Elf

1706 Kata
“Aku diberi sebuah tablet.” “Tablet?” Tanya Hans dan Jen berbarengan. Mereka saling pandang. Penculik mana yang berbaik hati memberi tawanannya sebuah tablet? “Iya. Tapi, isinya hanya gim-gim sederhana. Tablet itu juga tidak ada merknya. Seandainya ada peralatan, mungkin aku bisa membongkar tablet itu. Sayangnya, tak ada apapun di sana.” “Kenapa Anda diberi tablet? Apa itu memang tersedia di sana?” “Katanya, supaya aku tidak frustasi berada di ruangan yang sepi seorang diri.” “Apa?!” Jen benar-benar kehabisan kata-kata. Ini aneh, terlalu aneh. Hans menarik nafas dalam. “Baiklah. Kira-kira, Anda mencurigai seseorang? Atau Anda bisa menduga kira-kira apa motif si pelaku menculik Anda?” Rangga menghela nafas. Meneguk air mineral di hadapannya. “Entah sudah berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menduga-duga siapa kemungkinan yang melakukan itu padaku. Tapi, pikiranku benar-benar buntu. Kejadian itu seperti main-main. Mana ada penculik yang memberi makan korbannya dengan makanan yang enak? Bahkan memberikanku obat pereda nyeri saat aku sakit kepala. Memberikanku tablet untuk bermain gim saat aku sedang frustasi. Memberiku koran agar aku tahu kondisi di luar sana selama aku terkurung. Apa sebenarnya maunya? Apa sebenarnya tujuannya? Aku juga ingin tahu.” Rangga terlihat frustasi. Ia memijit pelipisnya. Wajahnya juga terlihat pucat. Jen menyentuh lengan Hans, memberi isyarat untuk menghentikan proses interogasi. Hans mengangguk setuju. “Baiklah, Pak Rangga.” Hans berdiri. “Terima kasih banyak atas kerja sama Anda hari ini.” Ia mengulurkan tangan, melemparkan senyuman. “Sudah selesai?” Tanya Rangga bingung. Hans mengangguk. “Kami tidak ingin mengganggu waktu istirahat Anda lebih banyak. Tapi, bukan berarti ini berakhir. Kami masih memerlukan kerja sama Anda untuk menangkap pelaku. Mohon kerja samanya.” “Baiklah.” Rangga ikut berdiri. Menyambut uluran tangan Hans. “Sekali lagi terima kasih, kami pamit undur diri.” Jen ikut mengulurkan tangan. Rangga segera menyambut tangan Jen. “Gis, bisakah kamu tinggal di sini lebih lama?” Suaranya terdengar lemah. Jen tersenyum, menggeleng. “Maaf, Pak. Terakhir kali saya mengiyakan ajakan Anda untuk tinggal, saya justru mendapat perlakuan yang tidak pantas. Jadi ke depannya, saya tidak akan membiarkan diri saya hanya berduaan dengan Anda. Mohon dimengerti.” Jen menunduk sopan. Ia ingin membatasi interaksinya dengan Rangga hanya sebatas hubungan profesional. Alat perekam segera dimatikan dan dibereskan. Petugas polisi yang ikut bersama mereka ikut pamit undur diri. “Apa hubunganmu dengan Pak Rangga, Jen?” Hans bertanya ketika mereka sudah keluar ruangan. “Tidak ada yang istimewa, hanya saja dulu saya pernah mengenalnya, Pak.” Jen mengangkat bahu. Berusaha terlihat tak peduli. “Teman lama?” “Hm, bisa dibilang begitu.” “Teman apa? Kuliah?” “Ah, maaf, Pak. Bisa kita akhiri saja topik ini? Anggap saja hubungan saya dan Pak Rangga hanya sebatas hubungan profesional.” Jen tersenyum canggung. “Baiklah jika itu maumu.” Mereka menuruni anak tangga, berpamitan pada tukang kebun yang sibuk memotong rumput. “Bukannya kasus ini sangat aneh?” Tanya Jen begitu mereka sudah duduk di dalam mobil Hans. “Benar.” Hans memasang sabuk pengaman. Mulai menyalakan mesin mobil. “Benar kata Pak Rangga, pelaku seperti sedang bermain-main. Mana ada penculik yang baik sekali begitu?” Hans mengangguk tanpa menoleh. Matanya fokus melihat jalanan di hadapannya. “Ada yang sangat membuatku penasaran, bagaimana pelaku itu memindahkan orang sebesar Pak Rangga tanpa meninggalkan jejak?” “Itu juga. Kayak nggak mungkin.” Jen mengusap dagunya. “Kita harus bergerak cepat, Jen. Penculik itu sudah mendapatkan uang dua miliar lebih, aku khawatir dia akan bergerak lebih cepat dari kita. Uang sebesar itu sangat cukup untuk membuatnya kabur dari negara ini dalam sekejap dan menghapus bukti-bukti.” “Siap, Pak.” Jen memperbaiki duduknya. “Tapi, kita mau ke mana ini , Pak?” “Ke kantor dulu.” “Oh iya, saya curiga ruangan tempat Pak Rangga dikurung itu sebenarnya ruang bawah tanah.” Jen belum ingin berhenti membahas kasus itu. “Aku juga. Karena itu kita kembali dulu ke kantor. Di negara kita, penggunaan ruang bawah tanah itu tercatat. Tapi menyisir setiap rumah yang punya ruang bawah tanah akan memakan sangat banyak waktu. Kita butuh tenaga ekstra, Jen.” Jen tersenyum. Ia selalu suka bekerja dengan Hans. Laki-laki itu sedikit sekali berbasa-basi, jarang menunjukkan emosi, cerdas, dan straight to the point. Banyak sekali hal yang bisa ia pelajari darinya. Dan kasus ini sepertinya akan memberi mereka banyak pelajaran. *** Keesokan harinya, Hans dan Jen berbagi tugas. Hans bertanggung jawab mencari lokasi tempat Rangga dikurung. Tentu saja dibantu oleh aparat kepolisian. Tak kurang dari 50 petugas polisi dikerahkan untuk menyisir setiap rumah yang tercatat memiliki ruang bawah tanah. Daerah penyidikan mereka masih seputar ibukota. Menurut Hans, kecil kemungkinannya tempat itu berada di luar ibukota. Karena untuk memindahkan tubuh Rangga tanpa membangunkannya, pasti butuh waktu yang sedikit. Jadi, jika lokasinya ada di luar ibukota, butuh waktu lama untuk si pelaku menyelesaikan misinya. Dan kemungkinan Rangga untuk terbangun di tengah perjalanan akan semakin besar. Sedangkan Jen bertugas atas keamanan di sekitar Rangga. Hari ini, Rangga sudah mulai melakukan aktivitas seperti biasa. Salah satunya masuk kantor. Karena itu, tadinya Jen hendak menugaskan seseorang untuk menyamar sebagai sekretaris atau posisi apapun asal selalu berada di sekitar Rangga tanpa menarik perhatian. Namun, Hans menolak. Ia menugaskan Jen untuk melakukan hal itu. "Bapak mau menyiksa saya, ya?" Jen bersungut-sungut. "Maksudmu?" Hans sedang bersiap untuk melakukan penyidikan. "Bapak 'kan tahu saya menghindari berduaan dengan laki-laki itu. Kenapa harus saya menjalankan tugas itu?" "Siapa bilang kamu harus berduaan dengannya? Kamu menyamar jadi sekretarisnya bukan pacarnya." Jen tersentak. Mukanya seketika memerah. "Baik, Pak." Suaranya melunak. Hans mendengus. "Aku pergi dulu. Tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Akan ada beberapa petugas yang menyamar jadi karyawan. Jika terjadi sesuatu, kalian bisa bergerak lebih cepat." "Siap, Pak!" Jen mengangkat tangan kanannya, menempelk ujung jarinya ke pelipis. "Lalu…" Hans mendekat, menyentuh pundak Jen lembut. "Kuasai dirimu, Jen." Deg! "Siap, Pak!" Jen menegakkan punggungnya. "Maaf…" Suaranya terdengar lirih. Brak! Hans keluar ruangan. "Aaakh!" Jen menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ini sungguh memalukan. Sedetik kemudian ia tersadar. Bukan saatnya meratapi tingkah konyolnya. Ia harus memberitahu Adit soal tugasnya. "Jen!" Sebelum sempat Jen menelepon Adit, Roni sudah memasuki ruangan. "Ada apa?" "Aku dapat surat perintah dari Pak Hans untuk menemanimu mengawasi keamanan di sekitar Pak Rangga, apa maksudnya?" Roni duduk di salah satu kursi. Jen tak segera menjawab. Ia menatap Roni tak percaya. "Hah! Bisa gila aku!" Serunya sembari mengusap kepala. "Hei, jawab aku! Pak Hans menyuruhku bertanya padamu. Jen menelan ludah. Duduk di hadapan laki-laki jangkung itu. "Kita akan menyamar jadi karyawan perusahaan Pak Rangga. Aku ditugaskan jadi sekretaris. Tapi aku tidak tahu di mana bisa menempatkanmu. Jadi, gimana kalau kita tanya dulu pada sekretaris asli Pak Rangga?" "Oke. Ide bagus." Jen segera meraih ponselnya. Menghubungi nama yang belakangan ini paling sering ia hubungi. Tuut… tuut… Nada sambung terdengar. “Halo?” Suara di seberang menjawab, terdengar segar di hari yang masih pagi ini. “Selamat pagi, Pak Adit.” “Pagi, ada apa?” “Anda sudah di kantor?” “Sedang dalam perjalanan. Kenapa?” Jen melirik Roni sejenak. “Kami mendapatkan tugas untuk menjaga keamanan di sekitar Pak Rangga dengan menyamar sebagai karyawan di sana. Khusus untuk saya, Pak Hans menugaskan saya untuk menyamar menjadi sekretaris. Tapi, saya bingung tentang penyamaran petugas polisi lainnya. Bagaimana menurut Anda?” “Wah, itu ide bagus!” Suara Adit terdengar ceria. “Tadinya saya berencana menyewa bodyguard atau semacamnya, tapi kalau pihak kepolisian sudah bertindak, sepertinya menempatkan bodyguard jadi tidak diperlukan, ya?” “Sebaiknya memang tidak menempatkan orang yang mencolok. Karena pelaku belum tertangkap, kita tidak bisa memancingnya untuk muncul jika di sekitar Pak Rangga ada orang-orang yang mencolok seperti bodyguard atau semacamnya. Tenang saja, petugas kami sudah terlatih melakukan hal seperti ini. Kami bisa bertindak lebih cepat dan efektif daripada bodyguard.” Jen sangat yakin dengan kalimatnya. Adit terkekeh. “Baiklah. Datanglah ke kantor sekarang. Saya akan menjelaskan banyak hal. Oh ya, petugas polisi lainnya biarkan menunggu di tempat yang tidak jauh dari kantor. Sementara Anda sebaiknya datang ke kantor dengan memakai pakaian formal.” “Oke, siap.” “Sampai ketemu di kantor.” Adit memutus sambungan telepon lebih dulu. Jen segera bersiap. “Berapa orang yang ditugaskan Pak Hans untuk menyamar?” Tanya Jen. “Lima orang.” “Oke. Ajak mereka semua ke kantor Aryuda Food sekarang juga. Tunggulah di tempat yang dekat dengan perusahaan. Usahakan jangan terlalu mencolok.” “Siap.” Roni beranjak. Segera keluar ruangan. *** Sejauh yang Jen ingat, ia hanya mengenakan rok ketika memakai seragam sekolah. Selebihnya ia lebih suka mengenakan celana. Menurutnya, rok itu tidak fleksibel untuk bergerak. Tapi hari ini, demi penyamarannya, ia terpaksa memakai rok span sepanjang bawah lutut. Memakai kemeja lengan panjang yang dipadukan dengan jas wanita formal. Kakinya yang lebih sering dibalut sandal jepit atau sepatu kets, kini harus akrab dengan sepatu pantofel dengan hak setinggi 3 cm. “Ini menyusahkan!” Jen menggerutu. Ia sudah tiba di kantor. Sedang menaiki lift menuju lantai dua puluh. Ting. Pintu lift terbuka. “Sudah datang?” Rupanya Adit sudah menunggunya. “Masih belum banyak yang datang, ya?” Jen celingukan. Lantai dua puluh ini terlihat masih sepi. “Iya. Jam masuk kantor itu jam delapan.” Jen mengangguk-angguk. “Kemarilah!” Adit mengajaknya duduk di balik meja sekretaris. “Lima orang polisi yang akan menyamar, sebaiknya ditempatkan di divisi yang dekat dengan ruang CEO. Supaya memudahkan kalian bergerak jika terjadi sesuatu. Bagaimana?” “Oke, setuju. Tapi, bagaimana kalau salah satu polisi ada yang menyamar sebagai satpam? Jika ada tanda-tanda orang mencurigakan, dia bisa langsung memperingatkan kita.” “Setuju.” Mereka sudah mencapai kesepakatan. “Dua orang polisi sebaiknya masuk ke tim perencanaan, ruangannya ada di lantai dua puluh ini juga. Lalu dua orang lainnya, bagaimana kalau di tim pemasaran? Ruangannya ada di bawah lantai ini.” “Oke, baiklah. Aku akan menyampaikan ke mereka.” “Suruh mereka masuk ke kantor sudah menggunakan pakaian formal.” “Siap.” “Lalu, sekarang aku akan menjelaskan tugasmu sebagai sekretaris.” Adit mengambil sebuah buku tebal. Menyerahkannya pada Jen. “Apa ini? Aku ‘kan cuma menyamar.” Jen menolak. Mendorong buku tebal itu. “Justru karena menyamar itulah kamu harus terlihat natural. Jadi, ayo belajar dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN