Adit berdiri di ambang pintu dengan gelisah. Lima belas menit lalu ia menelpon Renaldi, mengabarkan bahwa Rangga sudah ditemukan. Renaldi mengatakan akan segera berangkat ke hotel. Seharusnya sebentar lagi ia akan tiba.
Ting.
Pintu lift di ujung lorong terbuka. Renaldi dan dua orang laki-laki memakai setelan jas keluar dari lift. Berjalan dengan cukup cepat menuju Adit.
“Di mana Rangga?” Tanya Renaldi begitu ia berdiri di hadapan Adit.
“Di dalam, Pak. Silakan masuk.” Adit merentangkan tangannya, memberi jalan untuk Renaldi masuk.
Renaldi segera berhambur. Ini kabar paling bahagia yang ia terima akhir-akhir ini. Keponakan yang sudah ia anggap seperti anak sendiri, ia didik dan latih untuk meneruskan tampuk kepemimpinan perusahaan, lalu setelah tujuannya tercapai ia justru menghilang hanya dalam semalam. Dan kini, secara tiba-tiba keponakannya itu kembali.
“Rangga!” Renaldi berseru tertahan. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keponakannya itu benar-benar kembali. Duduk di tepi ranjang mengenakan piyama. Wajahnya memang terlihat tirus, tapi secara keseluruhan ia tampak sehat dan baik.
“Om…” Rangga berhambur memeluk pamannya. Ia tak pernah merasa serindu ini ingin memeluk pamannya. Laki-laki yang beberapa tahun terakhir merawatnya seperti orang tuanya sendiri.
“Ya Tuhan! Kamu kembali, Nak.” Renaldi tak mampu menyembunyikan air matanya.
“Iya, Om. Rangga kembali.” Rangga menepuk punggung pamannya. Perasaan hangat mengaliri dadanya.
Suasana haru biru memenuhi ruangan. Entah bagaimana, Rangga dan Renaldi tiba-tiba bertangisan. Rangga berkali-kali mengatakan sangat merindukan pamannya, ia takut tak lagi bisa melihat wajahnya. Renaldi pun demikian, berhari-hari ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Memikirkan bagaimana kondisi keponakannya.
“Syukurlah sepertinya kau baik-baik saja.” Renaldi melepaskan pelukannya.
Rangga mengangguk. Matanya basah.
“Tapi, bagaimana kau bisa sampai ke sini? Apa kau tidak ingat bagaimana penculik itu membawamu pergi? Kau tidak ingat lokasi tempatmu disembunyikan? Detektif dan polisi benar-benar menemui jalan buntuk selama pencarianmu, Nak.”
“Saya juga tidak ingat bagaimana saya tiba di tempat itu…”
“Maaf…” Hans menyela. “Untuk sekarang, kesehatan fisik dan mental Pak Rangga menjadi prioritas. Jadi, keterangan terkait kronologi penculikan sebaiknya kita tanyakan nanti saja setelah dokter memastikan bahwa Pak Rangga dalam kondisi yang prima.”
“Ah, iya iya. Maafkan orang tua ini yang terlalu khawatir, Nak.” Renaldi mengusap ujung matanya.
Tentu saja ini adalah kabar bahagia. Tapi, lebih daripada itu, ini adalah kabar yang memancing banyak sekali pertanyaan. Rangga, korban penculikan yang hilang selama tiga hari, tiba-tiba kembali dalam kondisi yang sangat baik dalam standar seorang korban penculikan. Umumnya, korban penculikan yang selamat itu karena ia berhasil kabur dari tempat persembunyian si pelaku. Dan tentu saja kondisinya takkan sebaik Rangga. Yang paling sering ditemukan pada korban-korban tersebut adalah bekas-bekas kekerasan baik fisik maupun seksual, trauma tempat gelap dan sempit, trauma bertemu orang asing, dan semacamnya. Tapi, Rangga kembali dalam kondisi yang terlihat sangat baik.
Renaldi, Adit, dan Rangga bertolak menuju rumah sakit terbaik ibukota untuk memeriksakan kondisi kesehatan Rangga. Sementara Hans dan Jen memilih tetap berada di kamar hotel. Ada yang harus mereka selidiki, terutama bagaimana Rangga bisa kembali ke kamar hotel ini. Hans sudah menghubungi pihak kepolisian agar mengirimkan petugas polisi untuk berjaga di sekitar rumah sakit dan di sekitar tempat Rangga diperiksa. Hal itu pasti menarik perhatian publik. Namun, mereka memang tidak berniat menyembunyikan fakta ini lebih lama. Publik berhak tahu berita besar ini.
Kurang dari tiga puluh menit sejak rombongan Renaldi tiba di rumah sakit, puluhan wartawan dan awak media sudah memenuhi halaman depan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit. Lima orang petugas polisi sudah sejak tadi bersiap menerima serbuan ini.
Sementara itu di lantai yang sama gedung instalasi ini, Rangga sedang melakukan USG abdomen dan foto rontgen untuk melihat adanya kemungkinan trauma di organ dalam. Dari hasil pemeriksaan fisik awal bersama dokter jaga IGD, tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan baik fisik maupun seksual. Setelah semua proses pemeriksaan fisik selesai, Rangga dijadwalkan untuk bertemu dengan dokter psikiatri untuk menjalani pemeriksaan mental. Korban penculikan yang selamat seringkali mengalami guncangan mental yang cukup kuat. Membuat mereka mengalami trauma dengan hal-hal yang berkaitan dengan kejadian selama penculikan.
***
Menjelang tengah hari, Hans dan Jen tiba di rumah sakit. Rupanya, para awak media yang menunggu di halaman IGD belum juga beranjak pergi meski sama sekali tak mendapatkan berita yang mereka inginkan. Ketika melihat Hans dan Jen keluar dari mobil, awak media yang jumlahnya semakin bertambah itu berbondong-bondong mendatangi mereka. Sebagian mengepung Hans, sebagian lagi mengepung Jen. Membuat keduanya kesulitan untuk bergerak.
Petugas polisi yang melihat kejadian itu segera bertindak. Mereka menghalau orang-orang yang haus akan berita itu. Membuat barikade agar Hans dan Jen bisa lebih leluasa bergerak menuju pintu masuk IGD.
Bruk!
Seorang wartawan laki-laki menerobos barikade polisi. Jatuh tersungkur di hadapan Hans. Meski kain celana yang menutupi lututnya robek, ia tetap beranjak berdiri. Menghadang langkah Hans.
“Tolong beri kami kejelasan, apa benar Pak Rangga sudah ditemukan?”
“Tolong beri kami jalan.” Hans tidak menjawab. Wajahnya datar, bicaranya tegas.
“Tolong jawab pertanyaan kami, Pak! Kami butuh kejelasan.” Wartawan itu terus mendesak. Merangsek maju meski telah dihadang oleh polisi. Ia bahkan menepis kasar tangan polisi yang hendak menyentuhnya.
Hans mengangkat tangan, menyuruh polisi berhenti memegangi wartawan itu. Si wartawan menyeringai, merasa menang. Ia maju selangkah.
“Jadi, apa benar Pak Rangga sudah ditemukan, Pak?” Menyebalkan, wartawan itu mengajukan pertanyaan dengan tetap menyeringai.
Hans tak menjawab. Ia melangkah lebih dekat. Hingga berdiri tepat di depan hidung si wartawan.
“Kau tahu? Aku paling benci wartawan sepertimu.” Hans mendesis. Wartawan itu tertegun. “Orang-orang seperti kalianlah yang paling sering menghalangi proses penyidikan.”
Hans mundur selangkah. Menyentuh pundak si wartawan, menyingkirkannya dari hadapan. Hans dan Jen melenggang tanpa hambatan menuju ruang IGD. Di belakang mereka, wartawan tadi berteriak memaki Hans. Namun, siapa peduli?
Hans memberitahukan maksud kedatangannya dan menunjukkan tanda pengenalnya kepada satpam yang menghadang di pintu masuk IGD.
“Mari ikut saya.” Jawabanya sopan begitu selesai memeriksa tanda pengenal Hans dan Jen.
“Pasti kesulitan, ya, menghalau para wartawan itu?” Jen mencomot sebuah topik. Karena sepertinya perjalanan mereka masih jauh, ia merasa tidak nyaman jika sepanjang perjalanan hanya diam saja.
“Iya. Sulit sekali. Mereka keras kepala.” Satpam itu menjawab sembari menghela nafas. Kentara sekali bagaimana sulitnya ia tadi. “Tapi, untungnya polisi datang tepat waktu. Saya dan teman-teman sudah kewalahan.”
“Di mana-mana, wartawan memang menyebalkan dan tidak sopan.” Hans nyeletuk.
Si satpam tak menanggapi, hanya tertawa canggung.
“Sepertinya Anda punya pengalaman buruk sekali dengan wartawan, Pak?” Jen, yang sudah bekerja dengan Hans bertahun-tahun, selalu mendapati atasannya itu uring-uringan setiap menghadapi wartawan.
“Iya, memang. Bahkan sangat buruk.”
“Oh iya? Kok Anda belum pernah cerita?” Jen jadi tertarik dengan alasan Hans.
“Kamu nggak pernah tanya.”
“Ya sudah sekarang ‘kan saya tanya.”
“Sudah sampai.” Suara pak satpam memutus obrolan mereka. Tak terasa, rupanya mereka sudah tiba di depan pintu kaca dengan tulisan “Ruang Adenium-VIP” di atasnya.
“Pak Rangga dirawat di sini?” Jen memastikan.
Satpam itu mengangguk. “Sebentar saya bicara dengan perawatnya dulu.” Ia berlalu. Membuka pintu kaca dengan hati-hati, kemudian segera menuju meja perawat. Seorang perawat perempuan berdiri menyambut, mereka berbicara sebentar. Terlihat satpam itu menunjuk ke arah Hans dan Jen.
“Mari ikut saya.” Perawat wanita itu menghampiri. Kemudian berjalan lebih dulu.
Mereka berhenti di ruangan kedua sebelah kiri. Ada angka empat yang bertengger di samping pintu.
“Permisi.” Perawat wanita itu membukakan pintu. Menyilakan Hans dan Jen masuk.
“Oh, kalian datang?” Adit yang sedang sibuk di depan laptop segera beranjak menyambut tamu.
“Tidak usah repot-repot berdiri, Pak Adit. Pekerjaan Anda bisa tertunda beberapa detik.” Hans berseloroh.
“Ah, iya. Ini refleks.” Adit menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Pak Renaldi mana?” Tanya Jen begitu tak melihat laki-laki paruh baya itu di ruangan.
“Oh, ada rapat penting yang tidak bisa ditunda. Jadi beliau pergi dulu sebentar. Setelah rapat akan kembali lagi ke sini.”
Jen mengangguk-angguk. Adit kembali menekuri laptopnya. Ia membawa sebagian pekerjaannya ke rumah sakit agar bisa menemani Rangga.
“Bagaimana kondisi Anda?” Hans sudah berdiri di dekat ranjang pasien. Jen berdiri di belakangnya. Ia sedang sibuk menenangkan hatinya sebelum melakukan tugasnya dengan profesional.
“Baik. Jauh lebih baik daripada saat aku di tempat itu.” Rangga tersenyum. Meski ia tak bisa bergerak banyak karena selang infus menancap di tangannya, tetap saja ini jauh lebih baik daripada berada di ruangan tanpa jendela dan pintu.
Hans mengangguk. “Kami punya banyak pertanyaan untuk Anda, tapi saat ini bukan waktu yang tepat. Jadi, cepatlah sembuh. Hari ini kami hanya ingin melihat kondisi Anda setelah diperiksa. Beristirahatlah dengan nyaman.” Laki-laki berkulit putih itu tersenyum.
“Iya, aku mengerti.”
“Kalau begitu, kami pamit dulu. Kami masih harus bertemu dokter yang menangani Anda.”
“Ah, tunggu sebentar!” Rangga mengulurkan tangan, mencegah Hans pergi. “Aku ada perlu dengan rekan Anda.”
“Hm?”
“Rekan Anda yang sejak tadi bersembunyi di belakang punggung Anda.” Rangga menahan senyum melihat Jen yang sejak tadi berusaha menyembunyikan dirinya.
“Saya?” Jen muncul dari balik punggung Hans.
“Iya. Kalau tidak keberatan, aku ingin berbicara denganmu sebentar.”
Hans menatap Jen, meminta persetujuan.
“Ya, baiklah.” Jawabnya canggung.
“Tapi, tolong beri kami waktu untuk bicara berdua.” Kali ini suara Rangga lebih keras, sepertinya supaya Adit juga mendengar.
“Apa?” Jen mendelik.
“Maaf, tapi aku pikir kamu nggak akan nyaman kalau mereka mendengar obrolan kita.”
“Baiklah.” Hans lebih dulu setuju. “Panggil aku kalau terjadi sesuatu.” Ia menepuk pundak Jen pelan.
“Tapi, Pak?”
“Nggak apa-apa. Apa yang kamu takutkan?”
“Tidak ada, sih.” Jen menyentuh tengkuknya. Ini canggung sekali.
Hans dan Adit benar-benar meninggalkan ruangan. Meski Adit memberi isyarat pada Rangga soal keberatannya, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa.
“Kemarilah, Jen.” Rangga mengulurkan tangannya, memanggil Jen mendekat. Suaranya terdengar lembut.
“Ada apa?” Jen menyedekapkan kedua tangannya di depan d**a. Wajahnya berubah dingin, pun nada suaranya.
Air muka Rangga berubah drastis. Sorot matanya berubah lembut. “Bagaimana kabarmu selama ini?”