Beruntung, hanya itu yang bisa Daren ucapkan karena ia masih memiliki mertua yang menganggapnya seperti anak sendiri. Kanaya dan Revan tidak pernah menganggap Daren seperti seorang menantu, mereka menganggap Daren sama seperti Elea dan Danisa, anak kandung mereka.
Kedatangan Daren disambut hangat keluarga Revan, bahkan Kanaya sengaja memasak beberapa menu kesukaan Daren di bantu Queen yang selalu antusias setiap kali diajak masak atau membuat kue. Sementara itu suasana rumah terasa lebih ramai karena Elea pun ada disana. Ibu hamil satu itu sedang merajuk pada suaminya, sudah dua malam Elea enggan diajak pulang.
"Masih ngambek ceritanya?" Tanya Daren, menghampiri Aksa yang tengah memainkan ipad di tangannya.
"Begitulah,,," jawab Aksa, ia pun menaruh ipad di atas meja.
"Wanita hamil itu sangat sensitif, sabar-sabar aja ngadepinnya."
Terdengar helaan pelan nafas Aksa, membuat Daren tersenyum.
"Lebih sensitif dari yang kukira, padahal hanya soal perkara telat balas pesan."
Daren menepuk pundak aksa pelan, "Itu belum seberapa, biasanya malah disuruh melakukan hal-hal yang tidak masuk akal."
"Aku sudah fasih dengan hal-hal seperti itu, bahkan Elea sempat memintaku selalu mengenakan dasi berwarna merah. Setiap hari, selama dua minggu berturut-turut. Bahkan dia selalu memantau untuk memastikan aku memakainya atau tidak."
Daren tergelak, "Ya Tuhan,,, Elea benar-benar berhasil mengerjaimu. Sabar kawan,,, itu harga yang harus kamu bayar untuk setiap malam yang kalian habiskan bersama."
Aksa hanya menghela. Benar ucapan Daren, wanita hamil lebih berbahaya dari apapun. Sekali marah, bisa berhari-hari dirinya terkena hukuman.
"Sayang,,,," terdengar suara Elea dari arah dapur.
"Panggilan untuk Tuan Aksa," ucap Daren jahil.
Daren hanya bisa tersenyum melihat pasangan muda itu, ia pernah merasakan apa yang dialami Aksa. Dulu, Daren pernah beranggapan Danisa terlalu berlebihan, namun ternyata hal-hal seperti itu kini amat dirindukannya.
Tidak berselang lama, jamuan makan malam sudah siap. Semua anggota keluarga berkumpul di meja makan, menikmati hidangan makan malam sambil berbincang-bincang.
"Dad, tidurnya bareng aku kan?" Tanya Queen.
"Iya sayang, malam nanti kamu tidur bareng Dad." Daren mengelus puncak kepala Queen dengan lembut.
"Malam ini biarin Oma sama Opa bermesraan dulu," Elea menimpali sambil tertawa.
"Mesra itu apa?" Queen balik bertanya dengan wajah polos.
"Mommy El jangan didengerin. Mending sekarang ikut Oma ganti baju."
"Nanti Dad nyusul. Sekarang ganti baju bareng Oma ya?"
Queen mengangguk patuh.
"Jangan bicara yang tidak-tidak didepan Queen, dia masih terlalu kecil untuk mendengar kalimat seperti itu." Ucap Revan, setelah Queen pergi bersama Kanaya.
"Itu bukan kalimat yang tidak-tidak, tapi itu kenyataan, Dad. Memangnya Dad tidak merasa kesepian setiap malam tidur sendiri, sementara Ibu harus tidur bersama Queen?"
"Astaga, El." Revan menggeleng, sementara kedua menantunya hanya tersenyum simpul.
"Ngomong-ngomong siapa partner kerjamu yang baru?" Tanya Elea pada Daren.
"Siapa? Tidak ada." Daren menggeleng, sambil menenggak air putih hingga tandas.
"Uncle Reno bilang,,"
Belum sempat Elea meneruskan kalimatnya, Daren tiba-tiba tersedak.
"Dia bilang apa?" Selidik Revan tidak mengerti.
"Dia bilang ada partner kerja baru untuk Daren. Perempuan. Cantik." Jelas Elea dengan senyum menggoda.
"Itu hanya rekan kerja, tidak lebih." Daren buru-buru mengelak, sebelum Elea meneruskan bercerita. Daren mengumpat dalam hati, ternyata Reno benar-benar menceritakan hal tidak penting seperti itu pada Elea. Padahal Daren tidak mengingat sedikitpun Lilly di pikirannya, bahkan kejadian menyebalkan siang tadi hilang begitu saja setelah ia bertemu Queen.
Sesuai janjinya, Daren tidur bersama Queen menemani gadis kecil itu bercerita panjang lebar hingga pukul sebelas malam. Jika tidak dipaksa tidur, Queen akan terus melanjutkan ceritanya hingga esok pagi, namun Daren meminta Queen bercerita lagi esok hari.
Pagi harinya, Daren bertugas menggantikan Kanaya mengantar Queen berangkat sekolah. Meskipun Kanaya memperlakukan Queen dengan sangat baik, namun raut wajah ceria Queen tidak bisa disembunyikan begitu Daren yang mengantarnya ke sekolah. Queen memperkenalkan Daren pada kedua teman baiknya dengan begitu antusias. Termasuk pada Lisa, guru favoritnya.
"Bagaimana perkembangan putri saya Mis?" Daren menyempatkan diri bertanya secara langsung pada Lisa, mengenai perkembangan putrinya.
"Queen anak yang baik, dia pandai bergaul dengan teman-teman yang lain. Dan juga dia cepat tanggap dalam hal baru," jelas Lisa. Mereka berdua berada di ruang kerja Lisa, ruangan bernuansa merah muda dengan hiasan bunga-bunga kecil membuat siapapun yang berada di ruangan itu akan merasa nyaman.
Lisa benar-benar gambaran sosok perempuan dengan segala kelembutan. Tutur katanya lembut dan sangat merdu didengar, sorot matanya hangat seperti sinar mentari pagi, bau tubuhnya semerbak menenangkan, pantas saja Queen begitu menyukainya.
"Dia memang tumbuh mandiri, bahkan dipaksa mandiri di usianya yang masih sangat kecil. Saya sangat berharap Mis bisa lebih sabar menghadapi anak saya."
"Tidak perlu khawatir, saya akan melakukan yang terbaik."
"Terimakasih," Daren menjabat tangan Lisa, sebelum berpamitan. Tangan lembut dan halus Lisa menyentuh tangan Daren.
"Saya akan menyimpan kontak pribadi Mr Daren, jika ada hal yang mendesak, saya akan segera menghubungi Anda."
"Tentu, silahkan hubungi saya segera jika ada hal yang sangat penting."
Daren akhirnya undur diri dari ruang kerja Lisa. Selain karena tidak ada hal yang perlu mereka bahas, juga karena Lisa harus kembali ke kelas.
Daren tidak langsung kembali ke rumah, dia berjanji akan menunggu Queen hingga selesai sekolah. Kedatangannya di sekolah Queen tentu saja sempat membuat sedikit kegaduhan, terlebih ibu-ibu muda yang begitu mengagumi ketampanan yang dimiliki Daren. Tubuh tinggi atletis, sorot mata tajam dan penampilan modis, tentu saja siapapun yang melihatnya akan langsung terpesona. Terlebih status single parent yang disandangnya sudah terlanjur tersebar luas di kalangan Ibu-ibu, membuat mereka berlomba mencari perhatian Daren.
Daren tidak merasa terganggu dengan tatapan memuja kaum perempuan yang haus perhatian itu, selagi mereka tidak benar-benar mengganggu atau melakukan hal konyol yang dilakukan Lilly tempo hari. Perempuan sejenis Lilly memang banyak spesiesnya, namun perempuan dengan tutur kata baik dan lembut seperti Lisa sangat jarang ditemuinya.
Entah mengapa Daren jadi membandingkan Lilly dan Lisa, padahal kedua wanita itu sama-sama baru dikenalnya.
"Daddy,,," Queen memanggil Daren sambil berlari ke arahnya.
"Jadi kan kita makan di luar?"
"Jadi dong,,," Daren mencubit gemas pipi gembul Queen. Hari ini mereka berdua akan menghabiskan waktu bersama, karena esok harinya Daren harus kembali kerja dan akan kembali minggu depannya. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Daren akan mengajak putrinya bermain satu hari penuh.
"Ayo kita berangkat sekarang!" Ajak Daren, namun Queen menahan pergelangan tangan Daren.
"Kenapa sayang?" Tanya Daren heran,
"Mis Lisa,," tunjuk Queen pada Lisa yang tengah berjalan cepat menuju gerbang sekolah.
"Kenapa memangnya?"
"Dia pasti sedang buru-buru,"
"Queen tau darimana?"
"Karena setiap hari senin, Mis harus pulang cepat untuk menemui Ibunya." Daren menatap Queen dengan terheran-heran, bagaimana gadis kecilnya itu tau.
"Bagaimana kalau kita anter Mis dulu, setelah itu kita jalan-jalan. Kasian Mis'nya." Daren tidak bisa menolak, ia pun memenuhi keinginan Queen meski sebenarnya arah tujuan Lisa dan dirinya berbeda.
Lisa tidak menolak begitu Daren menawarkan tumpangan, meski awalnya Lisa sempat merasa tidak enak hati. Namun karena keadaannya sangat terdesak, ia tidak bisa menolak ajakan Daren dan Queen.
Mobil yang membawa mereka bertiga perlahan keluar dari halaman sekolah. Daren mengantar Lisa terlebih dahulu, setelah itu ia dan Queen akan segera menuju lokasi yang sudah disepakati mereka berdua sejak semalam.
Selama perjalanan tidak hentinya Queen berceloteh, sementara Lisa menanggapi setiap ucapan Queen dengan sabar. Sesekali Daren memperhatikan keakraban mereka berdua lewat kaca spion, karena Queen dan Lisa memilih duduk di kursi penumpang sementara Daren terlihat seperti supir pribadi kedua wanita beda usia itu.
Queen memang nampak terlihat begitu akrab dengan Lisa, bahkan tanpa segan Queen bergelayut manja di lengan Lisa. Sungguh pemandangan yang sangat langka, Queen bisa dekat dengan orang lain, selain Kanaya dan Elea.
Sesekali Daren tersenyum sambil mencuri pandang, jika saja Danisa masih ada, mungkin wanita yang mengisi kursi kosong di sampingnya dan berceloteh ria dengan Queen adalah Danisa. Namun Daren kembali harus menelan pil pahit, kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya terpaksa harus diterimanya. Mengingat hal itu, hati Daren kembali berdenyut nyeri.
"Mis, kita seperti keluarga ya. Dad, Mis, dan aku." Tiba-tiba ucapan Queen terlontar begitu saja, membuat Daren dan Lisa saling bertatapan dan mengerjap, membuat kecanggungan diantara Lisa dan Daren.