Gibran memandangi gadis yang ada di hadapannya yang kini sedang makan dengan lahapnya. Sepertinya kata malu ataupun gengsi tidak ada dalam kamus gadis itu.
"Fali ini masih sekolah atau udah lulus?" Nyonya Harumi tampak begitu penasaran. Falisha yang Gibran perhatikan sedang mencolek sambal dengan nikmatnya mengangkat kepala.
"Fali memang imut-imut dan lucu, tante Dokter. Tapi sumpah Fali itu udah 22 tahun. Bukan anak sekolahan lagi." Ucapnya dengan mimik yang lucu. Mau tak mau Gibran tersenyum miring.
Ibunya terenyak kaget. Kedua matanya membulat memandang Falisha tak percaya. Faktanya Falisha memang memiliki perawakan yang mungil. Wajahnya imut-imut dan ada chubby-chubby nya. Jika disandingkan dengan anak belasan tahun, mereka tak akan melihat perbedaannya.
"Masa? Kamu udah 22 tahun? Tante kira kamu masih SMA atau mau lulus?" Ujar Nyonya Harumi dengan nada suara tak yakin
Falisha cemberut ke arah Nyonya Harumi. "Nanti ya tante Dokter, Fali kasih lihat akta kelahiran Fali sama tante Dokter." Ujarnya.
Nyonya Harumi mengangguk antusias. Secara tak langsung mereka menjanjikan komunikasi lebih lanjut. Dan entah bagaimana hal itu membuat Nyonya Harumi senang.
"Boleh, nanti kirimin via w******p ya fotonya." Jawab Nyonya Harumi lagi. Beliau malah mengeluarkan ponsel dari dalam tas nya dan menyerahkannya pada Falisha. Dengan senang hati Falisha mengetikkan nomornya. Gibran sendiri tak yakin gadis itu memberi nama yang benar dalam kontak ponsel ibunya.
"Awas jangan sampai lupa." Ancam Nyonya Harumi lagi. Falisha menganggukkan kepalanya. "Trus, Falisha beneran calon istrinya Dokter Gibran?" Pertanyaan Nyonya Harumi membuat Gibran tersedak minumannya. Dengan sigap Falisha membuka botol minumannya dan menyerahkannya pada Gibran. Gibran menerimanya begitu saja dan meminumnya dengan rakus.
"Iya tante Dokter." Jawab Falisha dengan antusias. "Tuh, barusan aja Mas Dokter ciuman sama Fali." Gibran kembali tersedak dan kembali meneguk airnya. "Tuh kan, tante Dokter. Dua kali malah." Jawaban Falisha dengan mimik datarnya.
Nyonya Harumi menepuk punggung putranya pelan. Sebuah senyum tersungging di wajahnya. Alif dan Aathaf terkekeh Geli. Amira mendelik kesal ke arah Falisha. Sementara Gilang dan Syaquilla hanya bisa geleng-geleng kepala.
Karakter Falisha itu memang lebih mirip pamannya, Erhan dan juga sepupunya Carina dibanding kedua orangtuanya.
"Kamu itu, kalau ngomong bisa disaring dulu gak sih?!" Protes Gibran. Wajah pria itu tampak garang.
Falisha mengangkat bahu tak acuh. "Apanya yang mesti disaring, Mas Dokter? Apa yang Fali bilang kan bener." Jawabnya santai
Gibran menggeleng. "Mana yang bener? Gak ada yang bener juga." Tolaknya masih dengan nada keras.
"Coba bilang yang mana yang kata Mas Dokter gak bener?" Tantang Falisha lagi.
"Itu tadi kamu bilang, calon suami. Calon suami apaan? Kita bahkan gak punya hubungan apa-apa." Gibran menatap Falisha tatapan tajam diiring dengan dahi yang berkerut dalam.
"Dokter ini pinter-pinter tapi bodoh ya." Jawab Falisha seenaknya. Semua orang terbelalak ke arahnya. "Kan Falisha bilang calon. Ca-lon. Ca-lon su-a-mi." Ejahnya. "Yang namanya calon emang belum ada apa-apanya. Kalo udah ada apa-apanya judulnya bakal ganti. Bukan 'Calon Suami', tapi bakal jadi 'Suami' atau 'Calon Ayah'. Fali bener kan, pemirsa?" Falisha memandang Nyonya Harumi dan Alif bergantian. Keduanya mengangguk setuju. "Tuh, tante Dokter sama Mas Alif aja setuju. Hayo, apa lagi yang gak benernya?" Tantangnya lagi.
"Itu tadi kamu bilang 'ciuman'." Ucap Gibran dengan memelankan kata ciuman karena ada Ayla dan Afham. "Kita gak pernah ya ngelakuin itu."
"Ya, ngelakuin juga gak apa-apa kok, Mas Dokter. Gratis ini." Jawab Falisha dengan nada genit sampai mendapat teguran dari Gilang, Syaquilla dan Aathaf. "Iya-iya, maaf." Ucapnya lirih dengan bibir mengerucut. "Tapi kan bener, kata orang kalo minum di gelas yang sama itu namanya 'ciuman tak langsung'. Falisha cuma gak pake kata 'tak langsung' nya aja kok. Soalnya kepanjangan." Jawabnya lagi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Lagi-lagi Alif dan Harumi terkekeh geli. "Fali bener kan?" Falisha memandang Nyonya Harumi dan Alif bergantian. Dan lagi-lagi keduanya mengangguk. "Tuh. Mas Dokter yang salah. Udah, minta maaf sama Fali. Pasti Fali maafin kok. Mas Dokter 'Calon Suami' nya Fali." Ucap Falisha dengan senyum genitnya. Kedua alisnya terangkat naik turun dengan gaya jenaka.
Gibran memalingkan muka. "Kenapa saya harus minta maaf sama kamu?" Tanya Gibran tak suka.
"Ya itu tadi, Mas Dokter bilangnya Fali ngomong yang gak bener. Mas Dokter mesti minta maaf. Kan udah terbukti ucapan Fali itu bener."
"Minta maaf aja, Gibran. Kamu emang salah. Fali bener." Ucap Nyonya Harumi dengan siku menyenggol Gibran. Gibran memandang ibunya dengan tatapan tak suka. "Ayo. Kamu itu harus punya sikap manly dong. Kalo salah ya minta maaf. Mama suka bilang gitu kan sama kamu?" Ucapnya pelan.
Terdengar suara pekikan. Tampak Falisha menutup mulutnya dengan kedua tangan sementara matanya membelalak lebar memandang Gibran dan Harumi bergantian.
"Ma-mama?" Tanyanya terbata. Nyonya Harumi mengangguk. "Tante Dokter mamanya Mas Dokter?" Tanyanya masih tak percaya. Harumi lagi-lagi mengangguk. "Asli tante Dokter? Bukan palsu?" Sebelah alis Falisha terangkat, Harumi tersenyum geli namun kembali mengangguk. "Kok gak mirip sih?" Ucap Falisha jujur. Gilang dan Syaquilla kembali menegurnya.
"Fali.." geram keduanya.
Falisha menggigit bibir bawahnya. "Iya, Maaf." Desah Falisha lagi. "Tapi Falisha bener kok, Kak Qilla, Abang Uncle. Tante Dokter sama Mas Dokter Ku itu emang gak mirip." Ujarnya keukeuh.
Nyonya Harumi yang memang sudah berhenti makan kini memandang Falisha ingin tahu. "Coba bilang sama Tante Dokter, apanya yang gak mirip?"
Falisha memandang Nyonya Harumi dengan tatapan menyipit curiga. "Kalo Fali jujur, Tante Dokter janji gak akan coret nama Fali dari daftar calon menantu potensial kan, ya?" Pintanya yang diangguki Harumi. "Oke. Deal?" Falisha mengulurkan tangannya yang masih kotor. "Ayo, Tante Dokter. Jangan malu-malu, tangannya sama-sama bau ikan asin ini." Jawab Falisha. Nyonya Harumi terkekeh lagi dan menyalami tangan Falisha yang katanya bau ikan asin itu.
"Jadi?" Tanya Nyonya Harumi lagi.
"Jadi." Falisha memulai. "Pertama wajahnya tante Dokter calon Mama Mertua itu gak sama. Gak ada mirip-mirip nya. Tante cantik, imut, putih, tapi Tante Dokter calon Mama Mertua wajahnya itu kayak orang Jepang gitu. Kalo Mas Dokter calon Suaminya Fali, dia itu wajahnya kayak indo tapi Indo Asia bule gitu." Ungkapan Falisha hanya dijawab anggukan oleh Harumi.
"Papanya Gibran orang Australia." Jawab Harumi jujur.
"Waah," Falisha kembali memperhatikan Gibran dengan terkesima. Tangannya terulur dan dengan sengaja mencolek Gibran. "Mas Dokter. Nanti kalo nikah sama Fali, keturunan kita bakal multinasional loh. Jepang, Turki, Indonesia, Australia. Coba bayangkan." Falisha menghitung dengan jarinya. Menunjukkan keempat jari mungilnya di hadapan Gibran."Pasti ganteng dan cantik kan, ya?" Falisha memandang Gibran penuh harap. Gibran malah menatapnya tajam.
"Terus apalagi?" Harumi kembali bertanya. Falisha kembali mengalihkan perhatiannya pada Harumi.
"Kalo Tante Dokter calon Mama Mertua itu sekali lihat udah ketahuan ramahnya. Kalo Mas Dokter calon Suaminya Fali, sekali lirik kelihatan banget cool sama jarang senyumnya." Jawab Falisha lagi. "Bukan cool sih sebenarnya. Jutek menuju ke garang!" Ralatnya.
Harumi menyenggol lengan putranya. "Tuh denger, makanya banyakin senyum. Mama juga aneh, sebenarnya kamu itu keturunan siapa sih? Papa kamu ramah, Mama juga ramah. Kok kamu beda sendiri?" Nyonya Harumi memandangi putranya. Gibran hanya bisa berdecak kesal.
"Mungkin Mas Dokter ketuker di rumah sakit tante Dokter calon Mama Mertua?" Tanya Falisha ragu-ragu. "Tapi kalo Mas Dokter gak yakin keturunan siapa, Mas Dokter Ku tenang aja, nanti Fali adopsi." Tawarnya.
"Adopsi?" Pertanyaan itu muncul dari Aathaf. Pria itu memandang Falisha heran. "Gibran udah kegedean buat kamu angkat jadi anak, Fali." Tegurnya.
Falisha mengibaskan tangannya di depan muka."Ih, Uncle. Siapa bilang mau Fali adopsi jadi anak?" Ujarnya seraya mencebik.
"Trus adopsi jadi apa?" Tanya Nyonya Harumi.
"Ya adopsi jadi suami dong, tante Dokter calon Mama Mertua. Habis itu baru bisa bikin anak." Jawab Falisha lagi. Membuat yang lain tertawa geli. "Mas Dokter mau ya? Kalo Mas Dokter gak mau Fali adopsi, Mas Dokter aja yang adopsi Fali jadi istri." Negonya. Gibran lagi-lagi hanya geleng-geleng kepala mendengar ide absurd Falisha.
"Ada lagi?" Nyonya Harumi memandang Falisha.
Falisha mengerutkan dahi, lalu menggeleng. "Nanti deh, Fali pikir-pikir dulu. Kalo udah ada nanti Falisha kasih tau Tante Dokter calon Mama Mertua." Jawab Falisha lagi. Harumi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jangan lupa tanya Tante Dokter calon Mama Mertuamu ini tentang makanan kesukaan Mas Dokter calon suaminya Fali. Nanti Tante Mama kasih tahu." Harumi tampaknya hendak bersekongkol dengan sepupu sekaligus keponakan temannya itu.
Falisha memberikan kedipan mata genitnya. "Oh, siap banget kalo urusan itu Tante Dokter calon Mama Mertua."
Gibran hanya bisa menatap Falisha dengan tatapan yang sulit diartikan.
Setelah makan siang, Gibran dan Alif kembali ke ruangannya. "Falisha itu memang lucu ya." Alif berkomentar. Mereka kini sudah bersiap untuk pemeriksaan sesi kedua.
"Maksudnya?" Gibran menatap Alif dengan sebelah alis terangkat.
Alif terkekeh. "Iya. Lucu. Cantik, iya. Imut. Terus cara bicaranya lucu. Gemesin." Ujarnya ekspresi Alif benar-benar tampak gemas.
"Kalo menurut kamu dia lucu dan gemesin. Kenapa kamu gak deketin dia?" Tanya Gibran dengan sinis.
Alif terbelalak. "Beneran, Dok?" Tanya Alif antusias. Pertanyaannya membuat dahi Gibran berkerut dan menatapnya tajam. "Kok lihatin saya segitunya, Dok? Kan tadi dokter yang ngasih saya saran untuk deketin dia. Lagian dia juga bilang tadi kalau dia bakal sering-sering berkunjung. Jadi peluang buat pedekate sama dia terbuka lebar. Itu juga kalo dokter emang gak punya minat sama dia. Gini-gini juga saya bukan tukang tikung, Dok. Apalagi nikung atasan yang kebetulan masih sepupuan." Ujarnya panjang lebar.
"Jadi kamu mau kerja atau mau ngobrolin hal gak penting?" Sindir Gibran. Alif terdiam. Baiklah, bos sudah berkata. Maka mari mulai bekerja.
Namun meskipun bersikap datar dan dingin. Faktanya sepanjang sisa hari itu Gibran terus memikirkan Falisha. Wajah cantiknya, tubuh mungilnya, gaya bicaranya yang unik, dan sikapnya yang apa adanya. Bahkan sesekali Gibran tersenyum tanpa sadar. Falisha, kenapa bocah kecil itu malah mengusiknya.