Ketika mereka sampai di rumah, Lira membantu Alin masuk ke kamar, mengganti pakaiannya, dan menemaninya tidur. Setelah memastikan anak itu tertidur lelap, Lira pergi ke kamarnya. Ia melihat Revan sudah tertidur. Pria itu masih mengenakan kemeja putihnya dan tampak kelelahan. Lira memandangi wajah Revan. Rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Air mata pun menggenang di matanya. Dengan langkah berat, Lira membawa dirinya ke kamar mandi.
Lira berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangan dirinya yang terpancar buram karena embun yang mulai menutupi kaca. Wajahnya tampak pucat dan matanya yang merah karena kelelahan menunjukkan betapa berat beban yang ia pikul. Tangannya gemetar saat membuka kran air shower. Dalam waktu singkat suara gemericik air memenuhi ruangan, mengisi keheningan yang menc3k1knya.
Ketika air mulai mengalir, ia melangkah ke bawah pancuran, membiarkan tetesan air yang hangat membasahi tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang menempel di wajah dan punggung. Semprotan air dari shower itu seharusnya memberinya ketenangan, tapi malah memperkuat gemuruh di dalam hatinya.
Lira memejam dan tiba-tiba kejadian tadi kembali menyerangnya. Tatapan dingin pria itu, ciumannya yang memaksakan kendali, serta keputusasaan yang membuatnya menyerah pada sesuatu yang tidak pernah ia inginkan. Bayangan itu begitu jelas di kepalanya hingga ia merasa mual.
Air mata mulai mengalir tanpa ia sadari, bercampur dengan aliran air dari shower. Tangisnya yang semula tertahan berubah menjadi isakan keras dan menyesakkan d@d@. Ia menggigit bibirnya, mencoba meredam suara agar tidak terdengar di luar, tetapi emosi yang membanjiri dirinya terlalu besar untuk dibendung.
Aku mengkhianatinya lagi. Lira memeluk tubuhnya sendiri.
Tangannya meraih spons mandi di rak kecil di sebelahnya dan dengan kasar ia mulai menggosok tubuhnya. Ia menggosok bahunya, lengannya, lehernya seakan-akan ia ingin menghapus semua dosa yang melekat pada kulitnya. Gerakannya semakin keras dan kasar hingga kulitnya memerah.
Br3n gs3k kamu, Aksa!
Tapi tidak peduli seberapa keras ia menggosok tubuhnya, rasa kotor itu tidak juga hilang.
Kau sudah melukai hati suamimu sendiri. Suara di kepalanya terus berulang, seperti sebuah m4ntr4 yang menenggelamkannya dalam kehancuran.
Lira menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi, membiarkan air hangat terus mengalir di tubuhnya. Tangannya yang gemetar masih memegang spons yang kini basah kuyup. Kulit di beberapa bagian tubuhnya terasa perih karena ia terlalu keras menggosok. Namun, rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa bersalah yang menghancurkan jiwanya.
“Maafkan aku, Mas,” bisik Lira lirih di tengah tangisnya. “Maafkan aku.”
Setelah beberapa saat, ia akhirnya mematikan shower. Udara dingin langsung menyergap tubuhnya yang memerah, tetapi ia hanya berdiri di sana, terdiam, dengan air yang masih menetes dari rambutnya. Wajahnya basah oleh air sekaligus air mata, tetapi ekspresinya kosong seperti seseorang yang telah kehilangan arah.
Lira mengambil handuk, lalu melilitkan ke tubuhnya. Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarnya.
Kemudian, Lira berbaring di sisi ranjang yang lain membelakangi Revan. Ia memejam, berharap tidur bisa membawanya pergi dari semua rasa sakit ini. Tetapi malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, hanya menjadi malam penuh penyesalan tanpa akhir.
***
Udara dingin malam menyusup ke kamar mewah itu melalui pintu balkon yang dibiarkan terbuka. Tirai satin berwarna abu-abu melambai pelan, mengikuti irama angin. Shinta menggeliat di ranjang besar, tangannya meraba sisi tempat tidur. Namun, sisi tempat tidur itu kosong.
“Aksa?” panggilnya dengan suara serak khas baru bangun tidur.
Tidak ada jawaban.
Shinta membuka matanya perlahan, mengangkat tubuhnya, lalu duduk di atas ranjang. Ia menatap sekeliling kamar dengan pandangan bingung. Hanya keheningan yang menjawab. Dengan rasa penasaran dan juga kesal, ia bangkit dan turun dari ranjang.
Tanpa peduli dengan penampilannya yang hanya mengenakan lingerie hitam tipis, Shinta berjalan ke balkon. Ketika ia sampai di pintu kaca, ia melihat Aksa duduk sendirian di kursi santai di balkon. Pandangan pria itu tertuju ke taman dan kolam renang yang sedikit gelap dan sunyi.
Aksa tampak sedang termenung dan masih mengenakan celana dan pakaian yang ia kenakan di acara makan malam tadi. Namun, saat ini jas hitamnya tak lagi ada. Hanya terlihat kemeja putih yang digulung hingga ke siku dan tampak sedikit kusut. Di tangannya ada segelas anggur yang hanya tersisa sedikit. Sementara itu, ekspresi wajah Aksa tampak serius.
Shinta membuka pintu kaca dan berjalan mendekat. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk Aksa dari belakang, lalu merapatkan tubuhnya yang dingin ke punggung pria itu.
“Kamu nggak ada di tempat tidur,” ucapnya pelan dengan suara manja yang bercampur dengan rasa ingin tahu. “Kamu lagi mikirin apa sih?”
Aksa tidak menjawab. Ia hanya menyesap anggurnya perlahan dan tatapannya tetap terarah ke arah yang sama.
Shinta mendesah kesal, lalu berjalan memutar dan duduk di pangkuannya. Ia mengangkat dagu Aksa dan memaksa Aksa menatapnya. “Kamu kenapa? Dari tadi malam kamu aneh. Kamu bahkan hampir nggak ngelirik aku sepanjang acara. Ada apa, Aksa?”
“Aku nggak kenapa-kenapa,” jawab Aksa singkat. Ia mencoba menghindari tatapan Shinta, tetapi wanita itu terus menatapnya tajam.
“Bohong,” balas Shinta sambil mengangkat alis. “Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu kelihatan beda. Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu berubah? Dan aku juga lihat sesuatu tadi, Aksa.”
Aksa mendesah panjang, kemudian meletakkan gelas anggurnya di meja kecil di samping kursi. “Apa lagi yang kamu lihat?” tanyanya dengan nada dingin, walaupun ia merasa dadanya sedikit berdegup lebih kencang.
“Aku lihat kamu sama Lira,” jawab Shinta tajam. “Kalian keluar dari ruang baca. Satu per satu. Ngapain kalian di sana?”
Aksa terdiam sejenak, lalu mengangkat wajahnya menatap Shinta. “Aku sama Lira nggak ada apa-apa,” katanya tegas. “Dia cuma bantu aku urusin sesuatu. Sudah, jangan dibesar-besarkan.”
Shinta menyipitkan matanya, tidak percaya. “Oh ya? Cuma urusan kecil? Kalau gitu, kenapa kamu tiba-tiba kayak orang yang nyembunyiin sesuatu? Kamu nggak pernah begini sebelumnya.”
Aksa mendengus dan menyingkirkan Shinta pelan-pelan dari pangkuannya. “Shinta, aku udah bilang, nggak ada apa-apa. Jangan banyak tanya!”
Shinta berdiri di hadapannya. Air mukanya penuh emosi. “Aku tunangan kamu, Aksa! Aku punya hak tahu kalau ada sesuatu yang kamu sembunyiin. Kamu nggak bisa begitu saja ninggalin aku di tengah semua ini.”
Aksa mengangkat wajah dan menatapnya dengan tajam. “Aku nggak ninggalin kamu, tapi aku juga nggak perlu jawab semua pertanyaan kamu. Ini nggak penting, Shinta. Jangan bikin aku kehilangan kesabaran.”
“Jadi aku nggak penting sekarang?” balas Shinta dengan suara meninggi. “Kamu mau bilang apa pun, Aksa, aku tahu ada sesuatu antara kamu dan Lira. Aku nggak bodoh!”
Mata Aksa menyipit. Ia berdiri, lalu melangkah mendekat pada Shinta. “Dengerkan aku baik-baik.” Suara Aksa terdengar rendah dan mengancam. “Aku nggak ada apa-apa sama Lira. Dan seharusnya kamu tahu tempat kamu, Shinta. Jangan mencari masalah yang tidak ada.”
Shinta terdiam. Matanya melebar mendengar kata-kata Aksa yang begitu dingin. Namun, ia tidak menyerah. “Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu selalu pasang badan buat dia? Kenapa kamu selalu membela dia sekarang?”
Aksa mendekatkan wajahnya ke Shinta dan membuat wanita itu mundur sedikit. “Kamu harus belajar kapan harus berhenti bertanya, Shinta. Kalau tidak, kamu sendiri yang akan rugi.”
Shinta terguncang, tetapi sebelum ia bisa membalas, Aksa berbalik dan melangkah pergi. “Aku mau ke luar. Jangan ganggu aku,” katanya tanpa menoleh.
Shinta hanya bisa berdiri di balkon. Tubuhnya gemetar karena marah dan bingung. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Kamu pikir aku nggak akan tahu apa yang kamu sembunyikan, Aksa? Kita lihat nanti,” desisnya sambil menyipitkan mata penuh tekad.