Setelah menghindari bertemu dengan Ryota selama berhari-hari, Vio akhirnya mau juga turun ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sejak kejadian ia menerjang Ryota dengan ganas empat hari yang lalu, Vio selalu memilih diam di kamar setiap kali suaminya ada di rumah. Pasalanya ia malu. Vio tidak tahu bagaimana caranya menghadapi pria itu, karena kalau ia melihat Ryota, bayangan malam itu selalu menari-nari di benaknya seolah tengah mengejek kesialannya.
Baru saja ia menjejak anak tangga terakhir, suara Ryota sudah menyambutnya.
"Sudah sembuh?" Ryota bertanya dengan nada biasa saja, seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
"Buat apa tanya?" sahut Vio ketus. Kalau tidak gengsi, ingin rasanya Vio naik lagi saja ke kamar dan sembunyi di sana.
"Saya rasa sudah sembuh," gumam Ryota santai.
Vio menarik kursi yang berseberangan dengan Ryota lalu duduk perlahanan. "Kenapa ambil kesimpulan begitu?"
"Karena kamu sudah punya banyak tenaga lagi untuk berdebat."
Vio mendelik tidak percaya mendengar ucapan Ryota barusan. "Diam-diam ternyata jago nyindir juga."
"Ah! Saya jadi ingat sesuatu."
"Apa?" tanya Vio waspada.
Ryota memandangi Vio lalu seulas senyum tipis membayang di wajahnya. "Apa kamu tidak punya kesibukan?"
"Emang kenapa? Kamu enggak suka aku di rumah terus?" Belum apa-apa Vio langsung memasang sikap defensif.
"Bukan begitu. Siapa tahu kamu bosan karena tidak ada pekerjaan."
"Kata siapa aku enggak punya kerjaan? Kan udah aku bilang, aku punya murid les. Weekend juga selalu ada panggilan nyanyi."
"Syukurlah kalau begitu.” Ryota mengangguk kecil lalu menyesap kopinya. “Saya kira kamu kekurangan pekerjaan."
"Maksudnya apa sih? Kamu lagi nyindir soal pengeluaran aku setiap hari sementara kerjaan aku sedikit? Uang tabungan aku banyak kok. Enggak usah khawatir aku pakai uang perusahaan," ujar Vio keki.
"Tidak ada yang menyinggung soal itu. Kamu berhak pakai semua uang dengan bebas. Semua warisan papa kamu memang milik kamu."
"Abis kamu nanya-nanyanya kayak gitu."
"Saya cuma heran.” Ryota mengangkat bahunya sedikit. “Saya kira kamu sedemikian tidak ada pekerjaan dan bosan di rumah sampai-sampai semua pegawai kamu ajak ngobrol satu per satu."
Sadarlah Vio maksud sindiran Ryota kali ini dan seketika wajahnya memerah menahan malu. Ryota pasti sedang menyinggung soal dirinya yang mencari info pada para pegawai di rumah. Namun, jelas Vio tidak akan mengakui salah apalagi meminta maaf. Harga dirinya melarang. Bukannya menunjukkan rasa bersalah, Vio malah bersikap menantang. "Emang salah ngobrol sama pegawai sendiri? Aku cuma mau belajar jadi bos yang baik."
"Tidak ada yang salah, malah bagus,” sahut Ryota tenang. “Tapi akan jauh lebih baik andai yang kamu tanyakan adalah tentang kehidupan mereka. Mereka akan merasa diperhatikan dan berpikir majikannya ingin mengenal mereka lebih dekat. Bukannya malah menanyakan tentang kehidupan saya."
"Emang salah?" tantang Vio lagi. Pokoknya ia tidak akan bersikap lunak.
"Kalau kamu bilang ingin dekat dengan mereka tapi malah bertanya tentang saya, jelas jadi salah. Itu namanya mencari informasi pribadi orang lain dan sama saja melanggar privasi," ujar Ryota sedikit tajam. Wajahnya tidak lagi sesantai tadi, malah mungkin sudah kembali ke sikap seriusnya yang paten.
"Salah cari tahu tentang suami sendiri?" balas Vio tidak mau kalah.
"Seharusnya kamu tanya langsung sama saya, bukan sama orang lain. Pertanyaan kamu akan menimbulkan kebingungan buat mereka." Meski orang-orang yang bekerja di rumah ini bisa dipercaya dan yakin mereka tidak akan bergosip keluar, tetapi tetap saja alangkah lebih baik untuk tidak mengumbar hal yang seharusnya disimpan untuk pribadi, bukan?
"Siapa sih yang ngadu ke kamu?" tanya Vio sewot.
"Ini bukan perkara siapa yang mengadu, Violet.” Ryota menggeleng letih. “Saya hanya ingin ingatkan kamu untuk tidak begitu lagi. Kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan saya, tanyakan langsung pada saya."
"Emangnya kalau ditanya kamu mau jawab?"
Skakmat!
Kali ini Ryota langsung bungkam. Pertanyaan Vio memang tidak salah. Memangnya dia bersedia menceritakan segala sesuatunya pada gadis ini tanpa kecuali? Rasanya tidak.
"Tuh kan enggak jawab!" desis Vio dongkol. "Kalau kamu enggak susah didekati, aku juga enggak akan begini! Kamunya aja larang aku dekat-dekat, gimana aku mau nanya soal kamu?"
"Aku akan jawab pertanyaan kamu," ujar Ryota akhirnya. Bukan hal mudah mengatakan hal ini, karena segala sesuatu yang terjadi dalam hidup Ryota akan lebih baik untuk disembunyikan ketimbang dibagikan pada orang lain.
"Yakin?" tanya Vio penuh curiga.
"Hm." Ryota bergumam pelan.
"Janji bakal jawab semua pertanyaan aku?" tanya Vio lagi. Jelas ia meyangsikan janji Ryota yang terkesan ogah-ogahan ini.
"Selama bisa saya jawab, akan saya jawab." Namun, dalam hatinya sendiri Ryota tahu, akan ada lebih banyak hal yang tidak bisa ia jawab nantinya.
Seketika wajah Vio berubah cerah. Mendengar janji Ryota bahwa pria itu bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Vio jadi bersemangat. "Aku tanyanya enggak akan susah kok. Cuma tanya hal-hal tentang kamu aja."
"Kalau itu melanggar privasi, saya punya hak untuk tidak jawab." Ryota langsung memberi peringatan halus.
"Oke!” Vio tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Mumpung Ryota sudah berjanji. “Kalo gitu aku mau tanya dan kamu harus jawab."
Ryota mengangguk kecil.
"Apa warna kesukaan kamu?"
Ryota menaikkan sebelah alisnya. Merasa geli dengan pertanyaan yang Vio ajukan, karena pikirnya gadis ini akan mengajukan hal-hal yang lebih bermutu dan pastinya sulit dijawab. "Kamu yakin ingin menanyakan itu?"
"Yakin. Ayo, jawab!" desak Vio tidak sabar. Dalam hatinya ia tengah merencanakan kado apa yang harus ia berikan untuk ulang tahun Ryota kali ini.
"Saya suka warna hitam."
"Kenapa?"
"Harus ada alasannya?" Ryota balas bertanya.
"Hm." Vio mengangguk bersemangat.
"Kalau begitu akan saya jawab lain waktu."
"Kenapa?" tanya Vio kecewa.
"Saya hanya bersedia jawab satu pertanyaan setiap hari."
"Hah?" Detik itu juga Vio langsung melongo. Lalu beberapa saat kemudian menggeram jengkel. "Licik! Masa baru nanya suka warna apa terus udah enggak boleh tanya lagi!"
"Tadi sudah saya ingatkan. Yakin mau tanya soal ini, kamu sendiri yang jawab yakin," ujar Ryota yang tanpa sadar menjawab sambil menahan senyum geli.
"Aku kan enggak tau kalo cuma boleh tanya satu pertanyaan!" protes Vio tidak terima.
"Sekarang kamu sudah tau."
"Nyebelin!" Refleks Vio mengentakkan kakinya di bawah meja makan.
"Saya harus mengurus banyak pekerjaan, Violet. Saya tidak punya banyak waktu untuk mengobrol sepanjang hari."
"Ya udah!" Ucapan terakhir Ryota benar-benar menjengkelkan, membuat Vio langsung berdiri cepat sambil membanting serbet ke atas meja makan.
"Kamu mau ke mana?" tegur Ryota heran.
"Pergi," sahutnya ketus.
Ryota menunjuk piring Vio yang mungkin baru tersentuh satu atau dua suap saja. "Sarapan kamu?"
Vio menyeringai licik kemudian menjawab lantang. "Banyak kerjaan yang harus aku urus, Ryota. Aku enggak punya banyak waktu buat makan sepanjang hari."
"Kamu membalas perkataan saya tadi?" balas Ryota tercengang. Tidak dikiranya Vio akan memakai kata-katanya untuk membalas seperti ini.
"Masa? Aku enggak ngerasa loh,” sahut Vio tidak peduli.
Ryota menatap geram pada Vio, tetapi tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk membalas gadis itu.
“Aku cuma bicara realistis aja,” ujar Vio lagi. “Aku kan harus kerja supaya punya uang. Kalo enggak punya uang nanti aku dikatain pengangguran manja yang cuma bisa foya-foya, hambur-hambur uang warisan.” Untuk hal ini, Vio tidak asal bicara. Ia banyak mendengar selentingan macam ini beredar di Advaith. Namun, sejauh ini Vio tidak pernah ambil pusing.
“Violet …,” tegur Ryota tidak suka.
Vio berlalu meninggalkan meja makan sambil melambai tidak peduli. “Aku pergi dulu ya! Udah dijemput.”
Vio pikir perdebatannya dengan Ryota hari ini sudah berakhir. Apalagi mengingat padatnya jadwal hari ini. Vio saja baru kembali tiba di rumah menjelang tengah malam. Jelas tidak mungkin ia akan bertemu lagi dengan Ryota malam ini untuk melanjutkan perdebatan mereka di meja makan, bukan?
Namun, itu hanya pikiran Vio saja. Kenyataannya, di lorong menuju kamar tidurnya, Vio berpapasan dengan Ryota. Ralat! Bukan berpapasan tepatnya karena Ryota tidak sedang berjalan. Pria itu ternyata berdiri di depan pintu kamar Vio.
“Baru pulang?” tegur Ryota dengan nada sedikit menakutkan saat Vio sudah berhenti tepat di hadapannya.
Bukannya gentar melihat sikap Ryota, Vio malah membalas tidak peduli. “Keliatannya?”
“Dari mana saja kamu seharian ini?”
“Tumben amat nanya-nanya. Biasa juga enggak pernah peduli,” gumam Vio dengan nada yang sengaja dikeraskan.
“Violet, tolong jawab pertanyaan saya.” Ryota mulai memberi Vio peringatan dengan menaikkan nada bicaranya.
“Kerja, Ryota,” sahut Vio tenang. “Kan tadi pagi aku udah bilang, aku kerja.”
“Setahu saya, di hari biasa kamu tidak pernah pulang malam untuk urusan pekerjaan. Kamu biasanya pulang malam di akhir pekan.”
“Ya karena hari ini kerjaannya bukan yang biasa.”
Ryota memejamkan matanya sejenak. Berusaha menghalau kekesalan yang kembali menyerangnya hari ini. Entah mengapa, sejak mereka resmi menikah Ryota baru menyadari bahwa berhadapan dengan Vio itu menyulitkan. Gadis ini selalu tahu cara terbaik untuk membuatnya jengkel.
“Orang yang jemput kamu tadi pagi apa berhubungan dengan pekerjaan kamu yang tidak biasa hari ini?” tanya Ryota penuh selidik.
“Betul.” Vio mengangguk santai.
“Boleh saya tahu apa yang kamu kerjakan?”
“Buat apa mau tau?” Sebenarnya, mudah saja bagi Vio untuk memberitahu Ryota apa yang dikerjakannya hari ini. Namun, mengingat kekesalannya pada pria ini, Vio sengaja tidak ingin menjawab pertanyaannya.
“Saya bertanggung jawab untuk menjaga kamu, Violet.” Sejujurnya ia masih khawatir kalau-kalau ada pihak-pihak yang dulunya menyimpan dendam pada Devan Brajamusti dan berniat melampiaskannya pada Vio.
Selama ini, Ryota memang selalu tahu ke mana saja Vio pergi dan apa saja yang gadis itu lakukan. Vio terbiasa untuk mengatakan segala sesuatunya pada Darmi dan wanita tua itu akan melaporkannya pada Ryota. Namun, khusus hari ini Vio pergi tanpa mengatakan tujuannya pada siapa-siapa. Sudah begitu, sampai malam Vio tidak kunjung pulang dan masih ditambah lagi dengan ponselnya yang mati.
“Aku ada proyek bareng sama dia,” ujar Vio singkat. Pokoknya ia sudah bertekad akan pelit informasi pada Ryota seperti halnya pria itu juga selalu irit bicara.
“Bisa jelaskan lebih rinci?” pinta Ryota.
Tadinya Vio ingin langsung menolak dengan ketus, tetapi tiba-tiba saja sebuah ide licik melintas di benaknya. Vio teringat kata-kata Ryota tadi pagi dan berniat membalasnya.
“Besok lagi aja. Sehari kan satu pertanyaan jatahnya,” ujar Vio dengan senyum puas.
“Violet, apa kamu sedang membalas saya?” ujar Ryota geram.
“Balas apa?” Vio memasang wajah tanpa dosa.
“Perkataan saya tadi pagi.”
“Masa sih?”
Ryota maju selangkah dan mengikis jarak di antara mereka, lalu mencekal lengan Vio sedikit kuat. “Violet, tolong jawab dengan benar. Saya perlu tahu apa saja yang kamu kerjakan agar saya bisa jaga kamu.”
Vio menaikkan dagunya tanda menantang. “Aku juga butuh tau tentang kamu supaya aku bisa kenal kamu.”
Diungkit lagi soal hal ini, sikap keras Ryota perlahan memudar. Ia mengembuskan napas lelah lalu melepaskan cekalannya dari lengan Vio. “Kenal saya bukan hal yang penting.”
“Jaga aku juga bukan hal yang penting,” balas Vio santai.
“Baiklah kalau itu mau kamu. Tanpa kamu cerita pun saya bisa cari tahu sendiri.”
“Curang!” desis Vio kesal lalu maju menerjang Ryota.
Sayangnya, pria itu terlalu sigap dan langsung menghindari serangan Vio. Ryota bergeser ke samping dan jadilah Vio terhuyung ke depan tanpa tahanan. Beruntung Ryota masih punya kasihan dan tidak tega membiarkan wajah cantik Vio mencium lantai marmer yang dingin juga keras. Diraihnya pinggang gadis itu dan membantu Vio menyeimbangkan tubuhnya lagi.
“Hati-hati. Kamu ini seperti anak kecil saja.”
“Maksud kamu?” tanya Vio dongkol. Seharusnya Ryota tidak bergeser ke samping. Seharusnya pria itu terima saja serangan Vio hingga ia bisa berakhir di d**a Ryota.
“Keras kepala, suka merajuk, dan ceroboh.” Ryota menuturkan penilaian tentang Vio dengan sangat lugas.
Vio mendelik tidak percaya. “Katain aja terus! Tapi liat, suatu hari aku bakal bikin kamu jatuh cinta sama anak kecil ini.”
Ryota mendengkus geli. “Jangan buang waktu kamu untuk coba buat saya jatuh cinta. Itu tidak akan pernah terjadi.”
“Mau bertaruh?” tantang Vio. Panas hatinya mendengar ucapan Ryota yang terkesan sangat meremehkan barusan.
Ryota menatap sinis ke arah Vio lalu menggeleng pelan. “Kekanakan ….”
Setelah mengatakan itu, Ryota berlalu begitu saja meninggalkan Vio yang masih berdiri di tempat semula, menatap penuh jengkel pada sang suami.