"Ada apa?" Wirawan masuk ke pantry.
Ini jam istirahat makan siang. Mudah memintanya bertemu di jam-jam begini. Saat sudah masuk jam kerja, ia paling malas diajak berurusan dengan hal di luar pekerjaan.
"Loh, ada bapak dan ibu detektif juga?" Wirawan duduk di salah satu kursi kosong. Sedikit terkejut dengan kehadiran Hans dan Jen.
"Iya. Maaf kami mengganggu waktu Anda." Hans menanggapi.
"Tidak masalah. Lebih baik kalian ada urusan denganku di jam istirahat. Karena aku bisa makan di manapun, dalam kondisi apapun. Tapi, aku tidak suka bekerja selain di ruanganku. Hahaha." Wirawan terbahak. Ia meletakkan kotak makan siang di atas meja.
Hans dan Jen saling pandang. Ini sungguh mengejutkan.
"Anda membawa bekal makan siang?" Tanya Jen penasaran.
Adit yang duduk di hadapannya terlihat menahan senyum. Sepertinya ia sudah terbiasa melihat pemandangan tak biasa itu.
"Iya. Kenapa? Tidak lumrah, ya?" Laki-laki itu mulai membuka kotak bekalnya. Seketika, aroma lezat memenuhi ruangan.
Jen menelan ludah. Sepertinya ia mengerti kenapa Wirawan membawa bekal makan siang sendiri.
"Iya, tidak lumrah. Tapi sepertinya saya bisa mengerti, istri Anda pandai memasak, ya?"
"Hahaha, kamu pintar, Nak. Betul sekali. Istriku pandai memasak. Apalagi ayam rica-rica ini, aku belum menemukan ayam rica-rica seenak buatan istriku." Wirawan mulai melahap makan siangnya. Menu kesukaannya, ayam rica-rica kemangi. Harum dan terlihat lezat, benar-benar menggugah selera.
Jen menatap Hans. Entah kenapa, ia mulai ragu untuk mencurigai Wirawan. Menurutnya, Wirawan memiliki hati yang lembut. Ia takkan sanggup menculik seseorang.
Hans mengangguk. Tak bisa, mereka harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Karena terkadang, musuh paling berbahaya sebenarnya adalah orang terdekat.
"Jadi, ada perlu kalian denganku?"
"Soal kasus hilangnya Pak Rangga, apa Anda mencurigai seseorang?" Hans memulai inti pembicaraan.
"Hm?" Wirawan menghentikan gerakannya. "Jujur saja, banyak yang bisa dicurigai."
"Tidak apa, sebutkan saja."
Wirawan menyebutkan beberapa nama.
"Menurut Anda bagaimana, Pak Adit?"
"Saya?" Adit mengarahkan telunjuk ke wajahnya. Bingung.
"Iya. Apa Anda juga mencurigai orang-orang yang disebutkan Pak Wirawan?"
"Sebagian tidak, sebagian iya." Jawab Adit sedikit ragu. Beberapa nama memang terlihat memiliki motif yang cukup kuat untuk mencelakai Rangga.
"Menurut Anda, kenapa orang-orang itu pantas dicurigai?" Kali ini Hans bertanya pada Wirawan yang masih tetap sibuk dengan makan siangnya.
"Mereka adalah orang-orang yang sangat tidak suka dengan kemunculan bocah ingusan itu."
"Kalau begitu, bukankah Anda juga pantas dicurigai?" Hans menatap Wirawan dingin.
"Hm? Apa maksudmu?" Wirawan menautkan alisnya.
"Sudah jelas, bukankah Anda juga punya motif yang cukup untuk mencelakai atasan Anda?"
"Hei, bocah!" Wirawan membanting sendoknya. Hancur sudah makan siangnya yang selalu tenang dan damai. "Meski aku tidak suka dengan bocah ingusan itu, aku hanya tidak suka sebatas caranya mencapai kursi CEO. Secara pribadi, aku belum menemukan hal yang tidak kusuka dari bocah itu!"
Wirawan sudah berdiri. Menenggak air minum hingga habis. Membereskan makan siangnya yang belum usai.
"Menyesal aku ke sini." Gumamnya kemudian berlalu pergi.
Semua orang di ruangan itu menghela nafas. Ini benar-benar bukan hal yang mereka inginkan.
"Itulah kenapa kita tidak boleh melakukan proses interogasi di luar, Pak." Jen mengingatkan.
Hans mengangguk setuju. Merapikan jaket kulitnya.
***
Hari ketiga sejak Rangga Aryasetia dinyatakan hilang. Seluruh media masih memberitakan kasus tersebut. Wajah Rangga menghiasi layar televisi dan papan iklan ibukota setiap hari. Pencariannya terus berlangsung. Polisi berjuang sekuat tenaga mengumpulkan petunjuk dan bukti yang memang sangat sedikit. Hans dan Jen memeras otak dan tenaga untuk memecahkan kasus tersebut. Renaldi, Adit, dan seluruh karyawan Aryuda Food menanggung beban yang sama sekali tidak ringan akibat kasus tersebut. Berbagai mitra kerja meminta penjelasan, mempertanyakan kontrak kerja yang telah disepakati, meminta ganti rugi untuk hal-hal yang tak dapat mereka penuhi sesuai kontrak, lebih parahnya lagi membatalkan kontrak kerja. Kerugian-kerugian yang mereka tanggung memang masih tergolong ringan dan bisa diatasi. Namun, sampai kapan kursi CEO akan kosong? Sampai kapan perusahaan akan kehilangan pimpinannya?
Beberapa pihak yang memang sejak awal menentang pengangkatan Rangga sebagai CEO mulai mengajukan protes sekaligus usul untuk menentukan kembali pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi perusahaan itu. Karyawan lain yang tadinya netral mulai ikut terhasut oleh usul tersebut. Sementara pihak-pihak yang tadinya mendukung Rangga, diam seribu bahasa. Renaldi sendiri, sebagai CEO sebelumnya, masih belum memberi respon apapun terhadap kericuhan internal perusahaan tersebut. Ia memilih fokus menemukan keponakannya dan menyelesaikan pekerjaan yang perlu segera diselesaikan.
Pukul tujuh pagi. Adit baru saja tiba, menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebangaannya. Menghela nafas berat. Menatap tumpukan dokumen yang tampak belum berkurang sedikit pun meski ia sudah lembur selama dua hari.
Adit menyesap kopi yang baru saja ia buat di pantry. Tubuhnya terasa remuk, lelah sekali. Pikirannya kusut. Tapi, ia tak mungkin berhenti.
Adit menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Mengisi tangki-tangki semangat di dalam tubuhnya. Ia tahu bahwa dirinya harus lebih optimis dari siapapun. Saat ini, perusahaan dalam posisi yang sangat genting.
Drrtt… drrrttt…
Ponselnya bergetar. Sebuah telepon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
“Siapa lagi ini?” Adit mengernyit. Tiga hari terakhir, memang ponselnya sangat sibuk. Menerima dan melakukan panggilan telepon. Membalas berbagai pesan dan email masuk. Maka tak heran jika sepagi ini, ia sudah merasa kesal begitu ada telepon masuk ke ponselnya.
“Halo?”
“Adit?”
Adit tersentak. Seketika berdiri dari kursinya. “Si-siapa?”
“Rangga, ini Rangga. Aku di hotel imperial. Kamar nomor… aduh, nomor berapa ini? Sebentar…” Suara di seberang telepon terdengar panik.
“P-pak Rangga?” Adit menutup mulutnya. “Rangga? Rangga Aryasetia?” Tak terasa, matanya berair.
“Iya, iya ini Rangga, Dit. Oh, ini dia! Nomor 1324… Hah? Nomor yang sama? Yah, pokoknya jemput aku sekarang! Oh Ya Tuhan, aku bebas!” Rangga terisak. Bahagia, histeris. Adit bisa membayangkan apa yang terjadi di sana.
“Iya, iya. Sebentar lagi saya ke sana, Pak. Ya Tuhan…” Adit menutup mulutnya. Air matanya mengalir. Tangannya gemetar.
“Cepat, Dit! Cepat!”
“Iya, Pak. Tunggu saya!”
Adit menutup telepon cepat. Ia segera mencari kontak Hans. Tangannya yang gemetar membuat gerakannya berantakan.
Tuuut… Tuuut…
Nada sambung terdengar.
Hans yang baru saja terlelap subuh tadi terpaksa membuka mata begitu mendengar getaran ponselnya. Ia begadang semalaman dengan Jen di ruang penyidik. Mencoba mencari petunjuk sekecil apapun agar kasus ini terlihat titik terangnya.
“Halo?” Suara Hans masih parau. Matanya belum sempurna terbuka. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.
“Pak Hans! Pak Rangga ketemu!” Suara Adit histeris. Melengking memekakkan telinga.
“Aduh!” Hans menjauhkan ponselnya. “Bicara pelan-pelan. Ada apa?”
“Pak Rangga, Pak Rangga ketemu!” Nafas Adit memburu.
“Apa katamu?” Kini, mata Hans sempurna terbuka. Kesadarannya sepenuhnya pulih.
“Pak Rangga barusan telepon. Dia… dia di hotel imperial. Kamar yang sama.” Adit menjerit tertahan.
“Kamu yakin?” Hans meraih jaket kulitnya. Menjempit ponsel di sela-sela telinga dan pundaknya.
Jen yang mendengar keributan seketika terbangun. Hans memberi isyarat untuk segera bersiap. Mereka akan bertolak ke hotel imperial saat ini juga.
“100% yakin, Pak!”
“Oke, aku dan Jen akan berangkat sekarang juga.”
“Baik. Saya juga sudah berada dalam perjalanan. Sampai jumpa di hotel imperial.” Suara Adit terdengar benar-benar bahagia.
“Ada apa, Pak?” Jen bertanya sembari sibuk mengenakan jaket dan sepatu.
“Rangga ketemu.”
“Apa?!”
Hans tak menjawab. Ia bergegas keluar ruangan. Jen mengejar di belakangnya. Mereka berlarian menuju tempat mobil Hans diparkir.
***
Hans dan Adit tiba hampir bersamaan di hotel imperial. Mereka belum menghubungi siapapun, termasuk Renaldi. Hans yang melarang. Ia ingin memastikan bahwa orang yang berada di kamar hotel imperial itu benar-benar Rangga yang sedang mereka cari. Selain itu, jika itu benar Rangga, privasi dan mental Rangga harus tetap didahulukan. Ia pasti terguncang. Jadi, informasi ini tidak boleh sampai bocor agar tak mengundang wartawan. Rangga harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu baru boleh menerima pertanyaan dari wartawan dan awak media.
Hans terengah-engah tiba di lobi hotel. Menunjukkan identitasnya.
“Kami pinjam kunci kamar hotel 1324.” Ucapnya cepat.
“Maaf, Pak. Tapi untuk apa?”
“Cepat! Orang yang hilang di hotel ini, kemungkinan kembali lagi ke hotel ini?”
“Hah?!” Resepsionis itu menutup mulut. Matanya terbelalak.
“Cepat berikan!” Kali ini Adit yang berteriak.
“Ah, iya. Maaf.” Resepsionis itu memberikan kunci yang dimaksud. Tangannya gemetar. Hampir sama dengan reaksi Adit saat tadi menerima telepon dari Rangga.
Hans, Jen, dan Adit berlarian menuju lift. Menunggu lift terbuka dengan tak sabar. Gelisah selama berada di dalam lift. Kemudian kembali berlarian di lorong menuju kamar 1324.
Hans membuka pintu kamar 1324 cepat.
Brak! Pintu terbuka.
“Kamu sudah datang, Dit?” Rangga berlari ke dekat pintu. Nafasnya terengah, tapi wajahnya sumringah.
“Pak Rangga!” Adit menutup mulutnya. Tak menyangka orang yang tak dapat ia temukan di kamar ini tiga hari lalu, kini berdiri di hadapannya tanpa kurang suatu apapun. “Anda benar-benar Pak Rangga!” Ia terisak. “Anda kembali, Pak.” Adit terus terisak.
Rangga mendekat. Menepuk pundak Adit lembut. “Iya, aku kembali.” Ia tersenyum.
Rangga melirik Hans yang berdiri di belakang Adit. Ia sama terkejutnya. Namun, Hans lebih mampu mengontrol diri. “Maaf, Anda siapa?”
“Saya Hansel Fulbright, detektif yang menangani kasus Anda.” Hans menunjukkan tanda pengenalnya.
Rangga melirik seseorang yang berdiri di belakang Hans. Ia memiringkan tubuhnya, berusaha melihat lebih jelas orang itu.
Deg!
“Kamu…” Rangga tertegun. Ia mengedipkan matanya berkali-kali.
“Saya Gisaka Evgenia, detektif yang menangani kasus Anda juga.” Jen ikut menunjukkan tanda pengenalnya.
Jen terlihat tenang. Sangat tenang. Namun, siapa sangka. Sudut hatinya sedang bergemuruh saat ini. Ia berhasil menguasai dirinya selama beberapa detik sebelum Rangga menyadari kehadirannya. Ini pertemuan yang sama sekali tidak ia duga.
“Gisaka Evgenia.” Rangga mengeja nama Jen. “Jen, ya?” Ia tersenyum menatap wanita di balik punggung Hans itu.
Jen menelan ludah. “Anda harus segera dibawa ke rumah sakit, Pak. Anda memerlukan pemeriksaan kesehatan lengkap. Setelah itu, kami minta waktu Anda untuk memberikan penjelasan.” Ia masih berhasil menguasai dirinya.
“Baik.” Senyum masih belum lepas dari bibir Rangga.