"Vio! Congrats!" seru Ry heboh saat mereka bertemu di cafe tempat Vio akan mentraktir ketiga sahabatnya.
Tita menghambur memeluk Vio yang masih mengenakan kebaya cantik berwarna kuning gading karena belum sempat berganti pakaian. "Yeay, akhirnya jadi sarjana juga!"
"Selamat ya Vio sayang, akhirnya selesai juga kuliahnya." Usai berpelukan dengan Tita, kini giliran Mia yang memeluknya erat.
"Makasih semua," ujar Vio malu jika teringat perjalanan panjang untuk bisa berada di titik ini.
Sungguh bukan suatu hal mudah bagi seorang Violetta Davira Brajamusti untuk melanjutkan hidupnya setelah kepergian sang ayah. Ia benar-benar membutuhkan banyak waktu untuk bisa menerima kenyataan dan belajar menjalani lagi hidupnya dengan normal. Hal yang paling terkena dampak dari guncangan itu adalah kehidupan perkuliahannya.
Meski Ryota sudah memaksanya untuk ke kampus setiap hari, semua ternyata percuma. Tubuh Vio memang di kampus, tetapi pikirannya entah ke mana. Hingga Vio mengakhiri semester 5 ketika itu dengan babak belur. Hampir 80% dari mata kuliah yang diambilnya semester itu gagal. Bahkan setelah itu Vio memutuskan untuk mengambil cuti selama setahun. Tidak ada yang bisa menentang keputusannya itu. Pada akhirnya, kuliah yang seharusnya akan selesai dalam waktu satu setengah tahun lagi, baru bisa Vio tamatkan tiga tahun setelah kepergian ayahnya.
Dan hari ini merupakan perayaan kelulusan Vio. Hari wisuda yang dinanti itu akhirnya tiba. Usai menghadiri prosesi wisuda di kampusnya, Vio langsung bertemu dengan ketiga sahabatnya untuk merayakan hari ini.
"Welcome to the next step!" ujar Tita senang.
"Next step apa? Kerja?" tanya Vio malas.
"No no no." Tita langsung memainkan jari telunjuknya di depan wajah Vio.
"Terus?" tanya Vio lagi.
"Nikah dong!" sahut Ry bersemangat.
"Hah?" Sontak Vio melongo.
"Ck! Jangan pura-pura lupa sama wasiat papa kamu itu." Mia berdecak mengingatkan.
"Duh, kenapa diingetin sih?" keluh Vio lesu.
"Pura-pura lupa padahal ngarep cepet-cepet dikawin," sindir Mia kejam.
"Ih, Mbak! Enggak gitu juga," protes Vio dengan wajah memerah.
Andai hubungannya dengan Ryota mengalami perkembangan yang berarti, tentu Vio akan bersukacita menyambut wasiat ayahnya untuk menikah. Masalahnya, meski tiga tahun telah berlalu, tidak ada yang berubah di antara mereka. Tidak jadi lebih akrab, tidak jadi lebih sering mengobrol. Rasanya sama saja seperti tiga tahun lalu, bahkan mungkin lebih parah sekarang.
"Eh, dia enggak dateng?" celetuk Tita usil.
"Dia siapa?" sahut Vio berlagak tidak paham.
"Calon suami Vio dong!" sahut Ry gemas.
"Mas Ryota," imbuh Tita sejelas-jelasnya.
"Tadi dateng. Begitu acara selesai udah enggak ada," jawab Vio santai. Padahal dalam hati, ada sedikit kecewa yang ia rasa. Pikirnya Ryota akan terus menemaninya hingga acara selesai, bukan hanya datang di awal lalu menghilang.
"Bilang apa dia?" tanya Mia penasaran.
Vio mengangkat bahunya. "Cuma bilang selamat."
Ry menjawil pipi Vio. "Babang Ryo ngasih apa?"
Vio menepis tangan Ry lalu menjawab datar. "Bunga."
"Ck!" Ry berdecak gemas. "Enggak asik. Standar banget."
"Emang harusnya ngasih apa?" tantang Vio jengkel.
"Ya apa gitu, yang beda sama orang lain," sahut Ry dengan wajah centil.
Vio menggerutu pelan. "Dia inget dateng aja udah sukur."
"Segitunya," goda Mia.
"Dia kan sibuk banget, Mbak."
Mia manggut-manggut geli lalu dengan jailnya mengajukan satu pertanyaan lain yang sangat sensitif. "Dia enggak singgung soal nikah?"
Kini Vio langsung memutar bola matanya dan memasang wajah malas. "Boro-boro."
Tita memajukan tubuhnya dan bertanya sok serius. "Selama ini kalian enggak pernah bahas apa-apa?"
"Apa yang dibahas?" balas Vio ketus. "Ketemu aja jarang."
Ry ikut menimpali pertanyaan Tita. "Kalo pas ketemu, Vio sama Babang Ryo ngobrolin apa?"
"Enggak pernah ngobrol. Dia enggak suka ngomong."
"Bentar bentar," potong Mia cepat. Ditatapnya Vio dengan pandangan menyelidik. "Hubungan kalian sebenernya gimana sih?"
"Ya …, gitu aja," jawab Vio bingung.
"Kayak orang pacaran?" tebak Tita.
"Enggak."
"Enggak ada kemajuan sama sekali sejak tau kalian harus nikah?" tanya Mia heran.
"Enggak. Malah sikapnya waktu awal-awal Papa enggak ada masih lebih baik dari sekarang. Sekarang sibuk banget dan enggak ada waktu buat aku," aku Vio sedih.
Sebenarnya, Vio paling tidak mau membahas hal ini. Ia paling anti membicarakan hal-hal yang membuatnya sedih dan kesal, tetapi sesekali ia butuh juga mengeluarkan unek-unek. Lagi pula, ketiga orang ini bisa dipercaya.
"Astaga," desah Tita ngeri. "Kirain tiga tahun berlalu bakal banyak perubahan. Yang tadinya enggak kenal jadi apet lengket enggak terpisahkan."
"Gue kira juga gitu." Vio mengangguk setuju. Teringat bagaimana naifnya dia tiga tahun lalu. Bermimpi jika suatu saat kelak dirinya dan Ryota akan memadu kisah romantis di antara mereka. Berharap waktu-waktu yang dilalui bersama akan mendekatkan mereka. Nyatanya, semua salah. "Taunya enggak tuh."
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, memang banyak perubahan yang terjadi dalam hidup Vio. Ia yang dulu tidak pernah merasa membutuhkan sahabat, tiba-tiba saja terjerat dalam persahabatan aneh dengan orang-orang yang tidak kalah anehnya. Awalnya Vio hanya cukup akrab dengan Tita karena sering ikut terlibat dalam acara wedding yang gadis itu urusi. Lama-kelamaan mereka jadi sering mengobrol. Lalu mulailah Tita memperkenalkan Mia pada Vio, dan mereka pun jadi akrab. Terakhir, ada Ry yang tiba-tiba saja ikut tercantol bersama mereka.
Namun, perubahan itu hanya berkaitan dengan kehidupan persahabatannya. Sementara kisahnya dengan Ryota hanya jalan di tempat. Tidak ada perkembangan, tidak ada kemajuan. Semua tetap sama seperti tiga tahun lalu.
"Tapi Babang Ryo baik sama Vio?" tanya Ry iba.
"Baik sih baik. Tapi ya gitu aja. Enggak ada yang spesial." Lagi-lagi Vio mencoba bersikap cuek seolah sikap Ryota padanya bukanlah masalah besar.
"Tapi kamu jadinya tetap mau nikah?" tanya Mia hati-hati.
Vio mengembuskan napas perlahan lalu berseloroh. "Ya mau enggak mau, Mbak. Daripada Vio jadi gelandangan."
"Vio ada rencana mau kerja?" tanya Ry tiba-tiba.
"Males. Sementara sih kayak biasa aja." Bagi Vio, tidak ada satu pun pekerjaan yang menarik minatnya, karena hal yang sesungguhnya ia inginkan tidak bisa dilakoninya.
Cita-cita Vio adalah menjadi seorang penyanyi sekaligus pianis terkenal, tetapi hal itu ditentang oleh ayahnya. Satu-satunya dan untuk pertama kalinya Devan Brajamusti menentang keinginan Vio adalah ketika gadis itu menyampaikan niatnya untuk menjadi seorang musisi terkenal. Alasan Devan hanya satu, keselamatan Vio.
Pertimbangan ayahnya ketika itu, jika Vio menjadi artis, latar belakang keluarganya pasti jadi sorotan. Jika orang banyak tahu kalau Vio adalah putrinya, maka keselamatannya bisa terancam. Orang-orang yang selalu berusaha melenyapkan Devan, akan mengincar Vio juga.
Oleh karena itu, Vio hanya bisa melarikan mimpinya dengan menjadi pengisi acara di resepsi pernikahan, dan memberi les piano secara privat.
"Vio enggak disuruh kerja di Advaith?" tanya Ry lagi.
"Sampe sekarang sih belum ada omongan apa-apa soal itu."
Namun, ternyata jawaban Vio tidak sepenuhnya benar. Malam itu juga, sosok yang cukup banyak jadi bagian dari topik perbincangan mereka siang tadi, tiba-tiba saja muncul tanpa peringatan.
Malam itu, pintu kamar Vio diketuk saat dirinya baru saja akan bersiap tidur.
"Violet, kamu sudah tidur?" tanya suara di luar.
"Belum."
"Boleh saya masuk?"
Mendengar suara Ryota, jelas Vio langsung merasa heran. Sudah sangat lama rasanya sejak terakhir kali pria itu mampir ke rumah utama, apalagi singgah ke kamarnya. Vio yang tadinya sudah berbaring malas, cepat-cepat kembali duduk tegak, merapikan rambutnya sedikit, barulah akhirnya menyahut. "Masuk aja."
Ryota berjalan canggung memasuki kamar Vio lalu memutuskan duduk di dekat jendela. "Bisa kita bicara?"
Vio mengangguk kecil. "Mau ngobrol apa?"
"Apa rencana kamu setelah ini?" tanya Ryota tanpa basa-basi.
"Hm?" Vio yang memang sudah gugup, jadi kelimpungan begitu mendengar pertanyaan yang diajukan padanya. Harus jawab apa? Memangnya rencana apa yang sudah disusunnya? Vio tidak terbiasa menyusun rencana untuk hidupnya karena selama ini ada orang-orang yang selalu mengaturkan untuknya.
"Apa kamu mau kerja atau ada hal lain yang sudah kamu rencanakan?" tanya Ryota lagi.
Vio menggeleng bingung. "Belum sih. Job yang aku terima selama ini cukup menurut aku."
"Ada rencana kerja di Advaith?"
Dalam hati ia memuji Ry. Gadis itu sudah menanyakannya lebih dulu siang tadi. "Belum. Kenapa?"
"Tidak apa. Kalau suatu saat kamu mau kerja di Advaith, bilang saja. Saya akan bantu kamu mempelajari semua yang perlu diketahui," ujar Ryota tenang menjurus ke datar.
"Makasih," sahut Vio canggung. Jujur saja ia tidak berminat mengurusi Advaith. Viar saja Ryota yang mengelola. Dia tidak mau ambil pusing.
Perlahan Ryota bangkit lalu meletakkan sesuatu di pangkuan Vio. "Buat kamu."
Setelahnya, Ryota kembali duduk di tempat semula. Meninggalkan Vio yang kebingungan menatap kotak satin biru tua di pangkuannya.
"Apa ini?" tanya gadis itu bingung.
"Tadi siang Om Handi datang ke Advaith dan menitipkannya untuk kamu. Mungkin hadiah."
Saat diberitahu kalau ini adalah pemberia Handi Senjaya, sedikit banyak Vio kecewa. Tadinya ia sudah berharap kalau itu adalah hadiah dari Ryota. Nyatanya ia hanya terlalu percaya diri saja.
Vio membuka kotak yang terlihat mewah itu lalu menemukan seuntai kalung cantik di dalamnya. Namun, bukan itu yang mencuri perhatian Vio. Secarik kertas kecil di dalamnyalah yang membuat Vio mulas mendadak. Isinya hanya singkat saja, tetapi sanggup memberi efek ledakan yang cukup mematikan.
.
.
Selamat untuk kelulusan kamu, Vio.
Sekarang waktunya mempersiapkan pernikahan kamu dan Ryota.
.
.
Setelah membaca dua baris kalimat itu, Vio hanya bisa terdiam sambil menatap horor ke antara kertas dan Ryota secara bergantian.
"Kenapa?" tanya pria itu heran.
Vio meneguk liurnya susah payah sebelum akhirnya menjawab. "Om Handi ingetin soal nikah."
"Sudah waktunya ya …," gumam Ryota sambil mengembuskan napas perlahan.
Vio bisa menangkap keengganan dalam cara Ryota berekasi. "Kamu yakin mau ikutin rencana ini?"
"Apa ada pilihan lain?" balas Ryota datar.
"Entah." Vio menggeleng bimbang. Satu sisi ia bahagia karena akan menikah dengan pria yang sejak lama menjadi pemilik hatinya, tetapi di sisi lain ia takut. Pertanyaan itu selalu muncul. Bagaimana kalau Ryota tidak mencintainya dan hanya terpaksa saja? Namun, sisi bodoh dirinya selalu mengatakan kalau ia pasti bisa membuat Ryota jatuh cinta.
"Kita ikuti saja keinginan papa kamu," ujar Ryota setelah terdiam cukup lama.
"Kapan kita harus nikah?" tanya Vio gugup.
"Kapan saja kamu siap. Semua keperluannya sudah aku urus," jawab Ryota tenang.
"Keperluan seperti apa maksudnya?"
"Biaya. Surat-surat. Daftar undangan."
Vio cukup terkejut mendengar perkataan Ryota jika pria itu sudah membuat persiapan. "Apa kita menikah tahun depan?"
"Buat apa selama itu?" sahut Ryota. "Cepat atau lambat kita tetap harus menikah. Ditunda juga tidak bisa lari.
"Bukan gitu. Maksud aku kan masih harus ada yang disiapin. Butuh waktu."
"Semua sudah saya siapkan, Violet."
"Gedung? Pakaian? Dekorasi? Dan yang lain-lain. Itu udah disiapin juga?"
"Saya sudah pernah bertemu dengan Tita dan minta dia mengurus semuanya."
"Hah?" Vio hanya biss melongo sekarang. Setelah ini ia harus menginterogasi Tita dab menuntut penjelasan. Bisa-bisanya Tita tidak mengatakan apa-apa soal ini.
"Andai mau menikah bulan depan juga bisa," ujar Ryota lagi.
Pada akhirnya, keduanya menikah hanya dua bulan berselang setelah acara wisuda Vio. Waktu yang sangat singkat, tetapi hebatnya semua sudah dipersiapkan dengan cermat.