Sumpah demi apa, Rhea sama sekali tidak menduga Genta akan segila itu mencelakai Sofie. Padahal kan mereka juga tidak saling kenal. Sedikit hal memalukan yang Rhea ingat adalah saat berdebat dengan mereka, lalu dia duluan nyosor mencium Genta. Pantas saja pria sinting itu jadi keranjingan. Ternyata memang benar, dirinya yang lebih dulu menggodanya. Tapi, darimana Genta tahu dimana bisa menemukan Sofie?! Sedang Rhea sangat yakin, mereka juga baru pertama kali bertemu semalam di klub. Itu pun juga tidak sengaja.
Masih dengan pikiran ruwetnya Rhea buru-buru pulang. Opanya akan langsung dimakamkan, setelah adiknya yang di Singapura tiba. Dia tidak memperpanjang debat dengan Lucky dan Sofie tadi. Membuat perhitungan dengan mereka, akan dia lanjutkan nanti setelah acara pemakaman selesai. Toh, mantan bestienya itu di rawat di rumah sakitnya. Akan ada banyak kesempatan untuk membalas.
Sampai rumah menjelang siang, Rhea langsung bergegas ke kediaman keluarga Lin setelah mengganti pakaiannya dengan kemeja hitam. Dua rumah megah berjajar itu sudah dipenuhi para pelayat. Suara isak tangis terdengar menyayat. Bukti nyata sebaik apa sosok teladan Jonathan Lin yang jadi panutan semua orang. Rhea duduk bersama Juna dan para sepupu lainnya.
“Kak Rhea …” panggil Erga mendekat dan menggelendot dengan wajah muram.
Dia adik bungsu Rhea. Mereka empat bersaudara. Erga sudah SMP sekarang. Sama seperti Thea, dia menuruni sifat papa mereka yang kalem dan anteng. Sementara Cello abang sulungnya, adalah yang Sofie olok sebagai anak haram papanya dari hubungannya saat muda dulu dengan bundanya Juna. Tidak ada yang disembunyikan. Semua orang juga tahu, kalau abangnya yang kini menduduki kursi pimpinan Pradipta Group itu, adalah anak dari hubungan diluar nikah papanya sebelum menikahi mamanya dulu. Dan semua orang juga tahu, meski begitu keluarga mereka hidup rukun berdampingan layaknya saudara. Percaya atau tidak, justru bunda Juna dulu ikut andil membantu mamanya dekat dengan papanya, sampai kemudian mereka menikah. Jadi jangan heran kalau keduanya malah bestian. Sasha Dewanti, bunda Juna yang luar biasa badas merupakan pengacara kondang.
“Kak Rhea tadi dicariin Bang Ello!” ucap Erga seketika Rhea pun nyengir.
“Mampus! Sukurin! Pasti nanti kena amuk sudah keranjingan keluyuran malam sampai lupa pulang!” ucap Juna yang dibalas Rhea dengan menoyor kepalanya.
“Diam, kamu!”
“Lain kali jangan bikin kita khawatir!” tegur Zehan, abangnya Juna.
“Hm,” angguk Rhea.
Percayalah, kalau sekarang sedang tidak dalam suasana berkabung, pasti dia sudah disidang oleh abangnya. Dicecar dengan pertanyaan seperti penjahat tertangkap diintrogasi. Tidak, Rhea tentu saja tidak marah. Justru dia bersyukur punya abang yang meski beda ibu, tapi sejak kecil sudah sayang banget ke dia, Thea, dan Erga. Abang Cellonya yang ganteng poll, berotak premium, juga punya karir cemerlang.
Ponselnya kembali berdenting. Rhea merogoh sakunya dan mendengus melihat lagi-lagi nama pria sinting itu yang nongol. Yang katanya mau tidur, tetap saja berisik.
“Ayang Bumi siapa, Kak?” tanya Erga yang nyaris membuat jantung Rhea mencelat. Mana suaranya cempreng lagi. Juna dan yang lain ikutan melirik mendengar nama nyeleneh itu.
“Teman kuliah Kak Rhea dulu!” jawabnya nyengir menyimpan lagi ponselnya, supaya pembahasan soal itu tidak berlanjut. Tapi, sialnya suara denting notif malah saling bersahutan. Rhea menggeram kesal. Bagaimana bisa dia tadi lupa membisukan ponselnya sebelum kesitu.
“Kak Rhea balas pesan dulu!” pamit Rhea ke adiknya.
Tidak enak hati dia pun menyingkir menjauh. Baru sehari dia sudah dibuat hampir ketularan sinting oleh kelakuan Genta.
“Bagaimana? Suka hadiahnya?”
“Kalau masih kurang, nanti sekalian aku patahkan lehernya. Biar tidak bisa ngoceh dan bikin ayangku kesal lagi.”
“Aku tadi mau tidur, tapi karena nyium wangimu di bantal dan selimut malah ingat lagi yang semalam. Jadinya kan bangun!”
Sialnya otak Rhea yang sudah jadi butek justru langsung nyambung ke kejadian tadi pagi, saat dengan tidak tahu malu Genta wira-wiri tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Bergidik geli merasakan yang dia bilang bangun itu menggeliat di pahanya, ketika mereka masih berpelukan di ranjang.
“Genta, sialan!” umpat Rhea pelan. Otak dan matanya benar-benar sudah tercemar.
Mata Rhea kemudian menyipit melihat kiriman beberapa video. Tanpa pikir panjang dia memutarnya. Ingatannya yang belum utuh tentang apa yang terjadi semalam, sekarang jadi gamblang setelah melihat video CCTV yang Genta kirim. Muka Rhea panas saking malu melihat kelakuan konyolnya saat mabuk. Dari sejak keluar ruang VIP tempat Soni ulang tahun, hingga kemudian ketemu Genta, lalu jatuh dan bersimpuh ngamuk di lantai. Bagaimana dia menggoda menggerayangi pria itu saat dibopong. Dan tentu saja pertengkarannya dengan Lucky dan Sofie, yang berakhir dia mencium Genta dengan liarnya.
“Kamu kenapa bisa setotol itu sih, Rhea?!” ratapnya memukul kepala sendiri. Dia bahkan koar-koar pamer Genta adalah pacar barunya.
Duduk di bangku samping lapangan basket halaman depan, Rhea menatap dengan kepala puyeng lalu lalang para tamu di sana. Baginya hari ini benar-benar terasa berat. Begitu banyak masalah, pekerjaan yang menumpuk, dan juga kehilangan sosok berharga. Dia tahu, tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya tidaklah main-main. Tapi, mamanya begitu yakin dia sanggup memikulnya.
Mata Rhea memburam panas saat mendapati sosok papanya, yang sedang berdiri mengobrol dengan teman-temannya. Rasa bersalah menyeruak sampai rasanya begitu sesak. Akan sehancur apa hati mereka, kalau tahu apa yang sudah dia lakukan semalam. Dia sendiri yang segoblok itu menyerahkan kehormatannya ke Genta. Meski pria itu ngotot mau bertanggung jawab, tapi dia ogah terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
“Rhe …”
Menoleh, Rhea buru-buru mengusap air matanya melihat abangnya mendekat. Pasti bakal dicecar pertanyaan dan diomeli.
“Kenapa malah bengong melamun di sini? Kamu nangis?” tanya Cello. Abang Rhea yang beneran ganteng banget.
“Ingat Opa Lin. Rasanya kehilangan banget,” jawab Rhea dengan suara parau. Dia tidak bohong. Tadi melihat wajahnya yang meninggal dengan tersenyum, rasanya tidak percaya kakek penyayang itu sudah tidak ada.
“Opa sudah berumur sembilan puluh tahun. Sejak kena stroke, kondisinya memang terus menurun. Setidaknya dia pergi dengan bahagia, karena semua keinginan terakhirnya sudah terpenuhi.” Cello juga tampak terpukul, sangat! Masih ingat dulu dia diberi hadiah anak kucing bengal yang dinamai cilok. Sampai sekarang masih ada keturunanya.
“Rhe …”
“Iya …”
“Abang tahu kamu sudah cukup dewasa untuk bergaul layaknya gadis seumuranmu. Abang juga paham, sedikit banyak kamu pasti tertekan dengan tanggung jawab berat yang sekarang kamu emban. Tapi ingat, harus pandai-pandai jaga diri! Jangan sampai mengecewakan papa dan mama! Mereka menaruh harapan besar, kamu dan Thea bisa sukses di kemudian hari. Ngerti!” Cello yang juga duduk di sebelah Rhea menepuk bahu adiknya.
“Ngerti,” angguk Rhea, tapi dalam hati menangis dalam sesal. Takut, kesalahannya semalam akan jadi awal kekecewaan mereka.
“Mama tadi sudah cerita ke Abang dan papa, katanya semalam kamu menginap di tempat temanmu yang mabuk. Jangan diulangi, ya! Apalagi ponsel mati tidak bisa dihubungi, sampai bikin papa dan mama kelimpungan mengkhawatirkan anak perempuannya yang belum pulang!” ucap Cello yang tidak tega mau ngomel, setelah melihat muka lelah dan mata sembab adiknya.
“Hm.” Lagi-lagi Rhea mengangguk.
“Masih lembur terus?”
“Masih. Ini nanti selesai pemakaman aku juga balik lagi ke kantor. Pekerjaanku numpuk, Bang!”
Cello yang merasa iba merangkul bahu adiknya. Kasihan karena belum lama masuk, malah sudah diberi tanggung jawab seberat itu.
“Papa sedang membujuk mama, supaya kamu diizinkan tinggal di apartemen yang dekat rumah sakit. Kalau tinggal di sana kan kamu tidak perlu berangkat pagi-pagi. Pulang larut pun, kamu tidak usah harus menyetir setengah jam lebih untuk sampai rumah.”
“Terus, sama mama diizinkan?” Rhea tampak berharap. Iya, kalau tinggal di apartemen mamanya yang dekat banget dengan rumah sakit, tentu akan mengurangi lelahnya.
“Mama belum jawab. Masih trauma soal Thea kemarin yang malah kecantol benalu mokondo, kena mental, dan sering dipukuli.,” jawab Cello nyengir melihat adiknya kecewa.
“Tolong bantu bujuk mama dong. Bang! Mama sama papa kan biasanya paling dengerin apa kata Bang Ello. Ya?” rajuk Rhea memeluk abangnya yang tertawa.
“Iya, nanti malam aku coba bicara dengan mama.”
“Bang Ello terbaik!” Rhea tersenyum lebar.
Tak lama mereka beranjak masuk, karena jenazah opanya akan segera diberangklatkan ke pemakaman. Tangis mereka pecah harus melepas orang paling baik itu pergi selamanya.