Falisha sedang tiduran di apartemen milik Gilang. Bukan tiduran di atas tempat tidur seperti seharusnya, tapi tiduran di atas sofa single dengan bahu bersandar pada punggung kursi dengan kedua lengan memeluk lutut. Falisha suka merasakan angin yang tertiup ke arahnya dari ketinggian sekian puluh meter.
Apartemen kosong yang belum mendapatkan penyewa. Dulu apartemen ini ditempati kak Gilang dan keponakannya sekaligus teman baik kak Qilla, yaitu kak Carina. Dan sekarang, Falisha membujuk Abang Uncle untuk mengijinkannya tinggal disini.
Bukannya merajuk, tapi Falisha juga butuh tempat untuk dia menyendiri sesekali. Tinggal bersama orang tuanya menyenangkan, terlebih ada dua adik yang menyayanginya. Hanya saja dia selalu merasa diawasi dan dikekang. Dia merasa tidak bebas. Selalu saja ada alasan yang mereka katakan setiap kali mereka memperlakukan Falisha dengan cara yang luar biasa.
Untunglah dia memiliki Ibu yang mengerti keadaannya. Ibunya juga lah yang meminta kepada Gilang Untuk mengizinkan ia tinggal di sini. Falisha bukan pesakitan. Dia bukan seorang sosok yang rapuh. Tapi ayah dan adik-adiknya, terlebih Akara dan Ilker selalu memperlakukannya demikian. Tidak di kampus, tidak di rumah, mereka selalu saja mengawasinya. Falisha merasa selalu diawasi oleh CCTV yang tak kasat mata.
Tidak boleh bergaul dengan laki-laki, walaupun hanya sekedar berbincang biasa. Tidak boleh jalan ke mall terlalu lama. Tidak boleh nongkrong dengan mengenakan pakaian seksi. Dan yang paling membuat Falisha risih, ketiganya dengan jelas menyatakan bahwa Falisha tidak boleh jatuh cinta.
Meylan dan Intan mengatakan kalau mereka mengalami sister complex? Lalu apa yang terjadi pada ayahnya apa mungkin ayahnya mengalami daughter compleks? Mengingat Falisha hanya adalah Putri satu-satunya. Baiklah, Falisha tahu memang seringkali seorang ayah tidak suka jika anak perempuannya dekat dengan laki-laki. Bahkan seringkali seorang ayah menangis ketika mengantarkan putri mereka menikah. Tapi untuk dengan benar-benar melarangnya dekat dengan makhluk yang berjenis kelamin laki-laki, Falisha heran sendiri.
Bukankah untuk menikah dia harus mengenal dulu calon suaminya? Iya kali Falisha menikah dijodohkan. Iyuuuhhhh, ogah. Sorry to say, bukan jamannya Si Doel kalee.
Falisha memejamkan mata, memilih untuk mendengarkan suara penyanyi wanita Korea pujaannya lewat headset bluetooth yang dikenakannya. Falisha memang tidak memiliki suara semerdu Ibunya dan Akara, tapi bukan berarti dia tidak suka bersenandung. Ya hanya bersenandung, karena ia tidak ingin membuat rusak gendang telinga orang lain. Kecuali mungkin jika ia menyanyi di kamar mandi. Mengingat kamar mandi adalah tempat lazim yang selalu digunakan orang-orang bersuara jelek seperti dirinya untuk mengeluarkan ekspresi.
Semacam konser tunggal dimana penontonnya shower, bathub dan closet. Ha ha.
eojjeomyeon geuge sarang iljido molla
banbokdoeneun ilsang
geu soge nareul bodeumeo jun nega
Maybe that's love
You've taken care of me in the repeating days
joyonghi tteollineun simjangi malhae
neoreul bogo sipdago malharae So Maybe
My quietly trembling heart tells me
To tell you that I miss you
So maybe
Maybe you love me
you love me you love me
Maybe I love you
I love you I love you
Lee Hae Ri (Davichi) - Maybe
Suara tepukan tangan mengalihkan perhatian Falisha. Falisha menoleh dan melihat pria dengan tubuh tinggi atletis, berkulit sawo matang, rambut hitam dan wajah yang Falisha kualifikasikan ke dalam 'manis' tersenyum ramah ke arahnya.
Falisha melepas headsetnya dan memandang pria itu. Ia berdiri sambil meringis malu. "Ma-maaf." Ucapnya sambil membungkukkan bahu.
"Maaf untuk apa?" Tanya pria itu heran.
"Itu, anu, suaraku." Katakanlah Falisha gugup. Itu sebabnya bicaranya tak jelas. Falisha menarik nafas mencoba menenangkan dirinya. "Oke baiklah, aku minta maaf. Suaraku memang tidak terlalu bagus, dan bahkan bisa dikatakan cempreng. Jadi maaf jika Fali gangguin Ma dan merusak gendang telinga Mas nya, tapi jangan minta pada Fali buat biayain dokter THT, karena jujur Fali ini cuma seorang pengangguran." Cerocos Falisha panjang lebar dengan kedua tangan tertangkup di depan wajahnya.
Pria yang berdiri dua meter di hadapannya itu hanya tertawa geli mendengar ucapannya. Falisha terkesima. Lalu kemudian tiba-tiba merasa marah. "Mas nya ngetawain Fali?!" Ucapnya tak suka. Pria itu menganggukkan kepalanya.
"Kamu lucu, menggemaskan." Ucapnya jujur. "Namaku Galih. Kamu?"
"Falisha." Jawab Falisha jutek. Pria itu terkekeh.
"Kamu penghuni apartemen baru? Aku kok baru kali ini ketemu sama makhluk selucu dan seimut kamu?" Falisha tidak menjawab. Dua kata yang selalu orang katakan tentang dirinya. Lucu dan imut. Jangan lupakan fakta kalau mereka selalu mengira Falisha masih anak SMA. "Kok gak jawab? Aku baru tinggal disini beberapa hari. Bukan tempat tinggalku sih, tapi tempat tinggal temanku." Lanjutnya lagi masih dengan sikap ramahnya.
"Mama bilang jangan bicara sama orang asing. Jangan-jangan Mas nya sok ramah padahal sedang mengintai ala-ala penculik." Jawab Falisha. Lagi-lagi membuat pria itu tertawa lebar.
"Kamu benar-benar lucu. Aku beramah tamah sekedar perkenalan sama tetangga." Ucapnya lagi. Pria itu kini bersandar di balkon dengan kedua tangan terlipat di d**a. "By the way, aku punya cafe, dan suara kamu bagus. Apa kamu berminat jadi penyanyi di cafe?" Tawarnya.
Falisha mencoba memperhatikan ekspresi pria itu. Apa pria itu sedang mengejeknya? Jelas-jelas Akara dan Ilker selalu meledeknya karena suara jeleknya. Falisha memandang pria itu dengan mata menyipit. Tapi pria itu tidak menunjukkan ekspresi yang mencurigakan. "Jangan bohong, Fali tahu suara Fali gak bagus. Jadi gak usah meledek." Ujar Falisha pada akhirnya.
"Aku gak ngejek. Suara kamu benar-benar bagus. Memangnya kamu belum pernah merekam suara kamu dan mendengarkan nya ulang?" Tanya pria itu, Falisha menggelengkan kepalanya. "Coba aja nyanyi trus rekam. Habis itu dengerin ulang. Suara kamu bagus banget." Lanjutnya dengan tulus.
Falisha masih menatapnya dengan curiga. Bukannya marah, lagi-lagi pria itu tertawa. "Nanti aku selipin kartu namaku ke balik pintu unit kamumu. Karena aku gak mungkin ngelemparinnya dari balkon dengan jarak tiga meter seperti ini. Yang ada malah terbang kartu namanya."
"Oke. Fali tunggu." Jawabnya. "Tapi jangan lama-lama. Soalnya Fali gak nginap disini. Fali cuma sesekali aja kesini nya. Jadi gak tau kapan lagi bakal kesini lagi."
"Ok. Aku ke depan sekarang. Tunggu ya. Kalau ada yang mencet bel, berarti aku udah nyimpen kartu nama di bawah pintu." Falisha mengangguk. Terdengar suara pintu balkon di geser. Lalu hening.
Tak sampai dua menit, terdengar suara bel apartemennya berbunyi. Falisha berjalan mendekat dan melihat dibawah pintu ada sebuah kartu nama berbahan tebal dengan warna di d******i hitam dan abu perak. Falisha mengambilnya dan membaca.
G&G Company
Galih Pramudya
Tercetak dalam huruf berwarna abu silver yang timbul di atas latar kartu berwarna hitam. Ada nomor ponsel dan alamat kantornya disana.
Falisha kembali berjalan ke balkon setelah memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya.
"Aku sama temen aku punya perusahaan ekspedisi. Masih kecil-kecilan sebenarnya. Dan disamping itu kami punya cafe juga. Letaknya tidak jauh dari sini. Namanya G&G Resto."
Falisha mengerutkan dahi. Rasanya ia tahu tempat itu. Ah, iya. Cafe yang bertema western dengan rooftop yang menyajikan pemandangan indah kota. "Yakin kalo Mas nya yang punya?"
"Bukan aku. Tapi kami. Aku sama temen aku. Nanti aku kenalin. Dia orang yang tinggal dan pemilik apartemen ini. Apa kamu pernah ketemu sama dia?" Falisha menggeleng. "Namanya..." Belum sempat Galih menyebutkan, pria itu berbalik dan masuk ke dalam lagi. "Namanya Gibran." Jawab Galih dan menarik paksa sesosok pria tinggi putih yang sangat dikenal Falisha.
Falisha terbelalak. "Mas Dokter?!" Pekiknya senang. Senyum mengembang di wajahnya. Pria yang dipanggilpun tak kalah terkejutnya. Matanya membulat memandang Falisha seakan tak percaya.
"Kamu?! Ngapain kamu disitu?" Tanyanya dengan nada tinggi.
"Kalian saling kenal?" Tanya Galih memandang Falisha dan Gibran bergantian. Begitupun Falisha, ia menatap Galih dan Gibran bergantian. Melihat cara Galih yang merangkul bahu Gibran dan kembali mengingat ucapan-ucapan yang pernah ia dengar.
"Dia gak suka perempuan."
"Tempat tinggal temanku."
Rangkulan itu? Apa jangan-jangan Galih dan Gibran? G&G? Falisha terduduk di kursinya, mencoba menelan ludah. Wajahnya memucat karena shock. Dan itu membuat Galih dan Gibran sepertinya khawatir.
"Fali, kamu baik-baik aja?" Tanya Gibran. Kedua tangan pria itu memegang pagar balkon, tubuhnya condong ke arah balkon dimana Falisha berada. Sekilas orang melihat pastinya akan mengira bahwa pria itu hendak melompat entah turun ke bawah atau melintasi jarak untuk menuju balkon di depannya. Falisha menggeleng. Matanya menatap kosong. "Falisha?!" Gibran lagi-lagi bersuara kencang. Seandainya ia ada di hadapan gadis itu, dia pasti akan mengguncang bahu kecil itu dan membuatnya sadar kembali.
"Mas Dokter..." Lirihnya. Falisha kembali memfokuskan pandangannya pada Galih dan Gibran. Airmata tiba-tiba saja tumpah di wajah gadis itu. Falisha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Galih memandang Gibran. "Apa yang loe lakuin sama dia? Kenapa dia sampe nangis kayak gitu? Loe nyakitin dia Gib?" Tanya Galih dengan nada menuduh.
"Lah, kok gue? Gue baru aja dateng. Gue malah baru tahu dia tinggal disini." Elak Gibran.
"Tapi dia nangis abis ketemu loe. Tadi waktu kita ngobrol, dia gak apa-apa." Jawab Galih lagi.
"Loe tanya aja sama dia. Kenapa dia tiba-tiba nangis. Gue gak urusan." Gibran lalu masuk ke dalam apartemen meninggalkan Galih yang kebingungan.
"Fali, cup cup cup. Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba nangis?" Galih mencoba membujuk. Falisha masih terisak namun ia mengangkat kepalanya dan memandang Galih.
"Jadi itu bener ya?" Tanyanya langsung ke arah Galih.
"Bener? Apa yang bener?" Tanya Galih bingung.
"Mas Dokter. Hiks." Ucapnya disela isakannya. "Bener kalo Mas Dokter gak suka sama cewek? Bener kalo Mas Dokter sukanya sama cowok? Hiks.."
Mata Galih membulat. Mulutnya menganga lebar. "Mak-maksud kamu?" Tanyanya tak percaya.
"Iya! Mas Dokter punya hubungan ya sama Mas Galih! Kalian couple-kan? Hiks... Hiks... Kenapa Mas Galih tega ambil Mas Dokterku? Kenapa Mas Galih gak cari cowok lain aja? Biarin Mas Dokterku normal lagi. Biarin Fali yang jadi calon istrinya. Hiks.. Hiks.." Fali kembali menangis. Tidak memedulikan Galih yang masih shock dengan ucapan gadis itu.
What the hell. Gadis cantik, imut, lucu dan mungil di hadapannya ini sekarang tengah menuduhnya sebagai gay? GAY? Penyuka SESAMA JENIS? TERONG PENYUKA TERONG? Oh my God. Apalagi yang dilakukan Gibran saat ini sampai dia bisa membuat gadis seperti Falisha menuduhkan hal yang sangat tidak masuk akal seperti ini. "Gibraaaan..." Geramnya kesal. "Fali, dengerin aku. Aku ini cowok normal. Sumpah. Demi Allah. Aku masih suka cewek." Ujar Galih. Dan ia sendiri bingung kenapa harus repot-repot menjelaskan padahal mereka baru kenal belum sampai satu jam lamanya. Tapi ia merasa sangat perlu mengklarifikasinya. Dia tidak punya kelainan seksual. "Falisha..."
Falisha mendongak mendengar namanya dipanggil.
"Aku dan Gibran itu sama-sama normal. Kami bukan penyuka sesama. Sungguh. Sumpah. Percaya sama aku." Ucap Galih dengan nada memelas.
Falisha menghapus airmatanya dan memandang Galih dengan tajam. "Yakin?" Tanyanya. Galih mengangguk. "Sumpah?" Galih mengangkat tangannya. Menunjukkan telunjuk dan jari tengahnya. "Trus, Mas Dokter juga normal?" Galih mengangguk. "Dia suka cewek, kan?" Galih kembali mengangguk. "Dia juga bakal jadi suaminya Fali kan?" Lagi-lagi Galih mengangguk.
"Hah?" Tanyanya setelah sadar dengan pertanyaan terakhir Falisha. "Ma-maksud kamu?" Galih memandang Falisha bingung.
"Tadi mas nya ngangguk. Berarti iya. Mas Dokter bakal jadi suaminya Fali. Dan Mas Galih bakal bantu Fali dapetin Mas Dokter. Awas aja kalo enggak. Fali udah punya nomor Mas Galih. Fali bakal terus teror Mas Galih. Awas aja, kalo Mas Galih sampai nge blokir nomor Fali. Fali kejar ke kantor sama ke Cafe." Ancamnya panjang lebar. Yang membuat Galih hanya bisa melongo heran. Lalu kemudian tertawa terbahak.
'Apa Gibran tahu semua ini? Gadis kecil itu dan obsesinya? Cara berpikirnya yang aneh dan semua jebakannya? Sepertinya kehidupan Gibran akan berwarna mulai sekarang.' Galih bermonolog. Dan tentunya, karena ia menyayangi Gibran dan sudah menganggapnya sebagai saudaranya sendiri, ia akan dengan senang hati memberikan jalan untuk Falisha untuk bisa mendekati Gibran. Kalau perlu, ia akan meracuni pikiran gadis itu dan membantunya membuat Gibran bertekuk lutut. Galih tertawa jahat di kepalanya.
"Hubungi saja aku kapanpun kamu perlu." Ucapan Galih membuat senyum gadis itu melebar dan kepala cantiknya mengangguk antusias. "Tapi kamu belum jawab pertanyaan Mas tadi."
"Pertanyaan yang mana?"
Galih tersenyum miring. "Kamu penghuni apartemen baru?"
Bibir Falisha membulat. "Ohh yang itu. Tadi kan Fali udah jawab kalo Fali kesini cuma sesekali. Unit ini punyanya Abang Uncle."
Dahi Galih mengernyit. Bahasa aneh apa lagi itu? Abang Uncle? "Trus, biasanya 'sesekali' kamu itu ada jadwalnya atau bebas aja?"
Falisha mengedikkan bahu. "Ya, namanya sesekali, pasti gak ada jadwal. Kalo ada jadwalnya, nanti berubah jadi seringkali. Kenapa? Mas mau nguntit Fali ya? Stalker IG sama sss Fali aja, Mas. Fali orangnya ramah tamah baik hati dan rajin update insta-story. Jadi Mas bisa cek Fali di sosmed."
Galih mengeluarkan ponselnya, dan membuka akun instagramnya. "Nama akunnya?"
"Falitwins pake 'ef' ya, bukan 'pe'. Fali, bukan Pali. Nanti Fali disamain pake nama jalan tol lagi." Gerutunya.
"Falitwins underscore el ef bukan?" Tanya Galih. Falisha mengangguk. "Kok di private sih?"
Falisha tersenyum mengejek. "Ya supaya yang kepoin Fali banyak dong Mas. Kalo gak di private nanti followers nya dikit." Jawabnya santai.
Galih melihat pengikut gadis itu memang sudah mencapai jutaan. "Kalo gitu terima punyanya Mas." Pintanya.
Falisha mengangguk. "Nanti aja ya. Kalo Fali gak sibuk dan gak lupa." Jawabnya datar.
"Tapi kan sekarang kamu lagi gak sibuk trus gak lupa. Kenapa gak langsung dibuka aja?"
Falisha nyengir. "Jujur nih ya, sebenernya kuota Fali abis. Jadi Fali gak bisa buka akun IG nya." Ia tertawa sementara Galih melongo. Anak ini, demi Tuhan. Super aneh. Lalu Galih ikut tertawa bersamanya.