Sudah siap uang tebusannya?
Jika kalian mau atasan kalian selamat, seharusnya uang itu sudah siap. Besok, bawa uang itu ke tempat ini.
-6.200842, 106.81575
Itu adalah titik koordinat tempat kalian harus membawa uang itu. Naiklah kereta yang menuju ke arah timur dengan jam keberangkatan pukul delapan pagi. Perhatikan pemandangan di sisi kanan kereta, kalian akan melihat sebuah bendera putih. Lemparkan uang itu ke sana. Aku tidak bilang di mana tepatnya bendera itu berada, jadi perhatikanlah sejak detik pertama kereta itu melaju. Lalu, terserah kalian mau membawa berapa polisi, aku tak peduli. Kalian takkan bisa menangkapku.
PS. Pastikan jumlah uangnya sesuai permintaanku.
Dua puluh empat jam sudah berlalu sejak surel berisi permintaan uang tebusan itu masuk. Seperti yang dijanjikan si pelaku, sebuah surel anonim kembali masuk.
Brak!
Hans menggebrak meja. Ia geram bukan main. Ini pertama kalinya ia merasa dipermainkan oleh pelaku kejahatan.
“Tenang, Pak.” Jen berusaha menenangkan. “Saya juga kesal, sombong sekali dia!” Tiba- tiba Jen ikut bersungut-sungut. “Ah, tapi, Pak. Bukankah kita perlu tahu titik koordinat ini terletak di mana?”
“Ah, benar! Maafkan aku, Jen.” Hans kembali melihat layar ponsel Adit yang sejak tadi di genggamnya.
“Tidak apa-apa, Pak.”
Jemari Hans bergerak di atas keyboard komputer. Memasukkan angka-angka yang tertera di dalam surel ke mesin pencarian online.
Klik.
“Stasiun?” Hans mengernyit.
“Tempat itu di stasiun?” Adit mendekat. Wajahnya ikut penasaran. Ia melongok ke layar komputer.
“Saya pikir dia akan memilih tempat yang lebih sepi.” Jen bergumam.
Ini aneh.
“Gimana kalau sekarang kita ke kediaman Pak Renaldi?” Hans tak berlama-lama dengan fakta itu. Kepalanya segera berproses untuk menyusun rencana baru.
“Oke.” Adit mengangguk mantap.
“Kamu di sini, Jen. Siapkan paling sedikit 20 petugas untuk ikut dengan kita besok. Aku dan Adit akan ke kediaman Pak Renaldi setelah ini.” Hans memberi tugas.
Jen mengangguk. Ia bergegas keluar ruangan. Menyusuri koridor dengan langkah lebar hingga setengah berlari. Tujuannya kali ini adalah ruang komisaris besar polisi. Rencana ini tidak boleh gagal. Pelaku tak dapat dilacak secara online, maka menemuinya secara langsung sesuai keinginannya adalah satu-satunya cara.
“Pagi, Pak.” Jen membuka pintu bercat cokelat. Kemudian berdiri tegap di depan meja.
“Pagi, Jen.” Laki-laki berkumis tebal itu tersenyum tipis. Menghentikan pekerjaannya sejenak. “Ada apa?”
Jen mendekat. Mengutarakan maksudnya. Laki-laki berkumis itu mengangguk beberapa kali.
“Oke. Surat tugasnya akan keluar sebelum tengah hari. Tunggu saja.”
“Terima kasih, Pak.” Jen tersenyum. Pilihan tepat langsung menemeuinya.
“Katakan saja jika butuh sesuatu.”
“Siap, Pak!” Jen mengangkat tangannya, menyentuhkan ujung jemarinya ke pelipis. Posisi tubuhnya berada dalam sikap siap.
Laki-laki berpangkat tinggi itu tersenyum. “Kembalilah! Kasus ini harus berakhir baik untuk kita. Jangan biarkan si pelaku lolos.” Suara baritonnya memenuhi ruangan.
“Tentu saja! Kami takkan membiarkan pelaku itu tidur nyenyak.” Jen menepuk dadanya bangga. Kemudian ia membungkuk sejenak, undur diri.
Persiapan pertama sudah selesai.
Jen menghubungi seorang petugas polisi yang sedang berpatroli di dekat titik koordinat itu.
“Pagi, Pak!” Sapa Jen begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Ada apa?” Suara laki-laki di seberang telepon menjawab. Suaranya sedikit tenggelam di antara suara bising kendaraan bermotor.
“Sedang berpatroli, Pak?”
“Tentu saja! Kau pikir?” Entah kenapa nada bicaranya jadi terdengar menyebalkan.
Jen mengangkat bahu, tak peduli.
“Setelah selesai berpatroli, tolong datang ke stasiun di dekat sana. Pelaku terkait kasus CEO Aryuda Food meminta kami meletakkan uang tebusan di sana besok. Tolong awasi area itu. Laporkan jika ada tanda-tanda orang mencurigakan."
"Sekarang kau memerintahku?"
"Haaaah…" Jen menghela nafas. "Terserah kau sajalah! Yang pasti, soal ini akan kulaporkan."
"Soal apa?" Suara di seberang terdengar menantang.
"Soal seorang petugas polisi yang menolak bekerja sama dengan tim khusus untuk menangkap pelaku kriminal."
"Hei! Mana bisa begitu?!
"Tentu saja bisa!"
Petugas polisi yang ditelepon Jen terdengar mendengus. Pasti ia sedang kesal. Ah, ia selalu kesal setiap kali berurusan dengan Jen.
"Baiklah, baiklah. Aku hanya perlu mengawasi stasiun itu 'kan,?"
Jen tersenyum. "Iya."
"Seluruh stasiun? Tidak ada tempat spesifik? Yang benar saja!"
"Berkendaralah pelan-pelan di sepanjang sisi selatan stasiun. Laporkan jika ada pergerakan yang mencurigakan atau mungkin jika ada bendera putih itu sudah ditancapkan di suatu tempat."
"Sepanjang sisi selatan? Seberapa jauh dari stasiun?”
“Pertama, masuklah dulu ke stasiun. Perhatikan jika ada pengunjung yang mencurigakan. Kemudian jika tidak ada, lakukan seperti yang kukatakan tadi.”
“Oke, siap. Sampai kapan harus kuawasi? Aku sedang tidak senggang."
"Sampai aku dan Pak Hans datang."
"Baiklah."
Telepon terputus. Jen menghela nafas. Melanjutkan perjalanannya.
Petugas polisi yang berbicara di telepon dengan Jen tadi bernama Roni. Laki-laki itu dulunya dekat dengan Jen. Sayangnya, kedekatan mereka berubah menjadi permusuhan setelah sebuah kejadian menyedihkan.
Roni menaruh perasaan pada Jen. Dan ia tak tinggal diam. Roni mengungkapkan perasaannya pada Jen di tahun kedua Jen bergabung dengan tim khusus. Jen yang masih terlalu kecewa dengan kisah cinta masa lalunya dan sangat sibuk dengan pekerjaan barunya langsung menolak pernyataan cinta Roni tanpa pikir panjang. Rupanya, laki-laki itu sakit hati. Hatinya terluka teramat dalam.
"Masa dia masih sakit hati?" Jen bergumam. Kepalanya menggeleng, bahunya terangkat. "Entahlah!"
***
"Pak, Anda 'kan punya banyak kenalan polisi siber?" Jen memecah hening. Ia dan Hans sedang dalam perjalanan ke titik koordinat yang dimaksud pelaku.
Hari ini, sesuai perjanjian, mereka mendatangi tempat perjanjian. Lebih dari 20 petugas polisi bekerja sama melakukan penyamaran. Tiga puluh menit lalu, tim pertama sudah tiba di sana. Menyamar menjadi tukang parkir, pengunjung, hingga karyawan swalayan. Mereka menerima satu tugas, mengawasi pergerakan yang mencurigakan.
"Maksudmu?" Hans menoleh sekilas. Ia sedang menyetir.
"Ahli di bidang siber, bukankah Anda punya banyak kenalan?"
"Ya, lalu?"
"Kenapa kita nggak coba minta bantuan mereka? Mungkin ada yang bisa melacak si pelaku. Yah, kita 'kan tahu teknologi di negara kita berkembang sedikit lebih lambat daripada negara maju."
Hening. Jen menoleh, penasaran kenapa atasannya tak menjawab.
Ia terbelalak. Terkejut melihat ekspresi Hans. Rahang laki-laki itu mengetat. Dahinya mengernyit. Bibirnya bungkam.
Jen menelan ludah. "Apa saya salah bicara, Pak?"
Hans menoleh. Tatapan matanya tajam. "Tentu saja. Kamu meragukan kemampuan polisi kita?"
"Ah, bukan begitu maksud saya, Pak." Jen segera mengklarifikasi ucapannya. "Maksud saya…"
"Kemampuan polisi kita tidak perlu diragukan, Jen. Setara dengan mereka. Dan untuk kasus kali ini, meski mereka belum bisa menemukan identitas si pengirim surel, mereka tidak menyerah, Jen."
"Baik, Pak."
Ban mobil Hans berbelok. Memasuki area parkir stasiun. Mobil terus melaju pelan. Mencari posisi yang pas untuk berdiam diri sembari menunggu pemiliknya menyelesaikan tugas.
"Anda sudah datang, Pak?" Seorang petugas polisi yang menyamar sebagai tukang parkir menyapa.
"Bagaimana?" Hans keluar dari mobil. Merapikan jaket kulitnya.
"Belum ada tanda-tanda mencurigakan." Laki-laki itu menggeleng. Penampilannya yang biasanya gagah di balik balutan seragam polisi, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Kaos oblong yang dibalut rompi warna hijau cerah, celana kumal, topi kusam, sukses mengubah tampilannya. Takkan ada yang menyadari bahwa ia sebenarnya adalah seorang petugas kepolisian.
Hans menghela nafas. "Kemarin juga begitu. Sebenarnya bagaimana dia bergerak?" Gumamnya.
Kemarin, saat Roni tiba di stasiun ia tak menemukan apapun yang mencurigakan. Hingga sekitar satu jam kemudian ia berkendara bolak-balik di sepanjang sisi selatan stasiun, tetap tak ada satupun hal yang mencurigakan. Sepulangnya Hans dan Jen dari area sekitar stasiun, tiga orang petugas polisi ditugaskan memeriksa dan mengawasi area tersebut. Mereka mengawasinya hingga matahari terbenam, namun hasilnya nihil. Mereka tak menemukan apapun.
Awalnya, mereka berpikir bahwa mereka salah lokasi. Namun, hari ini kecurigaan mereka terbantahkan.
Jen dan lima belas orang polisi yang sudah menyamar menaiki sebuah kereta persis sesuai perintah si pelaku. Sementara Hans dan tiga orang polisi berada di dalam mobil yang siap meluncur setelah mendapat laporan dari Jen tepatnya lokasi bendera putih itu berada. Sebelum berangkat, Hans, Jen dan beberapa petugas polisi sudah dilengkapi alat komunikasi khusus. Dalam penggunaannya, alat itu membutuhkan sedikit gerakan namun efektif mempercepat komunikasi.
Jen mengenakan celana jeans, kemeja lengan pendek, menggendong ransel di punggung, dan menenteng sebuah tas. Sekilas, ia terlihat seperti seorang wanita biasa. Namun siapa sangka, tas yang ia bawa berisi uang miliran rupiah.
Seorang petugas polisi yang menyamar sebagai pekerja kantoran tampak sedang berbicara dengan pramugari kereta api. Setelah berbincang sejenak, pramugari itu mengajaknya ke kabin masinis. Kereta belum berangkat, masih ada waktu lima menit lagi. Ia mendapat tugas untuk menyampaikan maksud mereka menaiki kereta tersebut dan meminta bantuan agar saatnya nanti pintu kanan gerbong kereta tiga dibuka sejenak.
“Baiklah, itu permintaan mudah.” Masinis itu mengangguk. “Tapi pastikan saat itu terjadi, tidak ada satupun penumpang yang berada di sekitar pintu kecuali petugas kalian.”
“Baik, Pak. Itu juga permintaan yang mudah.” Laki-laki berkemeja itu tersenyum.
Ia mundur selangkah setelah mengucapkan terima kasih. Tangan kanannya menekan bagian belakang telinganya.
“Persiapan sudah selesai!” Bisiknya. “Ketika saatnya tiba, pastikan ada petugas yang berjaga di dekat pintu agar tidak ada penumpang yang mendekat. Bagaimanapun, membuka pintu kereta saat kereta sedang melaju itu berbahaya.” Ia melirik masinis di hadapannya. Masinis itu terlihat puas, ia mengangguk-angguk.
Tepat setelah laki-laki berkemeja itu memutus alat komunikasi, pengeras suara stasiun terdengar menggema. Memberitahukan bahwa kereta yang sedang mereka tumpangi akan segera berangkat.
Jen berusaha duduk dengan tenang. Ini bukan pertama kalinya ia berada dalam penyamaran. Namun, harus ia akui bahwa misi kali ini memang cukup berbahaya.
Jen menarik nafas dalam, ia melirik jam tangannya. Pukul delapan tepat. Roda kereta mulai bergerak di atas rel. Jen melirik petugas polisi yang berada di sekitarnya. Semua sudah dalam posisi siap.
Satu menit berlalu, kecepatan kereta mulai meningkat dengan stabil. Matanya awas menatap pemandangan di sisi kanan jendela kereta.
Dua menit berlalu, Jen berdiri, tersenyum pada orang di sebelahnya, melangkah santai ke arah pintu kereta. Matanya masih awas. Empat orang petugas polisi lainnya menyusul. Gerakan mereka natural dan minim, tak ada satupun penumpang yang terlihat curiga. Semua sedang sibuk bermain gadget, membaca buku, atau sekedar melihat pemandangan di luar jendela.
Tiga menit berlalu, detak jantung Jen mulai berdegup kencang. Ia sudah berdiri di ambang pintu. Satu meter dari tempatnya berdiri, seorang petugas polisi terlihat sedang bersandar ke dinding kereta. Tangannya terlihat sibuk memainkan gadget. Padahal telinganya sedang siaga menerima perintah.
Empat menit berlalu, itu dia! Jen bisa melihat bendera putih itu berkibar di sisi kanan kereta. Di dekat semak belukar, beberapa ratus meter sebelum memasuki area perumahan penduduk. Masih cukup jauh. Lokasi bendera itu tak terlalu mencolok. Cenderung tersembunyi karena terhalang berbagai macam tumbuhan. Tapi Hans pasti mudah menemukannya.
Jen menyentuh belakang telinganya. “Dua kilometer dari pintu keberangkatan, dua ratus meter sebelum rumah penduduk, dekat semak belukar.” Bisiknya.
Beberapa ratus meter lagi sebelum mencapai lokasi bendera putih itu. Jantung Jen berdegup sangat kencang, mendekati angka seratus kali permenit. Alat komunikasinya belum dimatikan. Ia siap memberi perintah pada petugas polisi di kabin masinis.
Jarak semakin terpangkas. Tangan Jen sudah siap melempar tas di tangannya. “Sekarang!” Desisnya.
Pintu kereta terbuka.
Srak! Bruk!
Tas itu sudah mendarat di dekat bendera putih.
Pintu kereta kembali tertutup. Jen terduduk. Seluruh tubuhnya lemas. Ini misi yang cukup berbahaya.
“Anda tidak apa-apa?” Petugas polisi yang berjarak satu meter dengannya mendekat.
Jen mengangguk. Mengusap wajahnya yang pias. Sekarang, tugasnya sudah selesai. Ia telah mengestafetkannya pada Hans.