11. Hasrat yang Batal Tersalurkan

1741 Kata
Vio terbangun dengan rasa lelah yang amat sangat, seolah ia baru saja menyelesaikan perjalanan panjang ke tempat yang jauh. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, serta sekujur tubuhnya basah. Bahkan ketika membuka mata dan mencoba mengangkat kepala, semuanya tampak berputar. Ia bahkan sampai sulit mengenali tempat dan waktu. Untuk beberapa saat Vio malah terjebak dalam dimensi waktu yang salah akibat mimpi panjang semalaman. Mimpi-mimpinya saling tumpang tindih dengan kenangan dari waktu yang lalu. Barulah setelah menenangkan diri beberapa saat, Vio bisa memilah dengan benar memorinya. Ia bisa mengingat pertengkarannya dengan Ryota kemarin malam, mengingat bagaimana mereka berdua hampir terbakar nafsu, lalu bagaimana kejamnya pria itu meninggalkannya sendirian setelah mengucapkan kata-kata yang tajam menusuk. Vio juga baru sadar kalau sepanjang malam ia malah tidur di kamar Ryota sementara pria itu sama sekali tidak kembali.  Pantas saja ia bermimpi buruk sepanjang malam. Vio terlalu banyak berpikir dan menangis semalaman hingga jatuh tertidur dalam kondisi yang mengerikan. Masih di tengah kebingungannya, suara tua yang selalu setia menjaga gadis itu dari kecil terdengar sayup-sayup menyapa. "Non Vio …, sudah bangun?" "Mbok …," panggil Vio parau. Ketika mencoba bicara, baru Vio sadar kalau tenggorokannya sangat kering hingga terasa sakit saat dipaksa bicara. Mungkin ini akibat dirinya kebanyakan menenggak alkohol semalam.  "Non bisa bangun?" "Mbok …, haus …," rintih Vio. "Sini Mbok bantu duduk dulu, Non." Cepat-cepat Darmi menghampiri, membantu Vio beringsut duduk, lalu memberikannya segelas air. "Mbok kok tau Vio di sini?" Setelah minum, tenggorokannya tidak lagi sesakit tadi, meski masih kering juga. "Tadi subuh Mas Ryo yang kasih tahu Mbok, Non." "Dia bilang apa?" "Cuma titip tolong lihat-lihat Non Vio, takut demamnya naik." "Emang Vio demam?" Refleks tangan Vio terangkat untuk memeriksa keningnya sendiri. "Waktu Mbok periksa dua jam yang lalu Non Vio agak anget sih. Ini Mbok baru mau cek lagi." "Ryota tau dari mana Vio demam, Mbok?" "Kan Mas Ryo yang jagain Non Vio." Langsung saja Vio keheranan. Ia sama sekali tidak tahu kalau Ryota ada di sini bersamanya. Vio hanya ingat ketika pria itu meninggalkan kamar dengan marah dan tidak kunjung kembali. "Sekarang orangnya mana?"  "Sudah berangkat kerja, Non." "Enggak bilang apa-apa lagi?" "Cuma bilang tolong jagain Non Vio. Masak makanan yang berkuah dan bawakan pas hangat-hangat. Kalau Non Vio tiba-tiba parah, tolong kasih kabar. Itu aja, Non." "Enggak jelas banget jadi orang. Sebentar bilang suruh hidup sendiri-sendiri, jangan saling ikut campur. Sebentar sok perhatian," gumam Vio ketus. Namun, meski bibirnya bicara demikian, hatinya tidak sejalan. Wajahnya boleh terlihat jengkal, tetapi hatinya justru berbunga.  "Kenapa, Non?" tanya Darmi bingung melihat majikannya bergumam-gumam tidak jelas. "Bukan apa-apa, Mbok." Vio menggeleng cepat. Setiap kali memikirkan sikap Ryota, Vio masih tidak bisa mengerti. Memang selama ini juga pria itu tidak pernah menunjukkan perhatian besar atau kehangatan yang berlebih, tetapi Vio bisa mengingat dengan jelas kepedulian yang Ryota tunjukkan di awal-awal kepergian ayahnya. Vio bisa merasakan bagaimana pria itu berusaha membuatnya merasa lebih baik saat ia sedang terpuruk. Bahkan, sampai dua bulan lalu ketika Vio wisuda, sikap Ryota masih jauh lebih baik dibanding sekarang.  Anehnya, sejak mereka resmi menikah minggu lalu, Ryota malah terkesan menjauh dan sulit dijangkau. Padahal Vio sudah mengangankan sebuah pernikahan yang bahagia. Pikirnya ia bisa menemukan tempat bersandar dan bermanja, merasakan limpahan kasih sayang setiap hari, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Namun, di saat dirinya tiba-tiba sakit, pria itu kembali bersikap sok peduli. Memikirkannya membuat Vio jadi jengkel.  “Non mau apa?” Darmi langsung sigap memegangi Vio ketika melihat gadis itu turun dari tempat tidur. “Mau pindah ke kamar Vio, Mbok.” “Kata Mas Ryo, kalau Non Vio masih belum kelihatan sehat, tidur di sini dulu aja.” Mendengar pesan pria itu, Vio tidak bisa menahan senyum sinisnya. “Ngapain di sini kalo dianya juga enggak ada.” Entah Darmi mendengar gumaman Vio atau tidak, tetapi wanita tua itu langsung memapah tubuh majikannya. “Mbok bantu pindah ke kamarnya Non Vio ya.” Setelah membersihkan diri kemudian mengisi perut, barulah Vio merasa jauh lebih baik. Sambil berbaring santai di tempat tidurnya, ia memeriksa ponsel yang sejak tadi diabaikan. Notifikasi pesan dari kuartet cerewet sudah menumpuk saja.  . Tita: vio udah bangun? Tita: smlm gmna? Tita: mas ryo marah banget kayaknya ya? . “Oh, tentu! Si manusia enggak jelas itu marah dengan enggak jelasnya,” gumam Vio sinis. . Ry: Vio baik2 aja? Ry: Vio ngga diapa2in sama babang ryo? . Vio mendengkus geli. “Yang ada juga gue yang ngapa-ngapain dia kali.” . Mia: emang Vio sama Ryo kenapa? Mia: kenapa pada ga bales? Mia: kalian pada ngapain semalem? . Vio tersenyum geli membaca chat bernada penasaran dari Mia. Konyolnya lagi Tita dan Ry bisa-bisanya kompak menghilang bersamaan dan baru muncul kembali setelah cukup lama. . Ry: Vio minta ditemenin dugem mba Mia: ck! cari masalah aja kalian tuh! Tita: tita mah cuma dipaksa ikut mba.  Tita: diboongin malah Ry: Ry juga mana berdaya lawan kehendak maha ratu vio . “Kàmpret ….” Vio mengumpat jengkel karena merasa dipersalahkan oleh mereka. . Mia: terus ketauan sama Ryo? Ry: iya. Tau2 babang Ryo nongol  Tita: mana mas ryo nongol pas vio lagi nemplok ke gin. . “Astaga …! Ngapain gue nemplok-nemplok ke si Gin ya.” Vio meringis malu teringat kelakuan konyolnya semalam. . Ry: terus babang ryo bawa vio pulang Tita: digendong Ry: mukanya galak Tita: suaranya nyeremin Ry: aura2nya kayak pembunuh Mia: ngaco aja kalian! . “Dasar sinting semua!” Vio tergelak demi membaca pesan bersahutan antara Tita dan Ry yang sangat konyol. . Ry: eh mba. Mungkin ga kalo semalem Vio main tubles2an? Mia: emang kenapa? Ry: kan Vio lagi mabok tuh. Terus babang Ryo lagi emosi. Siapa tau aja mereka jadi … Mia: bisa jadi. Emosi tinggi sama alkohol itu perpaduan sempurna buat bikin horny Tita: duh mba udah pengalaman banget sih Ry: huuu Ry jadi merinding bayanginnya Tita: jangan dibayangin ry Tita: dosa! . Vio tidak bisa menahan jarinya lebih lama lagi. Segera diketiknya pesan balasan untuk mereka. .  Vio: kalian berisik banget . Begitu Vio muncul di grup, detik itu juga panggilan group call dari kuartet cerewet langsung masuk ke ponselnya. Perasaan Vio langsung diliputi curiga. Inginnya diabaikan saja, tetapi ia tahu mereka tidak akan menyerah sebelum puas mengganggunya.  “Wah! Akhirnya bangun juga!” Suara Ry yang melengking menyebalkan langsung menyambut Vio. “Ngapain pada video call gini sih?” tanyanya malas. “Mau liat wajah Vio yang berseri,” sahut Ry genit. “Boro-boro berseri, Ry. Yang ada itu muka Vio pucet banget," celetuk Mia. “Vio kenapa?” tanya Tita khawatir. Benar kata Mia, wajah Vio jauh dari berseri. Bibirnya pucat dan matanya bengkak.  “Gue demam.” “Kok bisa?!" jerit Ry histeris. Entah sedang di mana anak ini, bisa-bisanya jerit-jeritan tanpa malu begitu. “Semalam gapapa kan?” ujar Tita semakin khawatir. Ry memajukan wajahnya ke layar lalu mengamati Vio penuh curiga. “Jangan bilang ini demam efek hilang keperàwanan." “Sembarangan aja!” seru Vio terkejut sekaligus jengkel. Andai benar demikian kejadiannya, Vio pasti masih punya muka menghadapi sahabat-sahabatnya. Masalahnya, yang terjadi jauh melenceng dari dugaan mereka. “Demam karena terlalu nikmat berkali-kali rasain klimàks kali ini anak,” goda Mia kejam. “Mbak, ih! Boro-boro k*****s. Gantung yang ada.” Dan dengan bodohnya meluncurlah pengakuan memalukan itu dari bibir Vio. “Kenapa gantung?” tanya Mia heran. “Hah? Gantung?” Ry melongo bòdoh. Namun, Tita melontarkan pertanyaan yang lebih bòdoh lagi. “Kok bisa? Apanya yang digantung?” Vio langsung menutup mukanya dengan bantal, menyembunyikan wajahnya yang sudah merah padam menahan malu. “Berarti ada kejadian ya semalam?” tebak Mia curiga. "Vio …, jawab dong!" desak Ry penasaran. “Enggak usah diceritain deh, malu," sahut Vio memelas. “Pake malu sama kita. Ayo, cerita!” paksa Mia. Vio menurunkan bantal yang menutupi wajahnya, lalu bertanya malu-malu. “Mbak Mia, emang bisa ya kalo lagi mau tinggi-tingginya tau-tau ambyar gitu aja?" Mia mengernyit cepat. Radar pakar urusan ranjang Mia langsung bekerja maksimal. “Maksudnya?” Meski malu, akhirnya Vio bertanya juga. Sudah kepalang tanggung. Lagian kalau bukan pada mereka, mau pada siapa lagi Vio mencurahkan unek-unek dan bertanya. “Jadi tuh semalam …, Vio sama Ryota hampir …, bablas.” Setelah mengucapkan sebaris kalimat yang terasa begitu memalukan, Vio membenamkan wajahnya di balik selimut. “Enggak usah malu kali, Vi. Wajar dong, kalian kan udah nikah.” Hilang sudah niat Mia untuk mengejek, yang ada ia jadi iba melihat Vio. Mia sudah bisa menebak maksud Vio dengan hampir bablas tetapi ambyar. “Vio udah ngapain aja?” tanya Tita penuh ingin tahu. Vio menggeleng kencang di dalam selimut, tidak ingin menceritakan detail panas nan memalukan yang dialaminya. “Kissing?” tebak Ry. “Hm.” Vio berguman dari dalam selimut. Teringat kembali bagaimana panasnya cumbuan mereka di depan pintu. “Peluk-peluk?” tebak Ry lagi. “Hm.” Vio bahkan masih bisa merasakan dekapan Ryota yang kuat sekaligus hangat. “Raba?” Kini Tita ikutan bertanya. Vio melempar selimutnya jauh-jauh dan kembali menghadapi ketiga sahabatnya yang masih menatap penasaran di layar ponsel. “Lumayan,” aku Vio. Mengingat setiap sentuh Ryota di tubuhnya membuat Vio kembali terbakar. “Terjang?” Ry membuat gerakan seperti binatang akan menerkam. “Mungkin.” Entah siapa yang lebih dulu mendorong hingga mereka bergulingan di atas tempat tidur. “Buka baju?” tembak Mia tanpa ampun. Vio mencoba mengingat detailnya, tetapi tidak berhasil. Ia hanya ingat jika pria itu menindihnya dalam kondisi bertelanjang dadà. “Cuma kemejanya Ryota aja.” “Baju Vio?” Ry bertanya sambil membuat gerakan menutupi bagian depan tubuhnya. “Berantakan tapi enggak sampe lepas.” Vio masih bisa mengingatnya dengan baik. Kausnya tersingkap dari perut hingga batas dadà, posisinya dalamannya bergeser cukup jauh, tetapi semua masih melekat utuh. “Terus kenapa berhenti?” tanya Mis tidak mengerti. “Enggak tau." Vio menggeleng lesu dan tertunduk pasrah. "Pas posisi dia di atas Vio, tiba-tiba matanya kayak horor gitu terus langsung bangun terus pake baju lagi terus kabur.” Mia memicing curiga. “Apa dia jelasin kenapa dia gitu?” Kembali Vio menggeleng. “Dia cuma bilang kalo ini salah. Terus dia juga bilang enggak akan nyentuh Vio sama sekali. Dan dia larang Vio coba-coba deketin dia lagi.” Setelah hening cukup lama, Ry yang akhirnya kembali bicara dan memberi kesimpulan. “Berarti Vio demam karena hasrat yang batal tersalurkan."  “Ry!" jerit Vio keki. "Kalo ada di sini udah gue cekik lo ya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN