Episode 9

1169 Kata
"Terimakasih untuk tumpangannya pak Daren, juga Queen." Ucap Lisa begitu ia sampai di depan lobi sebuah Rumah sakit swasta. "Sama-sama, Mis." Balas Queen sambil melambaikan tangannya dari balik kaca mobil. Perlahan mobil Daren meninggalkan lobi Rumah sakit, sesekali Daren mencuri pandang lewat kaca spion, memperhatikan Lisa yang masih berdiri memperhatikan mobil yang dikemudikannya. Lisa, sosok wanita mandiri yang begitu menyayangi Ibunya, itu lah yang bisa Daren simpulkan saat ini. Selama perjalanan Daren hanya menjadi pendengar yang baik dan hanya menjawab sesekali pertanyaan Queen. Diam-diam dia memperhatikan Lisa, gadis berwajah asia itu. Satu hari menghabiskan waktu bersama Queen rasanya masih terasa kurang. Waktu yang dimiliki Daren saat ini memang tidak banyak, ia hanya menyempatkan diri untuk menemani putrinya sekali dalam satu minggu, itupun dihari yang tidak bisa ditentukan. Enggan rasanya berjauhan dengan Queen, namun Daren tetap harus bersikap profesional dalam pekerjaan dan dengan terpaksa ia harus kembali ke Tangerang dan menitipkan Queen pada kedua mertuanya. Queen sempat merengek tidak mau ditinggal, namun semakin beranjak dewasa, ia mulai terbiasa dan hanya dengan sedikit rayuan, Queen akhirnya luluh. Daren segera bergegas pergi menuju Tangerang di mana selama beberapa bulan ini ia menyewa sebuah apartemen kecil, tak jauh dari proyek yang sedang dikerjakannya. Daren sengaja memilih apartemen yang tidak terlalu besar, ia hanya menggunakannya sebagai tempat istirahat, itupun jika ia tidak tertidur di kantor. Waktu menunjukan pukul sebelas malam, akhirnya Daren sampai di apartemennya. Gelap dan sunyi, dua hal yang langsung menyambut kedatangannya. Tidak ada perabotan atau aksesoris lain di apartemennya, selain kursi, televisi dan sebuah foto yang selalu menjadi teman dikala ia sendirian. Foto yang selalu dipandanginya hampir setiap malam, sebagai satu-satunya cara mengurangi rindu yang tidak pernah berkurang setiap harinya. Gambar yang menjadi salah satu penyebab rasa sesal yang tidak pernah bisa dilupakannya hingga saat ini. Daren merebahkan tubuhnya di sofa panjang berwarna hitam, setelah mengganti pakaian dan membersihkan diri. Meskipun apartemen tersebut memiliki satu kamar, namun jarang digunakan Daren. Ia lebih memilih tidur di sofa dengan ditemani suara televisi yang secara perlahan akan membawanya ke alam mimpi. Esok harinya, seperti yang sudah dijadwalkan Josh, Lily akan menjadi perwakilan dari perusahaannya untuk memantau perkembangan proyek baru dengan pihak Daren. Sudah sejak pagi, Lilly begitu bersemangat. Tidak pernah ia merasakan semangat yang kian menggebu seperti hari ini. "Sarapan apa kamu pagi ini?" Tanya Daniel, begitu mereka berdua bertemu di lift menuju lantai yang sama. "Roti isi," jawab Lily santai, sambil membetulkan rambut lewat pantulan dirinya di dinding lift. "Wajahmu cerah sekali pagi ini, tidak seperti biasanya." Daniel memajukan wajahnya, untuk memastikan. "Apanya yang berbeda? Bukankah setiap hari aku selalu tampak cantik?" Balas Lilly sambil mengibaskan rambut dengan tangannya. "Kamu terlalu percaya diri!" Cibir Daniel, tidak mau kalah. "Itu fakta! Lagipula siapa yang tidak menganggapku cantik. Paling cuman kamu, yang lain pasti akan mengakui kecantikanku." Daniel terkekeh geli, "Bukan hanya aku yang tidak tertarik padamu, tapi lelaki yang bersama Mr Reno pun sepertinya tidak tertarik padamu." Ejek Daniel dengan wajah jahil. Sontak Lilly menoleh, "So tau banget! Justru dia tertarik padaku!" Elak Lilly, meski sebenarnya Daren memang tidak pernah menunjukan ketertarikannya pada Lilly. "Mana mungkin dia tertarik, setiap kali kamu memandangnya dia pasti akan membuang muka." Daniel tergelak, yang semakin membuat Lilly kesal. "Aku akan buktikan padamu, jika lelaki itu benar-benar tertarik padaku!" "Coba buktikan. Jika kamu tidak berhasil sampai proyek kerja sama ini selesai, kamu harus mencium pantatku di depan semua orang." "Apa?!" "Takut?" Daniel justru balik menantang Lilly. "Tidak ada dalam kamus Lilly, takut dengan hal kecil seperti itu." Balas Lilly, sambil menepuk dadanya. "Baiklah, aku rasa kamu harus sedikit extra berjuang. Karena Mr Daren tidak menyukai perempuan." Bisik Daniel, sambil berlalu meninggalkan Lilly. Suara tawa Daniel masih terdengar hingga pintu lift tertutup. Lily segera menahan pintu agar ia tidak kembali terbawa ke lantai berikutnya. Ia segera berjalan keluar lift sambil mengelus kedua pergelangan tangannya yang tanpa sengaja terjepit pintu lift. "Aishhh, sialan!" Unpatnya. Mr Josh memberikan sedikit arahan sebelum Lilly pergi ke lokasi tujuan. Setiap paginya Lilly harus terlebih dulu ke kantor utama, sebelum menuju lokasi proyek. . "Sebelum menuju lokasi proyek, setiap paginya kamu harus datang ke kantor utama untuk melaporkan setiap perkembangan proyek." Ucap Mr Josh. "Kenapa harus setiap hari?" Keluh Lilly, karena lokasi kantor dan proyek cukup jauh, sementara tempat tinggalnya berada di tengah-tengah antara kantor dan lokasi proyek. "Kenapa tidak satu minggu sekali atau dua hari sekali." Tawar Lilly, dia merasa keberatan selain karena lokasi proyek yang cukup jauh, juga karena ia menghindari Daniel. Bujang tua itu semakin hari, semakin menyebalkan. "Kita butuh informasi dan laporannya setiap hari." Daniel ikut menimpali, lelaki bertubuh tambun itu memang menjadi satu-satunya orang kepercayaan Josh. "Iya, kita butuh informasi harian. Oleh sebab itu kamu harus membawa laporannya setiap hari." Lilly menatap Daniel dengan tatapan membunuh, sementara itu Daniel hanya mengangkat bahunya, acuh. "Lebih baik sekarang kamu bergegas pergi. Mr Daren tidak menyukai keterlambatan, dia sangat disiplin dan tepat waktu." "Baiklah," Lilly beranjak dari tempat duduknya, namun sorot tajam matanya masih tertuju pada Daniel. Lilly bergegas menuju kubikel miliknya, setelah merapikan pakaian dan riasannya ia akan segera pergi menuju lokasi proyek, diantar oleh supir yang disediakan pihak kantor. Sebenarnya Lilly memiliki mobil sendiri, namun ia tidak ingin semakin membuat dirinya tersiksa dengan harus bolak-balik antara kantor, rumah dan lokasi proyek. Ia harus menghemat sedikit tenaganya, karena membantah perintah Mr Josh, sama saja dengan menyerahkan. surat pengunduran diri. Tiba-tiba ponselnya berdering, membuat Lilly menoleh pada benda pipih yang masih tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya. Mom calling,,, Lilly menghela nafas sejenak sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau di layar. "Yes Mom,," "Apa kabar sayang,," suara nyaring yang begitu familiar di telinganya. "Baik, Mom." "Apa Mom mengganggumu?" "Aku kerja, Mom." "Baiklah. Mom hanya ingin memberitahumu, jika hari ini Ronald akan tiba di Jakarta." Deg,,, Ada gelenyar aneh yang mengalir kencang di jantung Lilly. "Mungkin siang ini dia akan sampai di apartemenmu. Untuk sementara kalian bisa tinggal bersama, setelah itu,," "Mom, aku sudah memiliki kekasih, aku tidak ingin kehadiran Ronald membuat kekasihku salah paham." Lilly berbohong, "Kamu sudah memiliki kekasih?!" Seru Eva, Ibu Lilly. "Kenapa tidak memberitahu Mom," keluh Eva "Kita baru saja saling mengenal satu sama lain, rasanya terlalu cepat jika harus memberitahu Mom." "Baiklah, tapi kamu harus janji secepatnya akan mengenalkan lelaki itu." Lilly hanya bergumam pelan menanggapi ucapan Ibunya. "Apakah dia tampan?" "Tentu! Aku tidak mungkin memacari lelaki jelek!" "Siapa namanya?" Lilly menepuk jidatnya, ia lupa jika sang Ibu akan berubah seperti seorang detektif jika menyangkut perihal lelaki yang tengah dekat dengannya. Lilly menggigit bibirnya, mencari nama yang cocok untuk dijadikan alasannya berbohong. Sekilas Lilly mengingat nama-nama teman kantornya, namun entah mengapa tidak ada satupun yang mampu diingatnya saat ini. "Siapa namanya?" Ulang Eva, "Namanya Daren!" Jawaban spontan Lilly, karena hanya nama itu yang mampu di ingatnya saat ini. "Nama yang bagus,, semoga sebagus orangnya.." "Mom, aku harus kembali bekerja. Bye,," Sebelum Eva semakin mengintrogasinya lebih jauh, Lilly segera mengakhiri panggilan secara sepihak. Meski setelahnya ia merasa tidak tenang. Lilly merasa tidak tenang bukan karena kebohongannya pada sang Ibu, tapi karena kedatangan Ronald yang selama ini dihindarinya. Dia adalah kakak tiri Lilly, sekaligus musuh terbesar di hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN