"Violet di kamarnya, Mbok?" tanya Ryota pada Darmi. Sepulangnya dari Advaith hari ini, hal pertama yang Ryota lakukan adalah masuk ke rumah utama dan mencari Darmi untuk menanyakan keadaan Vio. Hal ini sudah mulai jadi kebiasaan baru bagi Ryota sejak Devan meninggal.
"Iya, Mas." Darmi mengangguk sedih.
Dari wajah pelayan tua itu, Ryota sudah bisa mengambil kesimpulan. "Masih belum mau keluar kamar?"
Darmi langsung mengangguk mengiakan. "Terakhir keluar kamar itu waktu ikut sama Mas Ryo ke kantor."
Kejadian Vio ikut ke Advaith itu berarti sudah berlalu dua hari. Memang sepulangnya dari Advaith, Vio terlihat murung. Mungkin gadis itu terlalu syok mendengar keputusan ayahnya. Ryota sendiri sama terkejutnya, tetapi ia lebih bisa mengendalikan diri dan tetap terlihat tenang.
"Kalau makan mau?" tanya Ryota.
Kembali Darmi menggeleng. "Tidak mau juga, Mas."
"Sedikit juga tidak mau?"
"Sama sekali tidak mau, Mas. Terakhir makan ya waktu Mas Ryo suapi itu."
Ryota mengernyit tidak suka. Terakhir ia menyuapinya itu berarti tiga hari yang lalu. "s**u mau?"
"s**u juga ditolak, Mas."
"Ya, Tuhan …. Mau apa anak ini sebenarnya …," desah Ryota khawatir. Tanpa sadar Ryota memijat pelipisnya. Dua pekan terakhir tiba-tiba terasa begitu berat untuknya. Tidak pernah sebelumnya Ryota merasa tugasnya begitu berat selama bekerja pada Devan Brajamusti. Namun, sejak Devan mengalami kecelakaan lalu meninggal, beban di pundak Ryota seolah langsung bertambah berkali-kali lipat.
"Jangan dimarahi ya, Mas,” pinta Darmi sungguh-sungguh. “Kasihan. Non Vio pasti terpukul sekali ditinggal Tuan Devan."
Ryota mengangguk cepat. Ia juga tidak berniat memarahi gadis itu. Hanya saja Ryota juga tidak tahu harus menghadapinya dengan cara bagaimana. "Saya lihat Vio dulu, Mbok."
Ryota melangkah mantap menuju kamar Vio, membuka pintu tanpa mengetuk karena khawatir gadis itu sedang tidur. Ia melongokkan kepala ke dalam kamar dan seketika itu juga tersentak.
"Violet!" serunya terkejut. Ryota langsung menghambur masuk dan menghampiri Vio yang tergeletak di lantai dekat dengan pintu kamar mandi. Diangkatnya tubuh gadis itu lalu memindahkan Vio ke tempat tidur.
Ryota menepuk pipi Vio, berusaha membangunkan gadis itu. "Violet, kamu bisa dengar saya?"
Perlahan rasa cemas mulai menghinggapinya. Segera Ryota memanggil dokter pribadi keluarga Brajamusti, menjelaskan keadaan Vio secara singkat dan memintanya untuk datang. Saat menunggu kedatangan dokter, Ryota diliputi ketakutan. Wajah Vio begitu pucat dan tubuhnya dingin.
Begitu dokter tiba, Ryota langsung merasa lebih baik. Ia bahkan tetap berjaga di kamar Vio, menemani dokter memeriksa keadaan gadis itu.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" Ryota tidak bisa menahan pertanyaannya lebih lama lagi.
"Vio mengalami dehidrasi berat, ditambah mentalnya yang pasti sangat terguncang, jadilah seperti ini," ujar Rudi iba. Ia adalah dokter pribadi yang sudah merawat keluarga Brajamusti selama puluhan tahun. Ia tidak ubahnya sahabat bagi Devan, hingga Rudi paham benar apa yang tengah Vio alami saat ini. Jangankan putrinya, ia saja merasa sangat kehilangan Devan.
"Apa perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Ryota khawatir. Meski ia sudah melihat Vio diberi cairan infus, tetapi selama gadis itu belum kunjung membuka matanya, Ryota masih merasa cemas.
"Sementara tidak perlu. Dirawat di rumah saja dulu. Saya sudah berikan infus untuk mengganti kekurangan cairan dan nutrisinya. Tapi setelah Vio sadar, paksa dia untuk makan ya. Kalau dibiarkan terus, pencernaannya bisa bermasalah."
Lama setelah dokter meninggalkan kamar Vio, Ryota tetap berjaga di sana untuk menemani gadis itu. Rasanya tidak tenang meninggalkan Vio sendiri. Ryota perlu memastikan sendiri kalau gadis itu memang baik-baik saja. Bahkan Ryota sampai jatuh tertidur di kamar Vio, dalam posisi duduk di kursi dekat tempat tidur.
Pagi harinya, Ryota terbangun karena sinar matahari yang menyusup masuk ke kamar Vio. Hal pertama yang ia lakukan saat terbangun adalah memeriksa kondisi gadis itu. Rupanya Vio masih tetap tertidur, tetapi satu hal yang membuat Ryota sedikit tenang, wajah gadis itu tidak lagi sepucat semalam. Tubuhnya pun tidak lagi dingin seperti orang mati.
Ryota tetap tidak beranjak dari sana hingga akhirnya gadis itu sadar. Vio terlihat mengerjap kebingungan, tetapi tidak bersuara sama sekali. Ketika pandang mereka bertemu, Ryota langsung bertanya. "Kamu ingat yang terjadi?"
Vio merespon dengan menggeleng lemah.
"Kemarin kamu pingsan di kamar ini, sendirian. Kalau saya tidak masuk ke sini untuk memeriksa kamu, tidak ada yang tahu kalau kamu pingsan."
Violet tetap diam. Hanya sorot matanya saja yang menandakan ia mendengarkan ucapan Ryota.
Ryota memajukan kursi yang ia duduki hingga kini posisinya sangat dekat dengan Vio. Ditatapnya gadis itu sedemikian rupa kemudian bertanya gusar. "Violet, apa kamu berniat bunuh diri secara perlahan?"
Vio masih tetap bungkam. Namun dari sorot matanya terlihat pancaran rasa bersalah. Memang pikiran itu sempat terlintas dalam benak Vio. Berkali-kali bahkan. Ia terlalu kalut juga terkejut dengan semua perubahan mendadak yang terjadi dalam hidupnya, hingga gadis itu tidak bisa berpikir rasional.
"Mulai hari ini, tidak ada lagi mogok makan, oke? Saya tidak mau sampai ada kejadian seperti kemarin lagi. Suka atau tidak kamu harus makan. Kalau kamu menolak, saya akan paksa kamu makan bagaimanapun caranya," ujar Ryota tegas.
"Kamu enggak kerja?" tanya Vio lemah untuk mengalihkan pembicaraan.
"Saya akan di sini untuk mengawasi kamu sampai kamu sembuh."
"Mas Ryo …," bisik Darmi yang melongok di pintu kamar Vio.
"Ya, Mbok?"
"Ini sarapan buat Non Vio," ujar Darmi sepelan mungkin karena dikiranya Vio masih tidur.
"Bawa masuk, Mbok." Ryota melambai memanggil Darmi. "Taruh di sini saja, biar nanti saya yang suapi."
Ketika meletakkan nampan di atas nakas, barulah Darmi tahu bahwa Vio sudah sadar dan wanita itu langsung mendesah lega. “Syukurlah Non sudah bangun.”
"Mbok, tolong bantu Violet membersihkan diri dan berganti pakaian dulu,” pinta Ryota. “Kalau susah melakukannya sendiri, minta pelayan lain untuk bantu. Saya tunggu di luar dulu, setelah itu baru saya suapi Violet."
"Aduh, Non …,” desah Darmi lega saat tengah membantu menyeka tubuh Vio dengan handuk hangat. “Mbok takut sekali lihat Non Vio kemarin. Jangan begitu lagi ya, Non."
"Mbok yang temuin aku pingsan?" tanya Vio penasaran. Ia ingin bertanya sejak tadi, tetapi tidak berani pada Ryota. Wajah pria itu terlihat menyeramkan pagi ini.
"Bukan, Non. Kan Non larang Mbok masuk lagi ke kamar Non. Untung Mas Ryo masuk loh, Non. Kalau enggak, enggak tahu gimana nasib Non Vio."
"Ryota di kamar aku terus, Mbok?" Entah mengapa, memikirkan kemungkinan ini saja jantung Vio langsung berdebar tidak normal.
"Iya, Non. Setahu Mbok sih begitu. Paling cuma keluar sebentar terus balik lagi."
"Semalaman di sini?" tanya Vio dengan wajah yang sudah memerah.
"Iya, Non."
Dalam hati Vio jadi bertanya-tanya, apa yang semalam dilihatnya adalah ilusi, mimpi, atau memang nyata. Sepanjang malam, sesekali Vio terbangun dan melihat sesosok pria berbaring di sisinya. Terkadang sosok itu hanya berbaring diam, tetapi kadang sosok itu mengusap lembut kepalanya. Pikirnya ia tengah bermimpi melihat Devan, karena dulu setiap kali dirinya sakit maka ayahnya akan berjaga semalaman menemani Vio.
Ketika Ryota kembali ke kamar usai Vio berganti pakaian, gadis itu jadi tidak berani menatapnya. Sebisa mungkin Vio menghindari bertatapan dengan Ryota.
"Sekarang makan ya?" bujuk Ryota setengah memaksa.
"Hm." Maka, ketika Ryota menyuruhnya untuk makan pun, Vio tidak banyak membantah demi tidak perlu bertatap muka dengan pria itu saat ini.
"Setelah makan, saya ajak kamu keluar," ujar Ryota sambil mulai menyuapi Vio.
"Ke mana?"
"Ke halaman belakang saja. Kamu perlu berjemur."
Vio langsung menggeleng lesu. "Aku mau di sini aja."
Ryota menaikkan kedua alisnya lalu mengembuskan napas perlahan. "Violet, sampai kapan kamu mau mengurung diri di kamar?"
Vio tidak bisa menjawab. Ia hanya tertunduk dan memainkan selimut dengan ujung jarinya.
“Kamu tidak mau mencoba beraktivitas normal?” tanya Ryota.
Vio menggeleng lesu. "Aku enggak ada semangat buat ngapa-ngapain."
"Apa dengan mengurung diri di kamar bisa mengembalikan semangat kamu?" tanya Ryota sedikit tajam.
Vio cukup tersentak mendengar kata-kata Ryota barusan.
"Yang ada kamu malah akan makin terpuruk, Violet." Ryota menggeleng gusar. "Jangan lupa kamu masih harus kuliah."
"Harus?" gumam Vio tanpa sadar. Vio bahkan sudah lupa kalau ia harus kuliah. Rutinitas itu seakan sudah jauh berlalu. Seolah merupakan bagian dari satu kehidupan di masa yang lain. Janggal. Semua terasa tidak nyata sejak ayahnya tidak ada.
"Harus." Ryota mengangguk tegas. "Setelah sembuh, kamu harus pergi kuliah setiap hari."
"Kenapa kamu repot-repot ngurusin aku?" gumam Vio heran. Selama ini, Ryota tidak pernah dekat dengannya. Meski setengah mati Vio memendam rasa untuk pria ini, tetapi tidak sedikit juga ada keberanian untuk mendekati, karena Ryota bagai sosok yang tidak tersentuh.Vio mudah akrab dengan staf ayahnya yang lain, apalagi yang pernah bekerja langsung di rumah, tetapi khusus dengan Ryota tidak berlaku.
"Andai kamu bisa mengurus diri kamu sendiri, saya juga tidak akan begini," jawab Ryota datar.
"Jadi menurut kamu, aku kayak anak kecil?" tanya Vio sedikit sebal.
"Saya tidak bilang kamu anak kecil. Hanya belum bisa mengurus diri sendiri saja."
***
Ryota terbukti merupakan seorang pria yang selalu menepati kata-katanya. Ia benar-benar tidak beranjak dari kamar Vio sampai gadis itu sembuh. Lalu ketika Vio sudah sembuh, Ryota benar-benar melaksanakan niatnya untuk menyeret gadis itu kembali kuliah.
"Kamu kenapa tiap hari antar jemput aku? Takut aku kabur?" tanya Vio sedikit jengkel. Sudah dua minggu ia kembali kuliah, dan selama itu juga selalu Ryota yang menemaninya. Mengantarnya ke kampus, menjemputnya kembali dan mengantar ke rumah. Vio bahkan tidak mengerti bagaimana Ryota bisa tahu jadwal kuliahnya sementara Vio sendiri saja sering lupa.
"Bukan. Saya hanya berusaha menjaga kamu, situasi sekarang masih belum stabil."
"Berhubungan sama Papa?" tanya Vio kecut.
"Hm." Ryota mengangguk kecil. Matanya tetap fokus menatap jalanan di depan.
Sebenarnya, ada satu keuntungan yang Vio rasakan setiap kali diantar jemput oleh Ryota. Ia jadi bisa menikmati profil pria itu sepuas hatinya, dan bagi Vio, kegantengan Ryota meningkat berkali-kali lipat saat dinikmati dari samping. Apalagi wajah serius Ryota yang tengah mengemudi. Benar-benar sebuah pemandangan yang sayang dilewatkan. Sayangnya, pria itu terlalu kaku dan irit bicara. Kalau tidak diajak bicara duluan, Ryota bisa diam sepanjang jalan.
"Kalau kamu sibuk jagain aku, urusan di Advaith gimana?" tanya Vio penasaran.
"Untuk saat ini, keselamatan kamu yang terpenting."
"Apa emang segitu bahayanya musuh Papa?" Tiba-tiba saja Vio jadi merasa ngeri. Selama ini ia tidak banyak tahu tentang sepak terjang ayahnya.
"Sebenarnya papa kamu tidak ingin kamu tahu soal ini, tapi sekarang kamu memang harus tahu,” ujar Ryota akhirnya. “Hidup Papa kamu sebagai aktivis selalu penuh bahaya. Itulah sebabnya papa kamu mempekerjakan orang-orang seperti saya."
Kalau soal ini, Vio tahu sedikit. Ia pernah bertanya pada ayahnya mengapa banyak staf keamanan di rumah mereka, tidak seperti rumah orang normal lainnya. Kalau bicara soal harta, Devan Brajamusti memang cukup berlimpah. Namun, untuk disebut golongan konglomerat, tidak juga. Maka dari itu Vio merasa aneh dengan banyaknya orang yang menjaga keamanan di rumah mereka. Saat itu Devan menjelaskan bahwa profesinya sebagai rektor di salah satu universitas bergengsi juga kiprahnya sebagai aktivis kesetaraan hak, membuat dirinya menjadi tokoh masyarakat yang cukup disoroti. Hal itu mengharuskan Devan menjaga dirinya baik-baik, karena keselamatannya sangat berarti bagi orang-orang yang nasibnya tengah ia perjuangkan.
"Siapa yang mau celakain Papa?"
"Biasanya orang-orang dari kalangan politik."
"Tapi Papa kan enggak terjun ke dunia politik."
"Papa kamu memang tidak terjun langsung di dunia politik, tapi orang-orang yang hidupnya diperjuangkan oleh papa kamu biasanya berhubungan dengan isu-isu politik yang terjadi di negara ini. Itu artinya, secara tidak langsung keberadaan papa kamu jadi ancaman buat mereka."
"Apa masalah yang pernah terjadi di Advaith juga berhubungan dengan itu?" Beberapa kali Vio pernah mendengar Advaith tersandung masalah, tetapi persisnya apa ia tidak tahu.
"Begitulah."
"Kok bisa?"
"Masalah itu kebanyakanan karena papa kamu bersedia membantu menerbitkan tulisan yang mengangkat isu sensitif, sementara penerbitan lain tidak ada yang berani." Ini merupakan salah satu hal yang sangat Ryota kagumi dari sosok Devan Brajamusti, yang membuatnya setia mengawal pria itu meski hidupnya banyak ancaman.
"Kalau hidup Papa segitu bahayanya, apa kamu enggak takut melanjutkan pekerjaan Papa?"
"Tidak,” jawab Ryota tanpa ragu. “Saya akan meneruskan semua yang sudah Papa kamu lakukan. Mengurus Advaith, melanjutkan perjuangannya sebagai aktivis, juga menjaga kamu."