Wanita itu meneguk ringan green teanya. Dengan anggun mengetuk jemarinya di sekeliling bibir mug porselen yang isinya tinggal setengah. Uap masih mengepul menandakan minuman itu masih panas. Sesekali ia mengecek jam di pergelangan tangannya yang mungil. Orang yang ditunggunya belum juga tiba.
Wanita itu merasakan kehadiran seseorang di sisinya, dengan gerakan cepat dan menebar senyuman semenawan mungkin, gadis itu beranjak bangkit dari kursinya yang nyaman untuk menyambut kedatangan rekan bisnisnya itu. Namun begitu memperhatikan dengan jelas pemilik wajah yang tengah berdiri di hadapannya kini dahinya mengernyit refleks.
“Hai... apakah benar anda perwakilan dari majalah Victoria’s Choice?”
“Ah ya, betul, saya Victoria.”
Lelaki itu terbelalak, tidak menyangka jika perwakilan yang ia temui hari ini adalah kepala redaksi sekaligus pendiri dari majalah Victoria’s Choice. “Saya Stefan, mewakilkan Mr. Alexander untuk tanda tangan kontrak bisnis dengan perusahaan anda,” ucapnya memperkenalkan diri.
Victoria merasakan kecewa di dasar hatinya, namun ia memilih menutupinya dengan senyuman terpaksa. Ia pikir ia akan bertemu langsung dengan Damian Alexander yang fenomenal itu, kalau tahu begitu untuk apa dirinya repot-repot turun langsung untuk urusan ini padahal ia bisa saja menyuruh sekretarisnya mewakilkan. “Hm, baiklah salam kenal. Silahkan duduk, Stefan.”
Stefan mengangguk dan menarik kursi di depan Victoria lalu mulai mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya.
“Wah anda sangat tergesa-gesa rupanya. Anda baru saja sampai, anda bisa memesan minuman terlebih dahulu.”
“Terima kasih,” ucap Stefan sebelum memanggil waitress dan memesan minumannya.
Victoria tersenyum kecil. Meski sejujurnya ia merasa sedikit kesal karena ketidak hadiran Damian hari itu. Dia sudah menambah jam berdandannya beberapa belas menit untuk persiapan pertemuan ini. Dan entah kenapa semua usahanya terasa sia-sia.
“Anda bisa membaca kontrak ini terlebih dahulu, nona.”
Victoria meraih map hitam berisi surat kontrak kerja sama dan membacanya. Sesekali ia melirik Stefan dengan ekor matanya, laki-laki itu tengah menatap tablet di tangannya dengan serius. “Kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya, Stefan?” tanya Victoria di sela kegiatannya membaca isi kontrak.
Stefan mengalihkan perhatiannya dari tablet di tangan untuk menatap wajah cantik Victoria yang seperti dewi Yunani. “Maaf, nona, maksudnya?”
“Damian Alexander, apakah dia ada keperluan bisnis lain? Kenapa tidak memberi tahu kalau pertemuan ini diwakilkan?”
Stefan tersenyum sopan. “Tidak nona. Mr. Alexander tidak akan membatalkan janji kepada salah satu rekan bisnisnya untuk rekan bisnisnya yang lain. Beliau hanya ada keperluan keluarga yang cukup urgent dan mendadak.”
Victoria mengernyit. Keluarga? Apakah yang dimaksud keluarga itu istri? Tetapi setahunya, Damian Alexander belum berkeluarga. Karena jika hal itu terjadi, tentunya majalahnya sudah pasti menjadikan berita tersebut sebagai headline news eksklusif.
---
Brandon dan Joss mengerut ketakutan di hadapan Damian. Laki-laki itu menatapnya dengan amarah dan kekesalan maksimal. Brandon dan Joss bahkan merasakan tubuh mereka seolah terbakar karena tatapan Damian.
“Aku bilang untuk menjaganya! Kenapa kalian membiarkan Gabriella lepas di taman berdua dengan b******n kecil itu?” desis Damian dengan rahang mengeras.
Joss dan Brandon menunduk ketakutan. Padahal usia mereka beberapa tahun lebih tua dibanding Damian, tapi jiwa kepemimpinan Damian begitu mengintimidasi keduanya. Dan tentu saja status Damian sebagai majikan membuat keduanya bukan apa-apa. “Kami mengawasinya dari jarak 20 meter, itu syarat yang nona muda berikan.”
Damian mengerutkan dahinya tidak senang. “Kalau begitu kalian lihat ketika laki-laki badungan itu datang menghampiri Gabriella?”
Joss dan Brandon saling berpandangan lalu Joss memberanikan diri mengangguk menjawab pertanyaan Damian.
“Kalau begitu, kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian tidak mencegahnya?” geram Damian.
Joss menyikut lengan Brandon, memerintahkan rekannya itu untuk menjawab pertanyaan Damian.
“Se...sesuai perintah anda tuan. Kami diperintahkan untuk menuruti permintaan nona kecuali permintaan yang akan mencelakakannya dan membuatnya pergi dari anda...” Brandon melirik ragu-ragu pada Damian lalu kembali menunduk dan melanjutkan ucapannya. “Dan pemuda itu sudah membuat nona tertawa semenjak kemunculannya beberapa puluh menit yang lalu, jadi kami tidak merasa itu bahaya.”
Damian merasakan sesuatu menghantam keras hatinya. Sialan. Harga diri beserta hatinya terasa dicabik-cabik dengan kurang ajar. Pemuda itu membuat nona tertawa. Jujur, tidak ada yang lebih membahagiakannya daripada kebahagiaan Gabriella. Dan pemuda itu, Anthony, berhasil memberikan apa yang Damian tidak bisa berikan. Ini melukai harga diri dan hatinya lebih dari apapun.
“Bawa Gabriella ke mobil!” Setelah mengatakan itu, Damian segera berjalan ke arah mobilnya, membanting pintu melampiaskan emosinya.
Damian menyandarkan punggung, mencoba rileks dari segela ketegangan dan kelelahannya. Lalu ia menatap ke arah kaca mobil, memandang pemandangan di luar yang begitu dirindukannya. Damian tersenyum miris. Ia melompati fase remajanya begitu cepat. Ia bahkan tidak bisa merasakan kebebasannya saat menjadi mahasiswa lama-lama. Setelah menyabet gelar, Damian segera fokus dengan perusahaan yang ayahnya tinggalkan. Ia mengurus segala masalah perusahaan hingga perusahaan dapat kembali berjalan dengan normal bahkan maju lebih pesat.
“b******k! Jangan menyeretku, aku bukan kambing!”
Teriakan Gabriella menginterupsi lamunan Damian. Dari kaca mobilnya ia dapat melihat Gabriella yang dipegangi Brandon dan Joss meronta minta dilepas. Ketiganya berjalan semakin dekat, Damian pun menarik napas untuk mempersiapkan diri dan kesabarannya sebelum menghadapi Gabriella dan kata-kata pedasnya.
“Apakah kalian tuli, hah? Ak--” ocehan Gabriella terputus begitu pintu mobil terbuka, memperlihatkan Damian yang duduk dengan tenang di dalamnya.
Astaga! Jantung Gabriella rasanya mencelos jatuh ke perutnya, menyisakan perasaan mual di sana. “Pantas saja! Seharusnya aku sudah tidak terkejut lagi dengan kehadiran iblis ini.”
Damian tersenyum tipis mendengar keluhan dari bibir Gabriella. “Hi, sayang, bagaimana hari Sabtumu?”
Gabriella tertawa hambar. “Tiga puluh menit yang lalu adalah tiga puluh menit terbaik dalam hari Sabtu-ku sebelum seorang laki-laki b******k memerintahkan dua tikusnya menghancurkan kesenanganku.”
Bukannya tersinggung, Damian justru tersenyum mendengarnya, membuat Gabriella seketika merasa kalah sebelum berperang. “Kau berjanji tidak akan mengganggu teman-temanku lagi!” Gadis itu berseru.
Damian yang sejak tadi masih melemparkan tatapannya pada Gabriella mengerutkan dahi. “Aku tidak mengganggu temanmu, aku mengganggumu. Jadi aku tidak melanggar janji.”
Gabriella menganga tidak percaya. Oh, Damian mau bermain dengan cara licik sepertinya. “Sial! Kau benar-benar b******k! Bisakah biarkan aku sendiri!” ketus Gabriella sambil menggertakan giginya. Rasanya emosinya sudah meletup-letup hingga ke ujung ubun-ubunnya.
“Sebagai tunangan, aku tidak akan meninggalkan calon istriku tentu saja.”
Gabriella seolah merasakan siraman air dingin menyiram tubuhnya. Kesadaran akan kenyataan bahwa dirinya adalah calon istri Damian menghantamnya. Anehnya, biasanya ucapan Damian tidak membuatnya senang. Seharusnya ucapan Damian membuatnya marah. Ia dipaksa untuk menjadi tunangannya tanpa punya kuasa menolak. Ia dikekang dan diatur sesuka hati Damian. Laki-laki itu sudah merenggut kebahagiaannya, terlebih karena keluarga Damianlah Gabriella harus kehilangan seluruh anggota keluarganya. Tapi kenapa ucapan Damian kali ini justru menyentuhnya hingga ke hati yang terdalam. Ada sesuatu yang hangat dari kata-katanya.
“Kenapa, Abby? Apakah kata-kataku salah?” Damian meraih lembut juntaian rambut Gabriella yang terlepas dari kuncirannya dan dengan lembut juga menyelipkan di balik telinga.
“Ka—kalimat menjijikan apa yang baru saja kau ucapkan!” Gabriella menghempaskan tangan Damian menjauh darinya. Air matanya sudah sulit untuk dibendung namun gadis remaja itu menahannya dengan sekuat kemampuannya. “Dan jangan pernah memanggilku begitu. Aku tidak ingin mendengar nama itu disebut dari mulut busukmu!”
Damian tersenyum miris. Seperti biasa, Gabriella masih membencinya. Tidak peduli sebesar apa ia berusaha, apapun yang sudah ia lakukan tidak membuat gadis itu berhenti menatapnya dengan sinar kebencian seakan dosa Damian memang benar-benar tidak termaafkan.
“Maaf.” Setelah berkata dengan lirih, Damian melajukan mobilnya dalam keheningan. Baik Damian maupun Gabriella tidak bersuara dan memilih bergelut dengan pemikiran masing-masing hingga mereka kembali ke istana megah Alexander.