yang Lira inginkan.
Aksa menarik kedua tangan Lira dan memaksanya berjalan ke sofa. Alih-alih membaringkan Lira di sofa, Aksa justru membuat Lira berdiri di belakang sandaran sofa. Sementara itu, ia berdiri di belakang Lira. Tangan Aksa mendorong punggung Lira hingga Lira sedikit membungkuk dan kedua tangannya menahan di atas punggung sofa. Dengan cepat Aksa menaikan gaun Lira dan menurunkan c3l4n4 dalam wanita itu.
“Aksa, tolong jangan lakukan ini.” Lira memohon dengan suara bergetar.
Aksa tak menghiraukan sedikit pun permohonan Lira. Ia melepaskan ikat pinggang, lalu membuka kait dan menurunkan resleting celananya. Tanpa membuang waktu, Aksa melakukan penyatuan yang kemudian diiringi oleh erangan Lira.
“A-aksa.” Lira menggigit bibir bawahnya kuat-kuat saat sesuatu yang panas memasuki tubuhnya dengan tiba-tiba, tanpa pemanasan.
Entakan Aksa dari belakang tubuhnya membuat Lira meringis. Ia tidak siap untuk b3rc1nt4, apalagi dengan cara seperti itu. Lira mengerang menahan rasa sakit yang tidak hanya dirasakan area sensitif, melainkan juga di hatinya. Kedua tangan Lira meremas tepi sandaran sofa dengan erat.
Aksa menarik tangan Lira sampai tubuh Lira hampir berdiri tegak dan punggung Lira merapat ke d4d4 bidangnya. Kedua tangannya memeluk tubuh Lira dengan erat, begitu pula dengan entakan di bawah tubuhnya yang semakin kuat.
“Apa kamu melakukannya seperti ini dengan suamimu?” desis Aksa di tengah deru napasnya yang memburu.
Lira tidak menjawab. Pertanyaan Aksa terasa sangat merendahkan. Air matanya yang mengalir telah menyekat semua kata.
Satu tangan Aksa kemudian bergerak ke rahang Lira, mencengkeram pelan, dan mengarahkannya ke samping hingga Aksa bisa mencium bibirnya.
“Aksa hentikan.” Akhirnya Lira membuka suara.
“Kamu yang memilih cara seperti ini,” desis Aksa, lalu mencium Lira sekali lagi dengan kasar. Setelahnya, Aksa kembali mendorong pelan punggung Lira supaya lebih membungkuk. Kedua tangannya mencengkeram pinggul Lira dengan erat. Tanpa ampun, pria itu menghvj4mkan miliknya ke milik Lira dengan lebih dalam dan lebih cepat.
“Aku tidak akan meninggalkan Revan.” Lira menegaskan tekadnya dengan suara sedikit parau. Ia kemudian membuka mulutnya untuk melontarkan jeritan tanpa bersuara. Sementara itu, napasnya kian terc3k!k dan nyaris habis.
“Aaargh!” Aksa akhirnya mencapai pelepasan. Beberapa saat kemudian, ia segera mengenakan kembali celana dan merapikan setelan jasnya.
Di sisi lain, Lira merasakan harga dirinya kembali terkoyak dan hancur. Ia tidak menyangka Aksa akan melakukan hal serendah ini pada dirinya. Lira duduk lemas di lantai di belakang sofa. Air mata dan isak tangisnya tak bisa lagi dibendung.