Zeven

1553 Kata
"Pak, kenapa kita tidak mencari bendera putih itu sembari menunggu info dari Jen?" Seorang petugas polisi yang duduk di sebelahnya bertanya. "Tidak." Hans menggeleng. "Pertama, itu membuang-buang waktu. Kedua, jika ternyata lokasinya dekat sementara kita sudah berkendara terlalu jauh, akan memakan waktu sampai kita bisa kembali ke tempat awal." Petugas polisi itu mengangguk. Setuju dengan penjelasan. Tiba-tiba, alat komunikasi di telinga Hans berdenging. "Dua kilometer dari pintu keberangkatan, dua ratus meter sebelum rumah penduduk, dekat semak belukar." Suara Jen terdengar. Informasi yang ringkas namun jelas. Hans segera menyalakan mesin mobil. Tak lama setelah itu, Jen kembali berseru. "Sekarang!" Brum! Hans menginjak gas, memacu mobilnya cepat. Bannya menggilas aspal, meninggalkan bekas hitam. Jarum speedometer di hadapannya terus bergerak. Dua menit, ia hanya butuh dua menit untuk sampai ke lokasi yang diberitahu Jen lewat alat komunikasi. Ckiiit! Ban mencengkram aspal, menimbulkan asap tipis. Hans menginjak rem. Odometer sudah bertambah digitnya. Saatnya berhenti. Hans melepas sabuk pengaman cepat, mengambil pistol di dashboard mobil, mengisinya dengan peluru. Tiga orang yang bersamanya ikut bergerak cepat. Meloncat keluar mobil. Mereka berhamburan ke pekarangan di sisi kiri mobil. “Cari bendera putih!” Hans memberi perintah dengan berbisik. Semua mengangguk cepat, kemudian berpencar. Waspada jika ada orang selain mereka. Mereka bergerak dengan cepat namun sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Tak butuh waktu lama. Seorang petugas polisi berseru. “Ketemu!” “Kenapa teriak?” Hans menegur. Raut wajahnya tak suka. “Ah, maaf, Pak. Lagipula sepertinya tak ada siapapun selain kita di sini.” Ia celingukan. Hans tertegun, ikut mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar. Tak ada siapapun di sekitar sini selain mereka. Bahkan, tanda-tanda baru saja didatangi seseorang pun tak ada. Bendera putih itu adalah sebuah kain berwarna putih yang sepertinya dirobek paksa kemudian diikatkan pada sebatang ranting. Ranting itu ditancapkan pada batang pohon pisang yang sudah ditebang. Hans mengambil bendera putih itu. Memberikannya pada salah seorang petugas polisi. “Simpan ini sebagai barang bukti.” “Siap, Pak!” “Cari tas yang dibawa Jen tadi.” Hans memberi perintah selanjutnya. *** Ting. Lift kecil di tepi tempat tidur Rangga berdenting. Pintunya terbuka. Rangga yang sedang memejamkan mata seketika terbangun. Duduk termangu, menanti sesuatu di balik pintu kecil itu. “Tablet?” Rangga membalik lempengan alat elektronik di tangannya. Jemarinya meraba bagian belakangnya, menyusuri tepian tipisnya, mengetuk-ngetuk layarnya. "Tidak ada merknya. Hm…" Rangga masih membolak-balikkan tablet di tangannya, hingga akhirnya ia tersadar ada sebuah kertas kecil yang datang bersama tablet itu. Aku tidak berniat membuatmu gila. Pakailah tablet ini untuk bermain gim. Kulihat kau sangat frustasi karena bosan dan kesepian. Yah, meski sepertinya menarik jika ada berita tentang CEO Aryuda Food yang ditemukan gila setelah lama menghilang.hahaha Rangga meremas kertas itu geram. Melemparkannya ke dalam lift kecil. "Sialan!" Meski kesal, Rangga tetap menyalakan tablet itu. Menekan cukup lama tombol di tepi tablet. Tablet itu menyala. Hitam sesaat, kemudian langsung ke tampilan desktop. "Eh? Bukannya seharusnya ada logo perusahaan pembuat tablet ini saat baru dinyalakan?" Rangga heran. "Bagaimana bisa?" Tampilan desktop itu hanya berisi gim-gim sederhana. Seperti tetris, permainan kartu, dan catur. Tampilan gimnya pun sederhana, tidak secanggih gim-gim saat ini. Rangga menyentuh ikon gim tetris. "Seperti permainan komputer jaman dulu." Gumamnya. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat. Untuk sesaat, Rangga menghabiskan waktunya dengan bermain gim. *** "Bagaimana ini bisa terjadi?!" Renaldi berteriak murka. Sorot matanya gelap. Wajahnya kaku. Pembuluh darah di dahinya berdenyut. Lehernya menegang. "Maafkan kami, Pak." Hans menunduk. Suaranya tenang, namun tangannya mengepal. Sebenarnya, ia sama murkanya. Sama kesalnya. "Hah! Kalian bilang dia ini detektif andalan kalian?!" Renaldi menunjuk-nunjuk muka Hans. "Mana buktinya?! Menangkap satu penculik saja tidak becus!" Ludahnya muncrat. Sedikit mengenai wajah Hans. Laki-laki itu mengusapnya. "Sekali lagi, maafkan kami, Pak." Kali ini Jen yang bicara. "Diam kau!" Bentak Renaldi. Matanya memerah karena amarah. "Aku menyuruhmu untuk menemukan keponakanku, bukan barang tidak berguna seperti ini!" Renaldi menendang bendera putih yang dibawa Hans sebagai barang bukti. Untungnya, benda itu tidak rusak. Bagaimanapun, itu barang bukti penting. Renaldi menghela nafas kesal. Laki-laki tua itu melemparkan tubuhnya ke sofa mahal di ruang tengah rumahnya. Ya, Hans, Jen, dan beberapa petugas polisi langsung menuju kediaman Renaldi setelah lebih dari tiga jam berputar-putar di lokasi bendera putih itu ditemukan. Dan mereka sama sekali tidak menemukan apapun. Bahkan, tas berisi uang dua miliar lebih itu pun raib. Mereka sudah menyisir setiap jengkal lokasi itu, tetap saja tak ada apapun yang ditemukan. "Keluar kalian!" Renaldi mendesis. Tangannya memijit pelipis. "Kami… tidak akan menyerah, Pak." Ujar Jen sebelum beranjak. "Sudahlah! Jangan bicara omong kosong. Pulanglah!" Renaldi mengibaskan tangannya. Isyarat untuk mengusir mereka. "Kami benar-benar…" Kalimat Jen terpotong. Hans menyentuh lengannya. Menyuruhnya berhenti. "Kita pulang saja." Ucap Hans kemudian. Usai memberi salam pada Renaldi, mereka benar-benar keluar dari rumah megah itu. "Kita tidak akan berhenti hanya sampai di sini 'kan, Pak?" Jen mengejar langkah lebar Hans. "Tentu saja. Memangnya kamu pernah melihatku menyerah? Aku hanya malas berurusan dengan orang tua yang pemarah." "Hah, syukurlah!" Hans dan Jen menaiki mobil yang sama. Petugas polisi sisanya menaiki mobil yang berbeda. "Selanjutnya, apa yang akan kita lakukan, Pak?" Tanya Jen ketika mobil Hans mulai bergerak. "Kita ke kantor Aryuda Food." "Eh, untuk apa?" "Menemui Adit." Jawab Hans singkat. Ia menginjak pedal gas cukup dalam. Membuat Jen harus mencengkram pegangan mobil kuat-kuat. Mobil Hans membelah jalanan ibukota. "Pak, haruskah kami mengikuti mobil kalian?" Suara salah seorang petugas polisi terdengar di alat komunikasi. "Tidak perlu." "Siap, Pak." Hans melirik kaca spion. Mobil di belakangnya melakukan putar balik. "Pak, boleh saya menyalakan televisi?" "Silakan." Mobil Hans memang termasuk yang cukup canggih. Tak hanya dilengkapi DVD player, mobil keluaran terbaru itu juga dilengkapi televisi mini. "Anda suka siaran berita?" "Terserah kamu saja." "Oke…" Jen memilih-milih saluran televisi. "Rangga Aryasetia, yang baru saja diresmikan sebagai CEO Aryuda Food, masih belum ditemukan. Polisi terlihat menemui jalan buntu ketika harus melacak identitas si pelaku." Seorang pembaca berita berita perempuan tampak di layar televisi. Jen menghentikan gerakannya. Mendengarkan acara siaran berita hari ini. "Sepertinya kasus ini tidak akan selesai dengan mudah. Pelaku yang kita hadapi cukup cerdik. Namun, kita juga memiliki tim yang hebat. Mohon dukungan dan doa untuk kami agar kasus ini segera menemukan titik terang." Kali ini seorang laki-laki berseragam polisi tampak menjawab pertanyaan seorang wartawan. "Pfft…" Hans menahan tawa. "Kenapa tertawa?" Tanya Jen heran. Hans menggeleng. Segera meredakan tawa. "Omong kosong." Desisnya. Jen bingung. Ia ingin bertanya lagi, namun mobil Hans sudah memasuki lapangan parkir perusahaan Aryuda Food. Ia jadi mengurungkan niatnya. Sedikit manuver, mobil Hans sudah terparkir rapih di antara deretan mobil lainnya. Mereka keluar dari mobil. Berjalan cepat menuju lobi gedung. Menunjukkan identitas ke resepsionis, kemudian segera menaiki lift menuju lantai dua puluh dengan ditemani si resepsionis. Ting. Pintu lift terbuka. "Mari ikut saya." Resepsionis wanita itu keluar lift lebih dulu. Hans dan Jen mengikuti di belakangnya. Sekitar lima puluh meter dari lift, terdapat sebuah meja panjang dengan sedikit melengkung di ujungnya. Meja itu terlihat sangat sibuk. Tumpukan dokumen menggunung di berbagai sisi. Dua komputer menyala sekaligus. Suara keyboard ditekan terdengar memenuhi telinga. Laki-laki berkacamata yang duduk di belakang meja itu terlihat kusut dan lelah. "Selamat sjang, Pak." Si resepsionis menyapa. "Ya, siang. Ada apa?" Laki-laki itu menjawab tanpa menoleh. Matanya fokus menatap layar. Tangannya sibuk mengetik. "Ada tamu penting, Pak." "Hah!" Ia menggebrak meja. Sepertinya rasa lelahnya sudah mencapai batas. "Siapa lagi?!" "Hai…" Jen melambaikan tangan ketika mata mereka bertemu. "Ah, ada apa?" Adit menggaruk pipinya. "Maaf, aku sibuk sekali." "Ya… kami mengerti." Hans mengangguk. Meja kerjanya sudah menunjukkan semua. "Ada perlu apa?" "Sebenarnya kami tidak ingin mengganggu, tapi ini juga perkara penting." "Soal Pak Rangga? Apa sudah ditemukan?" Seketika Adit berdiri. Wajah lelahnya terlihat antusias. "Belum. Tapi, apa kamu bisa meluangkan waktu sebentar. Mungkin… tidak sampai tiga puluh menit." "Hm… baiklah. Aku selesaikan ini dulu. Kalian tunggulah di pantry." Hans mengangguk. Resepsionis kembali mengarahkan mereka ke pantry. Membuatkan mereka kopi, menyediakan cemilan, kemudian pamit undur diri. Sesaat sebelum pintu pantry tertutup sempurna, Adit masuk. "Sudah selesai?" Tanya Jen. "Iya." Adit duduk di salah satu kursi kosong. Dari dekat, wajahnya semakin terlihat lelah. "Resepsionis tadi membuatkanmu kopi juga." Hans mendorong cangkir kopi. "Terima kasih." Adit menyeruput kopinya. "Jadi, bagaimana?" "Atasanmu belum ditemukan. Rencana kami gagal. Kami kehilangan jejak si pelaku." Hans memulai obrolan. "Haah…" Adit menghembuskan nafas keras. "Lalu uangnya?" Hans menggeleng. "Hilang." "Maksudmu… kalian mengikuti instruksi si pelaku, lalu dia berhasil mengambil uangnya, dan kalian kehilangan jejaknya?" Hans dan Jen mengangguk bersamaan. "Bagaimana bisa?" Daripada lelah, saat ini Adit lebih terlihat kesal. "Kalau bisa, kami juga ingin bertanya. Bagaimana bisa? Padahal jedanya hanya dua menit. Tapi pelaku berhasil kabur tanpa jejak. Bagaimana bisa?" Hans menumpahkan kekesalannya. Nafasnya memburu. Terlihat sekali ia menahan amarahnya sejak tadi. Hening sesaat. Hans dan Jen memberi waktu bagi Adit untuk sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. Ini jalan buntu. Adit menunduk, menghela nafas ringan, menggeleng pelan. Tak ada yang bisa disalahkan. Terlepas dari semua beban yang kini sedang ditanggungnya karena atasannya menghilang, di suatu tempat, Rangga pasti juga sedang menderita. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Adit merapal doa terbaik dalam hati. "Kemarin setelah proses interogasi, kamu bilang kamu mencurigai seseorang?" Hans akhirnya buka suara. Ia memang tak berniat berlama-lama tenggelam dalam kegagalan misi kali ini. "Ah, iya.” Adit seperti tersadar. Ia kembali menyesap kopinya. “Siapa orang itu?” “Kenapa?” Sekretaris Rangga itu terlihat waspada. “Aku merasa perlu memeriksanya lebih detail. Siapa orang itu?” “Pak Wirawan. Direktur Keuangan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN