Daren hanya bisa menghela lemah, setiap kali perempuan di depannya menatap penuh minat, seolah dirinya adalah makanan pembuka yang menggugah selera. Berbeda dengan dirinya, Daren justru kehilangan selera makannya. Daren hanya minum teh hijau dingin di hadapannya, tanpa menyentuh hidangan utama yang tersaji memenuhi meja mereka.
"Gak makan?" Tanya Reno.
Daren menggeleng, kembali ia menyambar gelas kaca berisi separuh ocha dingin dan meminumnya hingga tandas. "Gak lapar." Jawabnya singkat.
"Aku ke toilet dulu sebentar," Daren pamit undur diri, ia segera meninggalkan meja dan berjalan mencari area khusus merokok. Moodnya hilang begitu saja, setelah melihat wajah familiar yang beberapa bulan ditemuinya di Spanyol. Entah mengapa, Daren merasa sedikit tidak nyaman dengan wanita itu, meski ia tidak tahu pasti apakah mereka wanita yang sama atau bukan.
Tidak ada yang perlu dibicarakan lebih serius dengan pihak perusahaan milik John, karena sebelumnya Reno sudah pernah beberapa kali menjalin kerjasama dengannya. Tidak perlu diragukan lagi, kedua belah pihak bahkan pernah merasakan sebuah kesuksesan besar yang menghantarkan perusahaan mereka menjadi salah satu perusahan besar di Negeri ini. Pertemuan kali ini hanya sebatas formalitas semata, di tengah-tengah kesibukan mereka yang mulai padat dan akan segera mengerjakan proyek baru.
Beberapa dokumen sudah dibaca dan diteliti dengan seksama oleh kedua belah pihak, sejauh ini tidak ada kendala apapun dan proyek besar yang menghabiskan ratusan miliar rupiah itu siap dikerjakan dalam waktu dekat. Tidak ada yang gagal, sejauh ini apa yang dikerjakan Daren selalu membuahkan hasil yang memuaskan. Baik untuk perusahaan yang menaunginya maupun perusahaan yang menjadi partner bisnisnya.
"Rupanya kamu disini," Daren segera menoleh,
"Aku bahkan mencarimu hingga ke toilet pria. Ternyata kamu ada disini." Daren menghela lemah. Ia mematikan sebatang rokok yang baru saja dinyalakan. Namun kehadiran wanita itu, sudah merusak waktu berharganya.
"Jangan bilang kamu tidak mengenalku." Selidiknya dengan mata menyipit.
"Aku memang tidak mengenalmu," jawab Daren, dingin.
"Oh Tuhan, suaramu tetap sexy seperti dulu. Aku kira akan berubah,"
"Jika bisa, mungkin sudah kuubah."
"Kamu benar-benar tidak mengenalku? Atau pura-pura tidak mengenalku?"
"Aku rasa itu bukan pertanyaan yang harus aku jawab."
"Baiklah, jika kamu lupa aku adalah Lilly. Lilly yang waktu itu," Lilly mencondongkan tubuhnya, seolah ia membisikan sesuatu yang tidak boleh diketahui siapapun.
"Aku tidak tahu, kamu adalah Lilly yang waktu itu. Karena tadi Mr John memperkenalkan kamu sebagai Rose. Bukankah itu dua nama yang berbeda?" Balas Daren dengan tatapan mengejek.
Lilly justru terkekeh geli melihat sikap Daren, "Ya Tuhan,, kamu benar-benar lucu. Tahukah kamu, semakin kamu bersikap dingin, kamu semakin membuatku penasaran. Dan kita memang benar-benar berjodoh, buktinya kita dipertemukan kembali dalam situasi yang sangat tidak kuduga." Daren memandang Lilly dengan tatapan jengah, menurutnya Lilly salah satu jenis wanita yang harus dihindarinya. Selain sikap optimis berlebihan yang dimilikinya, juga sikap percaya dirinya yang membuat Daren tidak tertarik sedikitpun.
"Tidak apa, aku tau kamu pasti butuh waktu untuk mencerna semua kebetulan diantara kita. Lagipula kita akan bertemu setiap hari."
Salahkah jika Daren beranggapan dunia ini sempit. Bagaimana bisa dari sekian juta manusia di negeri ini, yang akan menjadi partner bisnisnya justru salah satu wanita aneh yang pernah mengusik pikirannya karena sekilas mirip mendiang Danisa.
"Jangan galak-galak, nanti kamu akan benar-benar menyukaiku."
"Semoga itu tidak terjadi."
"Tapi aku yakin, itu pasti terjadi."
Dilihat dari penampilannya, jelas Lilly bukan gadis belia atau anak kecil berusia lima tahun seperti Queen, tapi ternyata umur tidak menjamin seseorang bisa sangat menyebalkan, bahkan Lily lebih pantas seperti teman seumuran Queen dibanding wanita dewasa. Merasa sia-sia berbicara dengan Lilly, selain tidak baik untuk kesehatan hatinya, juga bisa semakin memperburuk suasana hatinya. Daren tidak ingin terlihat kurang bersahabat dihadapan John, terlebih setelah acara makan siang ini selesai ia akan langsung menemui putri kesayangannya.
Daren tidak memperdulikan Lilly yang masih mengekorinya dari belakang. Bahkan Lilly berjalan setengah berlari, untuk menyeimbangkan langkah kaki kecilnya dengan langkah kaki Daren yang nampak sengaja dibuat cepat.
Satu jam berada dalam satu meja yang sama dengan Lilly, sudah membuatnya merasa begitu tersiksa. Beruntunglah siksaan itu tidak lebih lama lagi, setelah John menerima panggilan penting lainnya. John dan kedua orang nya segera pamit undur diri, termasuk Lilly. Daren akhirnya bisa menghela lega, setelah rombongan itu tidak berada lagi di ruangan yang sama dengannya.
Sesaat setelahnya, Daren memanggil salah satu pelayan dan memesan beberapa makanan.
"Memangnya di dekat rumah Kanaya tidak ada Restoran seperti ini?" Tanya Reno, heran.
"Banyak," jawab Daren santai, sambil memeriksa ponselnya.
"Lalu, kenapa kamu pesan banyak makanan? Bukankah itu untuk Queen?"
"Siapa bilang?" Daren meletakan ponsel di atas meja, setelah tidak berapa lama seorang pelayan membawa sebagian pesanananya.
"Ini untukku, bukan untuk Queen." Daren langsung melahap makanan tersebut, ia tidak menghiraukan tatapan tidak percaya Reno.
"Beneran lapar?" Tanya Reno dengan bertopang dagu, memperhatikan Daren yang tampak seperti orang kelaparan.
"Aku benar-benar lapar."
"Lalu, kenapa kamu bersikap seperti seorang perempuan yang baru pertama kali kencan. So imut," cibir Reno.
"Tadi belum lapar,"
"Alasan klise. Aku tahu bagaimana kebiasaanmu, terlebih sejak pagi kita tidak makan apapun. Mana mungkin kamu tidak merasa lapar,"
"Tadi memang belum terasa lapar." Elak Daren.
Reno hanya berdecak, mendengar alasan konyol Daren. Melihat Daren menyantap berbagai hidangan di hadapannya dengan sangat cepat, membuat Reno sudah cukup merasa mual.
"Mulai hari senin, kamu dan Rose akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk proyek ini. Aku dan Mr John akan memantau setiap satu minggu sekali."
Daren tersedak, buru-buru ia menenggak minuman dingin untuk meredam batuknya.
"Kenapa? Kamu seperti terkejut? Bukankah sejak tadi kita membahas hal itu, dan kita sudah sepakat?"
"Benarkah?" Daren balik bertanya. "Aku tidak tau kalian membahas hal itu," lanjutnya.
"Ada apa denganmu? Tidak biasanya kamu tidak fokus seperti itu?"
"Bukan tidak fokus, hanya saja kalian terlalu cepat berbicara. Aku pusing mendengarnya." Kilah Daren, sambil berpura-pura memijat pelipisnya.
"Benarkah?" Selidik Reno dengan mata menyipit.
Daren hanya bergumam sebagai jawaban, ia tidak lagi menghabiskan makananya. Ucapan Reno sudah membuat dirinya merasa kenyang.
Mereka berdua memutuskan untuk kembali pulang, kebetulan arah rumah Kanaya dan rumah Reno satu arah. Selain karena satu arah, Reno memang malas mengemudi, dia lebih suka berleha-leha duduk di samping Daren, meski terkadang Daren sering mengeluh karena dirinya seperti supir pribadi Reno.
"Aku tidak terlalu menyukai sekretaris Mr John," ucap Daren di tengah-tengah perjalanan mereka.
"Kenapa?" Tanya Reno, namun dengan senyum jahil.
"Sepertinya dia kurang kompeten dalam bekerja."
"Benarkah?"
"Iya,"
"Darimana kamu tau? Atau jangan-jangan ada hal yang tidak aku ketahui? Dan kamu mencoba menyembunyikannya?"
Daren membalas pertanyaan Reno dengan tapan jengah. Reno benar-benar lelaki tua yang menyebalkan.
"Serius, aku tidak bohong."
Reno hanya mengangguk-anggukan kepala dengan sebelah tangan mengusap dagunya.
"Tidak selera makan ketika berhadapan langsung, bahkan langsung menilai buruk di hari pertama bertemu. Padahal sangat cantik dan menarik. Sepertinya ada hal yang tidak aku ketahui. Baiklah, aku tidak akan menggantinya, keputusan final. Rose akan tetap menjadi partnermu kali ini."
Ingatkan Daren jika Reno adalah kakak dari Revan, ayah mertuanya. Jika tidak ia ingin menurunkan Reno di lampu merah dan meninggalkannya. Reno memang sangat menyebalkan.