“Kamu b4j1ng4n, Aksa!” Lira menyumpahi Aksa sambil mendongak menatap pria itu dengan geram.
Dari tempatnya berdiri, Aksa hanya membalas umpatan Lira dengan santai. “Sebaiknya kamu lekas merapikan diri sebelum suamimu curiga kamu menghilang terlalu lama.”
Lira membuang muka. Rasa frustrasi tampak jelas di wajahnya. Aksa benar-benar sudah mengendalikan hidupnya. Mengambil waktu beberapa saat untuk menenangkan diri, Lira kemudian bangkit dari duduknya. Secepatnya, Lira merapikan gaun dan menyeka air matanya dengan punggung tangan.
Setelah memastikan penampilan Lira kembali rapi, Aksa lebih dulu meninggalkan ruangan itu. Sekarang, Lira berdiri diam di dalam ruangan yang terasa lebih sempit daripada sebelumnya. Napasnya masih tersengal-sengal sementara suara langkah kaki Aksa perlahan menghilang di balik pintu yang baru saja ia tutup. Lira mencoba mengumpulkan kembali kekuatan di dalam dirinya. Ia memegang sandaran sofa untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Perasaan waswas terus menggerogoti pikirannya.
Setelah beberapa menit mencoba menenangkan diri, Lira akhirnya melangkah keluar dari ruangan yang mirip perpustakaan mini itu. Namun, begitu ia menutup pintu dan berbalik, d4d4nya tersentak keras oleh kehadiran seseorang yang berdiri tidak jauh darinya.
“Bu Lira?” Suara itu terdengar dingin dan sarat akan nada curiga.
Lira menelan ludah sebelum menjawab. “Mm. Bu Shinta ….”
Di hadapannya, kini berdiri Shinta. Wanita yang mengenakan gaun merah mencolok itu melipat tangan di depan d4d4. Bibir Shinta menyunggingkan senyum, tapi tatap tajamnya menelisik seperti seseorang yang baru saja menangkap basah pencuri.
Shinta melangkah mendekat. Tumit stilettonya beradu dengan lantai kayu dan menciptakan suara yang terdengar nyelekit di telinga Lira. “Saya pikir tempat ini bukan untuk tamu,” katanya manis tapi penuh sindiran. “Apa yang Anda lakukan di sini dan dengan siapa?”
Lira mencoba tersenyum kecil meskipun jantungnya terasa hampir meledak. “Saya tadi diminta ke sini untuk membicarakan sesuatu tentang makanan ringan anak-anak.”
“Makanan ringan?” Shinta mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Lucu sekali. Karena tadi saya melihat Aksa keluar dari ruangan ini. Dan sekarang, Anda.”
Otak Lira mendadak dibekukan oleh ucapan Shinta. Ia tidak tahu harus beralasan apa lagi. Tubuhnya semakin kaku di bawah tatapan Shinta yang seperti pisau tajam, mengiris lapisan demi lapisan pertahanan dirinya.
Shinta tersenyum lebih lebar, tapi ada kegelapan di balik senyumnya. “Anda tahu, Bu Lira. Saya bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi saya juga bukan orang bodoh. Jadi, jika ada sesuatu yang sedang Anda sembunyikan .…” Shinta berhenti dan membiarkan peringatannya menggantung di udara.
“Saya tidak menyembunyikan apa-apa,” pangkas Lira cepat, mencoba mengakhiri percakapan yang membuatnya semakin terpojok.
Shinta memiringkan kepalanya sedikit. Pandangannya seperti sedang mempelajari reaksi Lira. “Benarkah?” tanyanya pelan. “Saya harap begitu. Karena bagaimanapun, Aksa adalah tunangan saya. Dan saya tidak akan membiarkan ada siapa pun mengambil apa yang sudah menjadi milik saya.”
Kata-kata itu membuat Lira merinding. Kendati demikian, Lira berusaha tetap tenang. “Saya harus kembali ke suami dan anak saya. Permisi,” kata Lira akhirnya, lalu melangkah pergi sebelum Shinta sempat menahan lebih lama.
Saat Lira berjalan menjauh, ia merasakan tatapan Shinta masih membakar punggungnya. Namun, Lira tidak berani menoleh. D4d4nya makin terasa sesak. Apa yang dia tahu?
Lira kembali ke aula utama dengan langkah yang berat. Lorong-lorong panjang rumah Aksa yang mewah terasa seperti labirin dan menambah kegelisahan di hatinya. Saat Lira memasuki ruangan pesta, dentingan gelas anggur dan suara tawa para tamu kembali memenuhi udara. Namun, semua itu terdengar seperti gema yang jauh dan tidak nyata bagi Lira.
Perasaan bersalah mengalir deras dalam diri Lira. Ia langsung mencari sosok Revan dan Alin. Tapi saat matanya menangkap keberadaan Revan, jantungnya langsung mencelos.
Di tengah kerumunan, Aksa terlihat sedang berdiri bersama Revan. Keduanya tampak akrab. Mereka berbincang sambil tertawa ringan. Revan terlihat begitu santai. Senyumnya mengembang sementara Aksa berdiri tegap dengan aura yang begitu d0m!n4n. Lira merasakan seluruh tubuhnya menegang. Kenapa mereka bisa sedekat itu?
Bayangan beberapa menit yang lalu di ruangan perpustakaan kembali melintas di benak Lira. Kata-kata Aksa, sentuhan dinginnya, dan tatapan penuh kuasa pria itu semuanya masih begitu jelas.
Namun, Lira sudah terlanjur mendekat dan tidak mungkin baginya untuk berbalik. Dengan hati-hati, ia melangkah ke arah mereka. Semampunya Lira mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap netral.
“Oh, Lira!” panggil Revan dengan ceria begitu ia menyadari keberadaan istrinya. “Ke mana saja tadi? Aku mencarimu, Sayang.”
Lira berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa diremas-remas. “Aku tadi ke belakang sebentar, Mas,” jawabnya pelan, lalu menoleh sekilas pada Aksa yang kini menatapnya dengan pandangan yang dalam dan mengintimidasi.
“Kami baru saja berbicara tentang kamu,” lanjut Revan sambil tertawa kecil. “Pak Aksa bilang kamu pernah bekerja di sini sebentar untuk membantunya. Itu benar, ‘kan?”
Lira tersentak, tetapi ia tidak punya pilihan selain mengangguk. “Iya, hanya sebentar,” jawabnya singkat untuk menghindari percakapan lebih lanjut.
Aksa tersenyum kecil, tatapannya masih tertuju pada Lira. “Dia sangat membantu saat itu,” katanya dengan nada tenang tapi penuh makna. “Saya selalu menghargai orang yang bersedia membantu di saat-saat sulit.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Lira. Aksa terkesan sengaja memilih kalimat yang akan membuatnya merasa lebih terjebak. Namun, ia tidak menunjukkan reaksi apa pun dan hanya berusaha tetap tenang di depan Revan.
Revan tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan di antara mereka. “Anda benar-benar beruntung, Pak Aksa. Lira memang selalu bisa diandalkan.”
Aksa hanya tersenyum tanpa menjawab, tapi pandangannya yang dalam kepada Lira sudah mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Lira menundukkan pandangan dan merasa semakin tercekik di tengah percakapan yang tidak ingin ia ikuti.
Setelah beberapa saat yang terasa sangat lambat, Aksa akhirnya memindai arloji di tangan kirinya lalu berkata, “Saya harus pergi menyapa tamu-tamu lain. Senang berbincang dengan Anda, Pak Revan.”
“Senang berbincang dengan Anda juga, Pak,” jawab Revan dengan antusias, lalu berjabat tangan dengan Aksa.
Sebelum pergi, Aksa melirik Lira sekali lagi, memberikan senyum tipis yang membuat jantung Lira semakin berdenyut kencang. Lira merasa lega ketika pria itu akhirnya melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua.
Ketika acara makan malam itu berakhir, Lira merasa seperti terlepas dari cengkeraman yang tidak terlihat. Ia menggenggam tangan Alin erat saat mereka berjalan ke mobil. Sementara itu, Revan masih berbincang ringan tentang betapa baiknya Aksa telah mengundang mereka.
“Dia benar-benar pria yang luar biasa, ya,” kata Revan dengan senyum di wajahnya. “Aku tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan kedua di MindSphere.”
Lira hanya tersenyum kecil tanpa tahu harus menjawab apa. Setiap kali nama Aksa disebut, bayangannya kembali menghantui pikirannya. Luar biasa? Kalau Mas tahu siapa dia sebenarnya .…
Namun, Lira tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan hanya akan menimbulkan kecurigaan dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.