Vijf

1558 Kata
Selamat sore. Bagaimana hari kalian? Pasti sibuk sekali. Bagaimana tidak sibuk? Atasan kalian sedang hilang tanpa jejak. Hahaha. Menyenangkan sekali mengerjai sebuah perusahaan besar seperti kalian. Baiklah, aku tidak ingin menambah kesibukan kalian dengan menulis hal-hal yang tidak penting. Rangga Aryasetia. Pimpinan tertinggi perusahaan kalian, sedang bersamaku. Tenang saja, ia terlihat sehat dan bugar. Aku tidak akan menyentuhnya sesenti pun. Tapi, kalian harus memenuhi permintaanku. Aku meminta uang tebusan sebesar 2.001.071.300 Rupiah. Pastikan tidak kurang walau sepeser. Siapkan uang itu dalam 1x24 jam. Setelah 24 jam dari sekarang, aku akan mengirimkan titik koordinat lokasi di mana uang tebusan itu harus diletakkan. Sampai jumpa! Begitulah isi surel anonim tersebut. “Panggil polisi siber!” Hans memekik. “Siap, Pak!” Jawab Jen cepat. Ia segera mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Menyentuh-nyentuhnya cepat, berbicara cepat dan tegas. Semua orang di ruangan itu tampak bersemangat, atau justru sedang tertekan? Entahlah. Yang pasti, surel yang masuk ke ponsel Adit berhasil mengubah atmosfer keadaan. “Email ini baru saja masuk?” Hans bertanya. Tangannya menggenggam erat ponsel Adit. “Iya. Coba cek jam pengirimannya…” Adit mendekat, ikut mengintip layar ponselnya. “Eh?” Seketika matanya terbelalak. “Karena itu aku bertanya. Email ini tidak ada waktu pengirimannya.” Hans menyerahkan ponsel Adit. Menyedekapkan tangan di depan d**a. Situasi ini cukup sulit, karena sepertinya lawan mereka lumayan lihai. “Bagaimana bisa?” Adit mengernyit. Ini sangat janggal. “Entahlah. Kita tunggu hasil penyelidikan polisi siber dulu. Mereka sedang menuju kemari.” Setelahnya, Hans segera menghubungi Renaldi. Laki-laki separuh abad itu datang bersama dua orang ajudannya sepuluh menit kemudian. Mereka sudah berpindah tempat. Bukan lagi di ruang interogasi. Ruangan itu terlalu pengap untuk diisi banyak orang. “Ini isi dari email yang sepertinya dikirimkan oleh si pelaku." Hans menyodorkan selembar kertas berisi hasil cetak dari surel yang diterima Adit tadi. Sesaat sebelum seorang polisi siber meminjam ponsel Adit untuk diselidiki, Hans sudah mencetak surel tersebut. Renaldi menatap kertas itu lamat-lamat. Wajah tuanya tampak kuyu. Keriputnya jadi terlihat jelas. Ia mengusap wajahnya gusar. "Kenapa bisa jadi seperti ini?" Bisiknya putus asa. "Keputusan untuk menyediakan uang tebusan, sepenuhnya di tangan Anda. Entah apa motif si pelaku menggunakan cara klasik seperti ini. Tapi, jika kita menuruti kemauan si pelaku, saat titik koordinat untuk meletakkan uang itu kita terima, polisi akan segera bergerak. Saya yakin bisa menangkap pelaku itu." Ujar Hans mantap. "Ah, ini email, 'kan?" Wajah Renaldi tiba-tiba cerah. "Bukankah kalian bisa menyelidiki lokasi si pelaku dari akun emailnya?" "Betul sekali. Itu yang sedang kami lakukan sekarang." Hans tersenyum bangga. "Hah, syukurlah. Kalau identitas si pelaku bisa diketahui dari akun emailnya, kalian bisa langsung menangkapnya 'kan?" Renaldi berapi-api. Merasa mendapatkan hoki. "Yap. Saat ini rekan saya, Jen sedang bersama para polisi yang siap bergerak begitu mendapat informasi dari polisi siber.  Polisi yang sedang berpatroli juga sudah mendapatkan perintah tugas, mereka sudah bergerak. Pelaku itu bisa ditangkap kurang dari 30 menit setelah lokasi dan identitasnya diketahui." Suara Hans mantap. Terasa sekali kepercayaan dirinya yang memang selalu kentara itu. Renaldi tersenyum puas. Ia yakin sekali keponakannya akan segera ditemukan. "Tapi…" Hans kembali bersuara. "Ya?" "Itu skenario jika identitas dan lokasi si pelaku berhasil dilacak." "Jika tidak?" Renaldi mengejar tak sabar. Dahinya mengernyit. Menambah berlipat keriputnya. Hening sesaat. Hans menghela nafas. Tangannya saling meremas. "Jika tidak, kita harus mengikuti kemauan si pelaku. Menyediakan uang tebusannya, mendatangi lokasi yang disepakati." Renaldi memijit pelipisnya. Ini akan rumit jika polisi siber benar-benar tidak bisa melacak si pelaku. Bukan, ini bukan soal uang tebusan dengan jumlah yang cukup fantastis itu. Dua Miliar Rupiah bukan apa-apa jika dibandingkan dengan keuntungan perusahaan dalam sebulan. Namun, jika sampai terjadi sesuatu pada Rangga, perusahaan akan menghadapi konflik yang sangat pelik. "Pak Hans!" Seorang laki-laki mengenakan kaos hitam mendekat. Seruannya membuyarkan lamunan Renaldi. "Bagaimana?" Hans bertanya antusias. Renaldi segera mengerti siapa laki-laki itu. Laki-laki itu menggeleng. Wajahnya sedikit menyiratkan putus asa. "Tidak bisa dilacak." "Apa?!" Hans berdiri seketika. "Sebentar, Pak." Ia menoleh sekilas pada Renaldi. Kemudian berlalu pergi bersama laki-laki yang baru datang itu. "Itu akun anonim, Pak. IP Address-nya tidak bisa dilacak. Kami menemui jalan buntu." Laki-laki berkaos hitam itu menjelaskan. Wajahnya pias. Ini kasus yang jarang terjadi. "Bagaimana bisa?" Hans mendesis. "Umumnya kami bisa melacak satu akun email dalam waktu kurang dari 30 menit, tapi ini sudah lebih dari satu jam. Bahkan sekalipun jika lebih dari ini…" Laki-laki itu menggeleng putus asa. "Sepertinya tetap tidak bisa." Hans mendengus. Kepalanya pening seketika. "Sama sekali tidak ada petunjuk?" "Tidak ada, Pak." "Selidiki ulang!" Hans memberi perintah. Wajahnya gusar. Ia tak mungkin menyerah begitu saja. Ia yakin pasti ada celah. "Siap, Pak." Laki-laki itu memberi hormat kemudian berlalu. Hans menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri. Ini benar-benar akan menjadi pekerjaan yang rumit. "Bagaimana?" Renaldi memburu begitu Hans mendekat. Laki-laki bule itu tak segera menjawab. Ia memilih duduk lebih dulu kemudian membiarkan dirinya tenang. "Kita jalankan rencana kedua." Ujarnya mantap. *** Dinding sebelah kiri tempat Rangga berbaring berdesing. Laki-laki itu mendengus. Ia mulai terbiasa dengan suara tersebut. Di tempat ini, tak ada suara selain suara yang ditimbulkan olehnya dan suara desing lift kecil itu. "Ck, kali ini apa lagi yang dia kirim?" Rangga berdecak. Melipat koran yang sepuluh menit lalu dikirimkan lewat lift kecil itu. Rangga beringsut mendekati lift. Menunggunya terbuka. Kehebatan lift kecil itu jadi hiburan tersendiri buatnya. Terbuka dan tertutup secara otomatis. Belum lagi benda-benda yang dibawanya, selalu membuat Rangga penasaran. Kecuali alat makan, ia mengumpulkan semua benda-benda yang dibawa lift kecil itu. Mencoba menemukan sesuatu. Mungkin petunjuk siapa pelaku dibalik semua ini atau celah dari ruangan ini yang bisa membawanya kabur. Ting! Lift kecil itu terbuka. Di dalamnya, tergeletak setelan piyama warna biru tua dan selembar kertas. Mandilah lalu ganti bajumu dengan ini. Begitu kalimat yang tertulis di sana. Rangga bergegas merenggut setelan piyama itu. Satu set piyama polos warna biru tua, tanpa label merk. "Sial!" Ia melempar setelan piyama tak bersalah itu ke kasur. Nafasnya tersengal. Bukan karena lelah, lebih karena kesal dan merasa kalah. Ia tak menemukan sedikitpun celah. Di tengah keputusasaannya, mata Rangga melirik koran yang terlipat di samping bantal. Segera ia meraihnya, mengecek tanggal di pojok kanan atas. "16 April?" Gumamnya. Ini janggal. Ia yakin sudah melewati lebih dari 20 jam di ruangan ini. Artinya, seharusnya hari ini adalah tanggal 17 April. "Atau… ini koran kemarin?" Rangga mengernyitkan dahi. Menimbang-nimbang koran di tangannya. Saat ini, keberadaan koran sudah hampir punah. Selain karena teknologi yang semakin canggih, juga karena harga koran melambung tinggi. Berbanding lurus dengan kelangkaan sebagai bahan utama mencetak koran. Jadi, bisa dipastikan, hanya segelintir orang yang masih berlangganan koran pagi saat ini. "Pertama…" Rangga mengetuk-ngetukkan jarinya ke koran. Sebenarnya, ia butuh alat tulis. Ia perlu meluruskan benang kusut di dalam kepalanya. "Mungkin dia adalah orang 'dulu'?" Ia memiringkan kepala. Sedikit tidak yakin dengan dugaannya. "Biasanya orang yang terbiasa membaca buku atau koran akan sulit beralih ke gadget." Ia mengangkat bahu. Tak terlalu peduli dengan opininya sendiri. Rangga terus mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya. Mencoba menguraikan kembali isi kepalanya. "Kedua, pasti dia orang kaya." Rangga membolak-balikkan koran di tangannya. "Untuk berlangganan koran ini sebulan, setidaknya dia harus membayar seharga satu buah ponsel pintar dengan spesifikasi standar. Tidak mungkin orang menengah ke bawah mau buang-buang uang hanya untuk baca berita." Ia menggeleng kemudian mengangguk. Setuju dengan opininya kali ini. "Lalu, kalau aku disuruh mandi dan ganti baju, artinya sekarang sudah pagi dan berganti hari. Hm… alih-alih memberi koran hari ini, dia justru memberi koran kemarin?" Rangga mengernyit. "Mungkin sekarang masih sangat pagi. Subuh?" Ia lagi-lagi memiringkan kepala. "Bisa jadi." Rangga mengangguk-angguk. Rangga menghela nafas. Merebahkan dirinya di atas kasur. Meletakkan koran dan setelan piyama di meja. Membiarkan matanya menatap lurus ke langit-langit. Isi kepalanya terus berkecamuk. Banyak sekali dugaan dan pertanyaan yang menggema di dalam sana. "Siapa sebenarnya yang melakukan semua ini? Orang-orang yang membenciku banyak. Pasti salah satu di antara mereka." Ya, Rangga sangat memahami posisinya. Orang-orang yang tidak menyukainya berkeliaran di sekitarnya. Mengincar titik lemahnya,  menunggu saat yang tepat, kemudian masuk dan menyerang. Dan saat setelah pesta kemarin adalah waktu yang tepat. Saat ia lengah dan lelah, saat ia berada di luar rumah, saat ia merasa pertempuran belum dimulai. "Terlalu banyak kemungkinan." Rangga memejamkan mata. Memiringkan posisi tubuhnya. Satu menit, dua menit, hingga lima menit berlalu Rangga masih terpejam. Namun tiba-tiba kelopak matanya terbuka. Alisnya bertaut. "Ruangan ini… tadinya untuk apa, ya?" Bibirnya menggumam satu pertanyaan. "Lalu, bagaimana dia membawaku ke sini tanpa membangunkanku? Dibius? Dia masuk kamar hotel lewat mana? Lewat pintu depan atau lewat balkon? Kenapa dia belum tertangkap? Bukankah kalau dia tertangkap, pasti aku sudah ditemukan?" Kerutan di kening Rangga semakin berlipat. Bola matanya bergerak ke sana kemari. Tangannya mengepal kuat. "Aaaaakh!" Rangga menggeram. Tinjunya berdebam di kasur. Ia mengacak-acak rambutnya kesal. Rangga bangkit dari tidurnya, duduk di tepi kasur. Matanya menyapu seluruh ruangan. Situasi ini sangat sulit. Ia sangat frustasi. Sendirian di ruangan yang sepi, tanpa pintu dan jendela. Ia juga tak bisa melihat matahari, bulan, apalagi bintang. Tak ada suara binatang, bahkan tak ada suara detik jam. Di dalam ruangan itu tak ada satupun petunjuk waktu. Ia tak tahu kapan pagi, siang, bahkan malam. Suhu di ruangan itu juga cukup stabil, entah bagaimana caranya. Mungkin ada pengatur suhu yang disembunyikan entah di mana. Rangga terus menduga-duga apa yang terjadi, menebak-nebak siapa pelakunya, pun memikirkan cara untuk kabur. Tapi semuanya buntu. Tak ada jawaban. Ia hanya bisa berspekulasi. Merangkai petunjuk-petunjuk yang ada. "Aaaaakh, ini sangat memuakkan!" Rangga berteriak histeris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN