“Ay, kamu nggak perlu balas pesan itu. Apa pun yang terjadi sama Dira—itu bukan tanggung jawab kamu.” Kalimat itu sederhana, tapi berat. Aku tahu maksudnya baik— Mahendra ingin melindungiku, menguatkanku. Tapi tetap saja, pikiranku tidak bisa tenang. Kata-kata itu berputar-putar dalam kepalaku, mengusik setiap keputusan yang kucoba yakini. Sudah hampir setengah hari aku duduk di depan layar komputer, tapi tak satupun pekerjaan yang benar-benar selesai. E-mail hanya k****a sekilas, lalu ku abaikan. Draft desain yang harusnya aku kerjakan masih kosong, kursorku hanya berkedip-kedip menatapku balik, seolah bertanya— “Apa yang kamu pikirkan, Ayla?” Aku menyandarkan tubuh di kursi kerja, menatap langit-langit kantor yang putih dan membosankan. Tapi pikiranku jauh dari sini— tersangkut di rum

