12. Biro Konsultasi Sesat

1730 Kata
"Itu pengantin baru kenapa suram amat?" Gin yang baru keluar dari ruang rekaman langsung bertanya cuek ketika melihat Vio duduk diam di pojokan tanpa suara sama sekali.  Sebenarnya wajar Gin bertanya demikian, karena dalam keadaan normal seorang Vio memang mulutnya tidak pernah bisa diam. Biasanya juga, Vio paling senang menjajah Gin padahal mereka yang sedang menumpang main di apartemen pemuda itu. Sementara hari ini, apartemen Gin begitu tenang. Hanya terdengar suara dari televisi yang ditonton oleh Tita, sementara Vio hanya diam melamun. Ditambah lagi Ry dan Mia tidak ada, jadilah suasana begitu damai. "Ssh!" Tita langsung mendelik waspada memperingatkan Gin untuk diam. Namun, peringatan Tita tidak ada artinya bagi Gin. Alih-alih menjauh, Gin malah sengaja menghampiri Vio untuk mengganggunya.  "Woi! Kenapa lo?" Gin sengaja membanting tubuhnya kencang-kencang di sisi Vio. "Hm?" gumam Vio tanpa minat. "Tumben banget diem gini. Biasa ngomel-ngomel mulu sama gue," ejek Gin. Jelas-jelas sengaja memancing perdebatan. "Lagi enggak minat," balas Vio tidak peduli. "Bagus!" decak Gin senang. "Berarti hari ini gue enggak perlu minggat." Tita yang duduk di bawah, sudah bersiap mendengar ledakan Vio. Ia sudah berjaga-jaga mengamati dua manusia yang tengah duduk berdua di sofa, kalau sampai Vio menyerang Gin, Tita akan segera menyempil di tengah untuk mencegah pemuda itu babak belur. "Gin!" Tiba-tiba Vio melonjak di sofa sambil berseru kencang. Namun, ekspresinya bukan terlihat jengkel melainkan antusias. "Apa?" balas Gin waspada. Pasalnya wajah ceria Vio lebih menakutkan ketimbang wajah galaknya. Vio meraih lengan Gin dan mencengkeramnya kuat-kuat. "Kasih saran buat gue!" "Soal?" "Laki gue." "Kenapa laki lo?" "Menurut lo kenapa sikapnya gitu sama gue?" "Mana gue tau, Vi!" Sontak Gin melongo. Ada-ada saja pertanyaan gadis ini. "Tanya sama laki lo lah." "Ck!" Vio merengut sebal. "Kalo dia bisa diajak ngomong, gue juga enggak bakal nanya lo kali." "Emang gitu gimana?" Vio menceritakan tentang sikap Ryota padanya yang terkesan sangat menjaga jarak. Meski cukup memalukan, Vio tidak peduli. Dia butuh jawaban, dan Gin cukup dapat dipercaya soal memberi saran dalam hal percintaan. Setidaknya, Gin dapat memberi pandangan dari sisi laki-laki. "Menurut lo gimana? Apa dia emang benci sama gue?" tanya Vio setelah selesai bercerita tentang betapa ajaib kelakuan suaminya. Gin diam merenung. Mencoba menganalisis berdasarkan cerita Vio. "Apa dia jijik disentuh sama gue?" Pertanyaan jni merujuk pada malam panas yang berakhir gagal itu. Vio tidak menceritakan detailnya, hanya intinya saja. Gin masih diam menimbang-nimbang. Tidak berani gegabah menyimpulkan, karena kali ini masalahnya urusan suami istri, bukan soal pacaran. "Enggak ada sedikit juga suka sama gue gitu?" cecar Vio penasaran. Tidak sabar menunggu Gin berpikir segitu lamanya. "Hm …, sulit." Akhirnya Gin bersuara juga. "Kalo dari cerita lo kadang kesannya dia baik sama lo, tapi baiknya ini bisa karena dia emang ada perhatian, bisa juga karena ngerasa ngejalanin tugas." "Tugas?" "Tugas dari bokap lo buat jagain lo." "Bener juga." Vio manggut-manggut setuju lalu mendesah pasrah. "Makanya bingung kan." "Coba kasih tau lebih banyak lagi soal laki lo," ujar Gin dengan sikap serius. "Maksudnya?" "Ya ceritain aja," sahut Gin tidak sabar. "Soal kebiasaannya, sifatnya, dan lain-lain. Pokoknya semua yang lo tau tentang dia." Vio berpikir-pikir sebentar lalu menjawab singkat. "Dia irit ngomong. Penyendiri. Serius." "Udah?" tanya Gin jengkel. "Udah." Vio mengangguk cepat. Gin meringis heran. "Enggak ada lagi yang lo tau?"  Vio menggeleng pasrah. "Parah!" Gin menggeleng kencang. "Bisa-bisanya lo kawin sama orang yang lo enggak kenal." "Kan terpaksa. Demi wasiat," ujar Vio lesu. "Iya sih." Gin menggaruk kepalanya kebingungan. "Tapi kan katanya lo cinta." "Emang." "Terus lo enggak pernah cari tau soal dia?" "Misalnya soal apa?" Gin kembali menggeleng. Vio yang biasanya menjengkelkan, hari ini terlihat menyedihkan di msta Gin. Akhirnya, dengan sabar Gin bertanya. "Lo tau umur dia?" "Umur gue sekarang 24 …, beda 7 tahun ….," gumam Vio sambil menghitung-hitung dalam kepala. "Dia 31." "Ulang tahunnya lo tau?" "Bulan Mei tanggal 25," sahut Vio lancar. Untuk hal ini ia boleh bangga. Namun, seketika Vio tersadar. "Eh, bulan ini dong! Berarti bentar lagi dia 32." "Lo tau rumahnya di mana?" Vio langsung menggeleng. "Dia selalu tinggal di rumah gue sejak pertama kerja sama bokap." "Berapa lama dia udah kerja sama bokap lo?" Vio kembali menghitung dalam kepalanya. "Kalo terhitung sampai sekarang, hampir 8 tahun." "Selama itu dia enggak pernah pulang?" tanya Gin curiga. "Enggak tau." "Ck!" Gin jadi menggeleng lagi. "Lo tau keluarganya?" "Enggak." "Tau dia kuliah di mana? Lulusan apa?" Pertanyaan-pertanyaan Gin membuat Vio mengembuskan napasnya. "Gue cuma tau dia dari Jepang. Lulusan mana gue enggak tau. Kuliahnya apa juga enggak tau." "Berarti lo enggak tau kenapa dia bisa ada di Jepang, keluarganya di Indo apa Jepang, dan lain-lain soal latar belakangnya." Tanpa perlu bertanya lagi Gin sudah bisa menyimpulkan. Benar saja! Vio hanya bisa mengangguk pasrah membenarkan kesimpulan Gin.  "Lo tau kenapa dia yg tadinya kerja jadi staf keamanan bisa hijrah jadi tangan kanan bokap lo dalam segala urusan bahkan sekarang dia yang kelola Advaith?" "Enggak tau." Untuk kesekian kalinya Vio mengulang jawab yang sama sambil menggeleng.  "Lo tau warna kesukaan dia?" "Enggak." Vio mulai terlihat putus asa. "Tau olahraga yang dia suka?" Kini Vio ingin menangis juga. "Musik yang dia suka?" Gelengan kepala Vio semakin lemah tak bertenaga. "Tontonan favorit?" Sudah tahu pasti respon Vio. Menggeleng lagi. "Makanan kesukaan?" "Gue enggak tau semua, Gin!" jerit Vio kesal. Akhirnya meledak sudah emosinya. Semua pertanyaan yang Gin lontarkan barusan membuat Vio tersadar bahwa selama ini ia tidak tahu apa-apa soal Ryota. "Parah." Gin menggeleng frustasi. Padahal ini bukan masalahnya, tetapi Gin merasa ikut tercekik mendengar kacaunya hubungan Vio dengan suaminya. "Asli parah banget." "Dia susah banget dideketin tau, tipenya misterius gitu," gumam Vio putus asa. "Andai dia cablak kayak lo." "Ck! Ujung-ujungnya dihina juga!" sahut Gin sebal. "Tapi kan kenyataan. Lo kan cerewet, suka ngobrol. Beda banget sama laki gue." "Makanya usaha dong! Kalo dia enggak bisa dideketin, deketin orang lain yang deket sama dia." *** Ucapan terakhir Gin siang itu memberi motivasi kuat bagi Vio. Memberinya inspirasi untuk berjuang mengorek informasi seputar suaminya. Sepulang dari apartemen Gin dua hari yang lalu, Vio melancarkan misi bak detektif gadungan. Mendekati semua orang di rumah, membagi hadiah, makanan enak, dan berbagai sogokan lain, untuk membuat mereka bicara soal Ryota. Setelah melalui dua hari yang melelahkan, Vio kembali datang ke apartemen Gin. Bahkan ia tidak peduli meski saat itu Tita sedang kerja, yang ia butuh adalah layanan jasa konsultasi dari Gin, bukan dari sahabatnya yang selalu gagal dalam percintaan. "Gin, mau konsul lagi," ujar Vio tanpa sungkan. "Hah?" Gin langsung melongo begitu membuka pintu dan mendengan ucapan Vio yang seenaknya. Vio mendorong Gin ke samping lalu melenggang masuk. "Soal laki gue." "Buset! Dikira gue biro percintaan apa?" sahut Gin jengkel. "Enggak si Tisha, enggak lo! Ngapain pada minta konsul ke gue sih? Tinggal si Ry aja yang belom ikutan." "Ayolah! Jangan pelit dong!" rengek Vio. "Kenapa lagi sih?" tanya Gin akhirnya. Vio tersenyum puas lalu duduk dengan santainya di sofa. Kalau diamati, Gin dan Tita ini setipe. Selalu tidak tega menolak orang lain.  "Lo kan suruh gue cari tau soal laki gue." Vio mulai menceritakan maksud kedatangannya kali ini. "Hm." "Udah gue lakuin." Gin menatap curiga pada Vio. Wajah gadis itu terlihat cukup muram. "Hasilnya?" Vio mengerucutkan bibirnya lalu menggeleng lesu. "Enggak banyak yang tau soal dia." "Lo cari tau ke siapa aja?" "Semua pelayan dan staf keamanan di rumah." Gin manggut-manggut kecil. "Yang bisa lo dapet apa?" "Gue cuma berhasil dapet info kalo dia itu lulusan Computer Science dari Tokyo Institute of Technology." "Wih!" Gin bersiul takjub. "Mantep juga." "Terus katanya dia itu tinggal di Jepang dari kecil. Papanya udah enggak ada. Mamanya masih ada." "Nyokapnya ada di mana?" "Enggak ada yang tau." Dari sekian banyak pegawau di rumah Vio yang jumlahnya lebih dari 30 orang, tidak ada satu juga yang tahu soal keluarga Ryota. Benar-benar orang yang sangat tertutup bukan? "Yang gue enggak ngerti nih, gimana caranya lulusan komputer bisa ngerti hukum dan mengelola penerbitan. Dan yang lebih enggak ngerti lagi, kok lulusan komputer ngelamar kerja jadi staf keamanan," ujar Gin mengutarakan keheranannya.  Belum lagi kalau Gin mengingat-ingat sosok Ryota serta pembawaannya. Wajahnya yang dingin dengan aura menyeramkan itu sangat tidak cocok dengan kesan para ahli komputer.  "Gue enggak pernah mikirin soal itu." Lagi-lagi berbincang dengan Gin membukakan fakta baru yang selama ini tidak Vio sadari. "Laki lo itu jago berantem?" Tiba-tiba saja Gin penasaran soal ini. "Gue belom pernah liat langsung sih, tapi setau gue semua yang kerja jadi staf keamanan di rumah ya harus bisa bela diri." Vio juga ingat bagaimana Ryota bereaksi menakutkan ketika ia menyentuhnya diam-diam dalam gelap di malam pernikahan mereka. Suaminya itu langsung bersikap awas seolah tengah berhadapan dengan musuh. Bukankah dari situ bisa ditarik kesimpulan kalau Ryota pasti menguasai bela diri dengan baik? "Lo enggak ngerasa laki lo itu penuh misteri?" tanya Gin hati-hati. Suaranya terdengar serius, bukan sedang mengejek Vio. "Lo jangan ngomong sambil pake muka kayak gitu dong!" protes Vio yang tiba-tiba merasa ngeri. "Kenapa? Lo takut tau-tau dia kriminal ya?" Kalau sekarang Gin bercanda. Kasihan melihat Vio dilanda cemas, Gin langsung kembali pada mode jailnya. "Sembarangan!" sembur Vio galak. Gin tergelak kencang. Setidaknya kekhawatiran Vio sedikit mencair setelah diganggu barusan. "Gin, gimana caranya supaya gue bisa dapet info soal dia dong?" tanya Vio frustasi. "Gampang," ujar Gin santai. "Gue serius nih," rengek Vio sebal. Dari wajah Gin yang cengar-cengir, Vio sudah bisa menebak kalau pemuda ini tengah bercanda. "Gue juga serius," balas Gin dengan nada jauh dari serius. "Gimana caranya?" tantang Vio. Meski curiga, ia penasaran juga. Siapa tahu saran Gin bermanfaat. "Ada dua." Gin mengacungkan dua jarinya ke depan wajah Vio  "Pertama, sewa orang buat cari tau soal dia." "Ck! Lo kira ini kayak film-film detektif, hah?" Vio langsung menanggapi dengan galak. "Gue serius, Vi. Gue yakin laki lo juga pasti pernah berurusan sama hal-hal kayak gitu." "Serius lo?" Vio terlihat sedikit terkejut. Namun, jika dipikir-pikir memang masuk akal juga dugaan Gin.  "Serius." Gin mengangguk sungguh-sungguh. "Tapi emang ribet sih." "Terus cara kedua apa?"  "Lakuin pendekatan langsung sama laki lo." "Pendekatan gimana?"  "Buset deh ini anak." Refleks Gin menjitak kepala Vio. Tidak peduli kalau yang dijitaknya ini istru orang. Bagi Gin, Vio lebih mirip remaja d***u yang sedang kasmaran. "Pendekatan ya pendekatan. Sering ketemu, sering ngobrol, pepet terus, sampe lo berdua jadi akrab. Gitu aja enggak tau." "Bakal berhasil?" tanya Vio penuh harap. "Ya mesti lo coba. Gue mana tau hasilnya," sahut Gin semakin jengkel. "Kalo gue deketin malah dilepeh sama dia?" "Berarti nasib lo sial," ujar Gin kejam dan pedas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN