Langkah Tak Terduga

1376 Kata
Malam sudah terlalu larut ketika Aksa memarkir mobilnya di depan rumah berlantai dua yang memiki desain modern. Tidak memedulikan kecantikan taman kecil yang dihiasi sederet lampu gantung berwarna kuning, Aksa berjalan melintasnya dengan cepat setelah keluar dari mobil. Aksa langsung menuju terus dan membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Di ruang keluarga, Tomi terlihat sedang duduk di sofa sambil menonton pertandingan sepak bola. Pria yang mengenakan kaus oblong dan celana pendek itu menoleh ke belakang. Cangkir kopi di tangannya nyaris jatuh saat melihat Aksa berjalan mendekat Tomi menaikkan alis, bingung. “Datang pagi buta. Ada apa, Pak Bos?” tanya Tomi sambil menurunkan volume televisi. Aksa nggak menjawab. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, melepaskan dasi yang sudah lama mengganggu lehernya, dan menyandarkan kepala ke belakang. Wajahnya terlihat kusut, dan pandangannya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih rumit dari sekadar kelelahan. Tomi memandangnya sambil menyeruput kopi. “Serius, lo kenapa? Lo nggak bakal nongol jam segini kalau cuma mau nobar bola.” “Gue butuh tempat buat mikir,” jawab Aksa pendek tanpa membuka matanya. “Oiya, gue paling nggak suka dipanggil ‘Pak Bos’ di luar kantor. Sekali lagi lo manggil gue ‘Pak Bos’’, gue bakal ceburin lo ke kolam ikan di taman.” Tomi terkekeh. “Sensi banget lo, kayak cewek lagi PMS.” Tomi memiringkan kepala dan menatap Aksa dengan penasaran. “Ini pasti soal dia, ‘kan?” Aksa mengangkat kepalanya perlahan, lalu menatap Tomi dengan mata yang penuh beban. “Ya. Ini soal Lira.” Tomi langsung meletakkan cangkir kopinya di meja. “Lo nggak bercanda?” tanyanya dengan nada waswas. “Jangan bilang lo udah ngelakuin sesuatu yang t0l0!.” Aksa tertawa kecil, getir. “Kalau lo nyebut tidur sama dia itu t0l0!, ya, gue udah ngelakuin itu.” Tomi membelalak. “Lo serius, tidur sama Lira?” “Dua kali.” “What the f*ck!” Tomi mengusap wajahnya dengan kasar. “Lo gila, Aks. Lo benar-benar gila. Lo mau ngapain, sih? Ini semua buat apa?” Aksa bersandar ke sofa, lalu menatap langit-langit seperti mencari jawaban. “Gue pikir ini cuma soal balas dendam, Tom. Tapi ternyata lebih dari itu. Gue masih pengen dia. Gue nggak bisa berhenti mikirin dia.” “Lo kebablasan, bro.” Tomi menatap Aksa dengan ekspresi campuran antara marah dan kasihan. “Lo tahu dia udah punya keluarga. Lo tahu ini semua salah, ‘kan?” Aksa mendengus. “Gue tahu. Tapi gue nggak peduli.” “Gila lo, sumpah,” kata Tomi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Gue udah tahu dari awal ini bakal berantakan, tapi gue nggak nyangka lo bakal segini hancurnya. Lo nyadar, nggak, lo ini bukan cuma nyakitin dia, tapi juga nyakitin diri lo sendiri.” “Nyakitin diri gue?” Aksa tertawa kecil, tapi tawanya pahit. “Tom, gue udah hancur sejak dia ninggalin gue dulu. Gue nggak punya apa-apa waktu itu. Dan sekarang, gue punya segalanya, tapi tetep aja yang gue mau cuma dia.” “Lo tahu nggak, kalau lo terus kayak gini, lo bakal beneran jadi gila. Ini nggak akan berakhir baik, Aks. Lo bakal ngancurin hidup lo sendiri. Lo juga bakal ngecewain bokap lo.” Aksa mendengus, lalu berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. “Gue tau gue nggak akan sesukses sekarang kalau gue nggak ketemu bokap gue. Mungkin gue juga masih jadi kayak si Revan sekarang. Bukan salah gue kalau gue nikmatin apa yang diwariskan bokap gue ke gue buat jerat Lira. Hidup gue udah hancur, kenapa nggak sekalian aja. Iya, ‘kan?” katanya dengan nada sarkastik. Tomi hanya bisa menggelengkan kepala, memandang Aksa dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Semoga lo sadar sebelum semuanya terlambat, bro. Karena kalau lo terus kayak gini, nggak akan ada yang selamat. Termasuk diri lo sendiri.” *** Seminggu kemudian Pagi pertama di awal pekan dimulai dengan sebuah meeting. Ruang rapat utama di kantor pusat MindSphere terasa lebih tegang dari biasanya. Para eksekutif sudah berkumpul, duduk di kursi masing-masing mengelilingi meja panjang berlapis kaca. Di ujung meja, Aksa duduk dengan sikap tenang. Ia mengenakan setelan jas hitam rapi dengan tatapan dingin yang seperti biasa menguasai ruangan. Ketika Aksa memulai pertemuan, suasana masih terasa biasa saja. Ia memberikan laporan singkat tentang perkembangan MindSphere secara keseluruhan. Namun, ketika ia menggeser topik ke bagian restrukturisasi manajemen, sesuatu yang tidak biasa terjadi. “Ada satu perubahan besar yang akan saya umumkan hari ini,” tutur Aksa dengan nada datar sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya menyapu wajah-wajah di sekeliling meja. “Revan Ferrano, asisten CFO kita, akan dipindahtugaskan ke anak perusahaan kita, MindSphere Tech Solutions yang berbasis di Bandung. Pak Revan akan menjabat sebagai direktur utama di sana.” Ruangan itu hening sesaat, lalu dipenuhi bisikan dan ekspresi terkejut. Beberapa eksekutif saling bertukar pandang. Mereka mencoba memastikan tidak salah dengar. Revan yang duduk di sisi kiri meja hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menatap Aksa dengan mata melebar. “Pak, saya?” tanyanya memastikan. Aksa tersenyum tipis lalu mengangguk. “Iya, Pak Revan. Saya yakin Anda punya potensi besar untuk memimpin. MindSphere Tech Solutions adalah perusahaan startup yang sedang berkembang pesat. Saya butuh orang yang bisa membawa perusahaan itu ke tingkat berikutnya. Dan, saya percaya Anda orang yang tepat untuk itu.” Revan tidak hanya kaget, tapi juga senang sekaligus gugup. “Terima kasih atas kepercayaannya, Pak.” Namun, tidak semua orang di ruangan itu menerima kabar itu dengan baik. Hardy, sang CFO, yang selama ini menjadi atasan langsung Revan langsung mengangkat tangannya mengisyaratkan keberatan. “Maaf, Pak Aksa,” ucapnya dengan tegas, “saya tidak bermaksud meragukan keputusan Anda, tapi saya harus jujur. Ini terdengar aneh. Pak Revan adalah asisten saya. Dia pekerja keras dan cerdas, tapi dia belum punya pengalaman memimpin, apalagi di level seperti ini.” Beberapa eksekutif mengangguk pelan, menunjukkan bahwa mereka setuju dengan pernyataan Hardy. Hardy melanjutkan, “Saya juga merasa keputusan ini akan sangat merugikan tim keuangan kita. Pak Revan adalah aset besar bagi saya. Kalau dia dipindahkan, tim saya akan kehilangan salah satu orang terbaik kami.” Aksa menatap Hardy dengan ekspresi dingin. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis, tetapi tatapan mengintimidasi. “Jadi Anda keberatan dengan keputusan saya?” Hardy tampak sedikit gelisah, tapi ia mencoba mempertahankan sikapnya. “Bukan keberatan, Pak. Saya hanya berpikir bahwa mungkin ada orang lain yang lebih cocok untuk posisi ini.” Aksa mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Hardy lebih tajam. “Kalau begitu, Pak Hardy, saya punya tawaran lain,” katanya dengan nada yang semakin dingin. “Kalau Anda merasa Pak Revan tidak cocok, Anda sendiri bisa mengambil alih posisi itu. Anda akan saya tempatkan di sana sebagai direktur utama. Bagaimana?” Ruang rapat itu langsung hening. Semua orang tahu bahwa meskipun MindSphere Tech Solutions adalah anak perusahaan yang menjanjikan, memimpin perusahaan startup yang sedang berkembang adalah tugas berat yang penuh risiko. Hardy jelas tidak menginginkan posisi tersebut. Hardy menelan ludah, wajahnya mulai memerah. “Pak, saya tidak bermaksud .… Maksud saya—” “Kalau tidak mau, berhentilah protes,” potong Aksa dengan nada tegas. “Keputusan saya sudah final. Pak Revan akan pindah ke sana, dan Anda akan mencari asisten baru. Saya yakin Anda cukup kompeten untuk melakukannya.” Hardy terdiam. Ia tidak punya pilihan selain menundukkan kepala di hadapan atasan yang berkuasa penuh. “Baik, Pak.” Aksa bersandar kembali ke kursinya. Ia menatap seluruh ruangan dengan tatapan puas. “Kalau tidak ada lagi yang keberatan, kita lanjutkan pembahasan berikutnya.” Setelah rapat selesai, Revan mendekati Aksa saat semua orang mulai keluar dari ruangan. Wajahnya masih penuh dengan kebingungan dan kegugupan. “Pak Aksa,” panggilnya pelan. “Saya benar-benar terkejut dengan keputusan ini. Saya tidak tahu harus bilang apa.” Aksa tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Revan dengan ramah. “Jangan terlalu dipikirkan, Pak Revan. Anda pantas mendapat kesempatan ini. Percayalah, ini akan jadi langkah besar untuk karir Anda.” Revan mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Ia tidak tahu kenapa Aksa tiba-tiba memberikan tanggung jawab sebesar itu padanya. Namun, ia tidak ingin mengecewakan orang yang telah memberinya kesempatan kedua di MindSphere. Sementara itu, Aksa berjalan kembali ke ruangannya dengan langkah santai. Di balik senyumnya yang dingin, pikirannya penuh dengan rencana. Kalau Revan jauh dari sini, aku punya lebih banyak ruang untuk mendekati Lira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN