"Apa maksudmu?" Jen menepis tangan Rangga yang hampit menyentuh pergelangannya. Raut wajahnya tak suka.
"Berapa tahun sudah berlalu? Kamu tetap terlihat menawan, Gis." Rangga tersenyum lembut. Tatapannya tak lepas sedikitpun dari wajah Jen.
"Jangan bicara omong kosong!" Jen mendengus. Ia berpaling. "Cepat katakan! Ada perlu apa denganku?"
"Ah, iya. Aku hanya terlalu terkejut bisa melihatmu setelah sekian lama."
"Nggak usah basa basi. Waktuku nggak banyak." Jen masih mempertahankan sikapnya. Bersedekap, menjaga jarak, berdiri tanpa melihat lawan bicaranya. Ia tak berani menatap Rangga, khawatir hatinya goyah.
"Lihat aku, Gis." Rangga memohon.
"Aku nggak merasa perlu untuk melihatmu." Jawab Jen ketus. Ia sedang berusaha keras menahan gemuruh amarah di dadanya.
Rangga terdengar menghela nafas. "Sudah berapa lama kamu menggeluti profesimu?"
Jen melirik Rangga sekilas. Agak terkejut dengan pertanyaan laki-laki itu. "Lima tahun." Jawabnya kemudian.
"Wah, sudah cukup lama, ya?" Rangga menarik nafas dalam. Menghembuskannya perlahan. "Dari dulu kamu selalu bilang ingin menjadi polisi yang memecahkan kasus. Aku gak menyangka, akhirnya kamu berhasil menggapai cita-citamu, Gis."
Gigi Jen bergemeletuk. Ia sudah tak tahan dengan basa basi yang diucapkan Rangga.
"Sudah? Ada lagi?" Jen benar-benar tak tahan. Ia tahu, saat ini raut wajahnya pasti terlihat kesal sekali. Tapi ia memang benar-benar sudah muak.
"Duduklah, Gis." Rangga menepuk tepi tempat tidur. "Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Jen lagi-lagi mendengus. "Aku tidak punya banyak waktu. Cepat katakan apa keperluanmu?!"
Rangga diam sesaat. Kedua bola matanya lekat menatap Jen. Membuat wanita itu merasa risih.
Tepat ketika Jen hendak membuka mulut, Rangga lebih dulu berbicara. "Aku merindukanmu, Gis."
Nafas Jen tercekat. Tanpa sadar ia berbalik, menatap tajam laki-laki di hadapannya. Sorot mata itu masih sama seperti dulu, lembut dan menenangkan. Tapi semua itu sudah tidak ada artinya untuk Jen. Semua itu sudah berlalu, tertinggal jauh di belakang. Yang tersisa untuk lakk-laki itu kini hanyalah lubang kecewa yang teramat dalam.
"Kau…" Suara Jen tercekat. Matanya memerah, pandangannya kabur karena air yang menggenang di pelupuk mata. "Untungnya, kita tidak memiliki perasaan yang sama!"
Jen meninggalkan Rangga yang termangu. Berjalan cepat menuju pintu. Ia harus segera meninggalkan laki-laki itu. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Nafasnya memburu. Dadanya naik turun. Sedikit lagi ia pasti akan meledak.
Brak!
"Aduh, kaget!" Adit berseru.
Jen keluar ruangan dengan membanting pintu. Air matanya sudah menetes. Ia tak mungkin lagi bisa bersikap profesional.
"Ada apa, Jen?" Hans bertanya khawatir.
"Hari ini, bolehkah saya bekerja sampai sini saja? Saya janji, besok saya akan bersikap lebih profesional." Jen memelas. Air matanya sudah berloncatan.
"A-apa maksudmu? Kita bisa punya banyak tujuan." Hans bingung melihat rekan kerjanya menangis. Adit yang melihat pemandangan itu pun tak kalah bingung.
"Maafkan saya, Pak. Tapi sungguh, saya tidak bisa bekerja dengan kondisi seperti ini."
"Baiklah, baiklah. Perlu kuantar pulang?"
"Tidak usah. Saya bisa pulang sendiri. Sekali lagi, maafkan saya, Pak."
"Sudah, tidak perlu minta maaf. Pulanglah, Jen." Hans menepuk pundak Jen lembut. Mengangguk pelan.
"Terima kasih, Pak. Sampai jumpa besok." Jen segera berlari meninggalkan Hans dan Adit yang masih tak mengerti dengan kejadian barusan.
Bertahun-tahun bekerja bersama Jen, ia selalu melihat wanita itu diliputi semangat. Penuh energi dan selalu ingin tahu. Hari ini, ia seolah melihat orang lain merasuki Jen. Wanita itu terlihat kacau, berantakan, dan sangat terpukul. Entah apa yang terjadi di dalam.
"Apa yang Anda lakukan pada rekan kerja saya?" Hans sudah menerobos masuk ke kamar Rangga. Berjalan cepat menuju tempat tidurnya.
"Tidak ada. Kami hanya mengobrol." Jawab Rangga santai.
"Dia keluar sambil menangis, dan Anda bilang hanya mengobrol?" Hans mengangkat alis. Ia tak bisa menerima jawaban laki- laki itu.
"Benar. Kami hanya mengobrol." Rangga bersikukuh.
Hans menghela nafas. Ia malas berurusan dengan hal pribadi begini. "Saya tidak tahu apa yang terjadi pada kalian berdua. Tapi saya peringatkan, ke depannya, jangan mencampuri profesionalitas kerja kami. Selesaikan urusan kalian, tanpa menghalangi pekerjaan kami. Karena Anda, penyidikan hari ini jadi tertunda." Hans melemparkan tatapan tajam sebagai peringatan sebelum berlalu.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?" Adit mendekat. Ia juga bingung.
"Dit, siapa yang menunjuk mereka sebagai detektif yang menangani kasusku?" Rangga tak mengindahkan pertanyaan Adit. Ia lebih tertarik dengan hal lain.
"Apa maksud Anda? Mereka utusan kepolisian."
"Oh ya? Bukan detektif swasta?"
"Bukan." Adit menggeleng.
"Hm…" Rangga tersenyum penuh arti. Seolah seluruh penderitaannya yang terkurung selama tiga hari di ruangan sepi tanpa pintu dan jendela itu tak berarti. "Ini seperti takdir." Gumamnya kemudian.
Adit terbelakak. Kemudian mengangkat bahu tak peduli. Ia semakin tak mengerti.
***
Tiga hari berlalu sejak Rangga ditemukan kembali di kamar hotel tempatnya menginap sebelumnya. Kehebohan media yang memberitakan kejadian itu juga mulai mereda. Pihak-pihak yang terlibat kemitraan dengan perusahaan mulai tenang kembali. Karyawan-karyawan perusahaan yang tadinya sibuk mengajukan usul dan protes, mulai bungkam.
Sementara itu Rangga sudah boleh keluar rumah sakit, namun ia masih harus menjalani terapi psikologis secara rutin. Pasalnya ia selalu merasa gelisah setiap kali masuk lift. Hal itu mengingatkannya pada tekanan perasaan yang ia rasakan saat diculik dulu. Kendati demikian, kondisi fisiknya terbilang sangat baik.
Kemarin, Hans sudah mendapatkan rekomendasi dari dokter psikiatri yang menangani Rangga untuk melakukan proses interogasi pada korban penculikan itu. Proses interogasi disarankan dilakukan di tempat yang menurut Rangga nyaman dan sebaiknya tidak diliput media manapun. Namun, jika proses interogasi direkam dengan tujuan sebagai bukti otentik kasus tersebut, dokter menyetujui.
Pagi ini, Hans dan Jen sudah tiba di kediaman Renaldi. Ya, proses interogasi akan dilakukan di salah satu kamar di dalam rumah Renaldi. Karena rumah itu adalah rumah yang ditempati Rangga dalam waktu lama, ia merasa cukup tenang berada di dalam rumah tersebut.
"Baiklah, semua persiapan sudah selesai." Hans menepuk tangannya. Membersihkan debu dari telapak tangannya.
Hans mengambil dokumen yang ia bawa dari kantor polisi. Duduk di hadapan Rangga.
"Anda sudah siap?"
Rangga tersenyum, kemudian mengangguk.
Hari ini, Jen juga hadir. Ia menepati janjinya pada Hans. Mempertahankan profesionalitas kerjanya. Maka hari ini, ia sama sekali tak menggubris tatapan lembut Rangga yang selalu ditujukan padanya.
"Ceritakan pada kami kronologi kejadian sebelum Anda diculik." Hans memulai proses interogasi.
"Ah, itu… Setelah pesta peresmian, aku kembali ke kamar hotel bersama Adit, sekretarisku. Kami berpisah di depan kamar hotelku. Lalu, yah… aku mandi, ganti baju, dan tidur. Tidak ada yang istimewa. Lalu, tiba-tiba aku terbangun di tempat yang berbeda.” Rangga mengangkat bahu. Ia yakin ingatannya benar.
Hans mengernyit. “Anda tidak menyadari bagaimana Anda berpindah tempat?”
Rangga tampak mengingat-ingat. Kemudian menggeleng. “Ingatan terakhirku di kamar hotel, ya… itu. Kemudian tiba-tiba aku terbangun di sebuah ruangan yang tidak kukenal sama sekali.”
“Deskripsikan dengan detail tentang ruangan itu. Jika Anda merasa kesulitan, Anda bisa berhenti kapanpun. Jangan memaksakan diri.” Hans teringat pesan dokter psikatri itu. Menggali kembali ingatan yang menyakitkan atau yang tak diinginkan bisa memicu munculnya gejala-gejala fisik atau psikis tertentu. Jika Rangga tidak bisa mentolerir gejala itu, maka Hans tidak berhak memaksanya.
Rangga mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Baiklah, silakan ceritakan.” Hans memasang telinga, siap mendengarkan.
Rangga menceritakan dengan detail kejadian dan deskripsi ruangan tempatnya dikurung. Meski sesekali ia harus berhenti karena kembali teringat dengan rasa tidak nyaman selama berada di ruangan itu, namun ia kembali melanjutkan setelah merasa lebih baik.
“Aku sudah mencari ke setiap sudut ruangan, aku tidak menemukan satupun kamera pengintai. Tapi aku yakin, siapapun yang ada di balik kejadian itu, dia bisa mengawasiku. Buktinya, dia tahu setiap gerak gerikku.” Rangga menutup ceritanya.
Hans dan Jen menghela nafas. Rupanya, ini memang bukan kasus yang mudah.
“Tentang lift kecil yang Anda ceritakan, Anda sudah mencoba membuka paksa bagian langit-langitnya?” Kali ini Jen yang bertanya. Ia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Bagaimana mungkin seseorang membangun ruangan seperti itu. Seolah ruangan itu memang disiapkan untuk menyekap seseorang.
Rangga mengangguk berkali-kali. “Sudah, berkali-kali. Tapi entah terbuat dari apa, lift itu tidak bergeming.”
“Lalu, Anda bilang Anda diberi makan tiga kali sehari dan juga diberi koran?” Hans bertanya, dahinya mengernyit. Ini tidak seperti tindakan seorang penculik dengan motif jahat.
“Iya, betul.”
“Itu koran lama atau baru?”
“Koran baru.”
Hans mengusap dagunya. Ini aneh. Sangat aneh. Umumnya seorang penculik akan mengancam, mencelakai, bahkan membunuh korbannya agar perbuatannya tidak diketahui. Tapi, kasus ini menarik karena penculiknya bahkan memperlakukan korbannya dengan baik.
“Bukankah sekarang sudah sangat jarang seseorang membaca koran, Pak?” Tanya Jen pada Hans. Ia juga merasa sangat janggal dengan kasus ini.
Hans mengangguk. Tapi ia tak terlalu fokus pada fakta itu. Ia lebih tertarik dengan ruangan tempat Rangga dikurung.
“Tempat Anda dikurung, apakah tempat itu terlihat seperti bekas ditempati seseorang atau sesuatu?”
“Hm, aku tidak yakin. Tapi tempat itu sangat bersih. Seolah memang disiapkan untuk mengurung seseorang.”
Alis Hans bertaut semakin dekat.
“Bagaimana suhu udara di dalam sana? Apakah ada pendingin ruangan?”
Rangga menggeleng. “Tidak ada. Tapi anehnya ruangan itu cukup sejuk. Bukankah itu sepertinya di ruang bawah tanah? Tapi, kalau itu benar di ruang bawah tanah, sepertinya aku tidak merasa pengap.”
Hans mengangguk-angguk. Sepertinya ia mulai menemukan titik terang.
“Hm, ini menarik.” Hans bergumam. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. “Lalu, selama di sana, apa Anda tidak pernah mendengar suara gaduh atau suara apapun?”
Rangga menggeleng tegas. “Ruangan itu sangat sunyi.”
Hans kembali mengangguk-angguk. Titik terang dari kasus ini sepertinya mulai terlihat jelas.
“Jadi, Anda benar-benar sendirian di ruangan itu? Sama sekali tidak pernah bertemu pelaku ataupun mendengar suaranya?” Kali ini Jen yang bertanya. Ia melirik Hans yang sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Iya. Benar-benar seorang diri. Si pelaku berkomunikasi denganku lewat pesan yang dikirim lewat lift kecil itu.”
“Ah!” Jen seperti tersadar tentang sesuatu. “Soal pesan itu, Anda tidak berhasil membawa satupun?”
Rangga menggeleng. “Aku ingat sudah mengumpulkan semua pesan tertulis itu, kuletakkan di tempat yang menurutku cukup tersembunyi. Tapi, saat aku terbangun lagi di kamar hotel, bajuku sudah diganti dan pesan-pesan yang kusimpan itu juga lenyap.”
“Oh, begitu…” Jen lemas. Padahal pesan tertulis itu bisa menjadi petunjuk kuat untuk menemukan si pelaku.
“Anda tidak ingat bagaimana tulisan si pelaku?” Hans bertanya. Ia kembali dari kesibukannya mengurai isi pikirannya.
“Tidak, pesan tertulis itu tidak ditulis dengan tangan.”
“Lalu?”
“Dicetak.”
“Ah, sial!” Hans hampir melempar tablet yang dipegangnya.
“Ada satu hal lagi.” Rangga mengacungkan telunjuknya. “Tapi, aku tidak yakin ini bisa jadi petunjuk.”
“Tidak apa-apa. Katakan saja, apa itu?” Hans kembali antusias.