14. Perawan Seumur Hidup

2160 Kata
"Mbak, lagi sibuk enggak?" tanya Vio begitu menerobos masuk ke ruang kerja Mia di Luminous. Mia memalingkan wajah dari layar komputer yang tengah ditatapnya sejak tadi. "Lumayan. Kenapa, Vi?" "Mau minta tolong," ujar Vio tanpa malu-malu. "Apa?" "Tapi banyak." "Iya mau minta tolong apa?" tanya Mia tidak sabar.  "Sulap Vio jadi cantik," pinta gadis itu sambil mengerling nakal. "Dikira gue tukang sulap!" sungut Mia sebal. "Ih, Mbak! Kan tangan Mbak mengandung magic." "Emang kamu mau ngapain sih, Vi?" tanya Mia curiga. Jarang-jarang Vio minta didandani olehnya. Tanpa perlu sentuhan tangan Mia pun, Vio sudah cantik dan gadis itu sangat mampu merias wajahnya sendiri. Kalau sampai Vio minta didandani, itu artinya ada sesuatu yang spesial. "Menjalankan misi," bisik Vio sok misterius. "Misi?" ulang Mia. Vio mengangguk antusias. "Misi penting menyangkut hajat hidup orang banyak." "Ck!" Mia berdecak sebal. "Hari ini Ryota ulang tahun.” Cepat-cepat Vio mengatakan alasannya sebelum Mia jadi jengkel dan mengusirnya dari sini. Ingat! Vio memang galak, tetapi Mia di atas segalanya.  “Mau ada acara?” Vio berkedip genit. “Vio mau memikat dia." "Ah!” Mia langsung mengangguk paham. “Ternyata gitu …." "Bisa enggak, Mbak?" tanya Vio tidak sabar. Mia melirik jam di layar komputernya. "Acaranya jam berapa?" "Enggak ada acara." "Hah?" Mia jadi melongo antara bingung dan jengkel. "Vio cuma mau datengin kantornya terus culik dia." "Mau kamu culik ke mana? Hotel?" goda Mia. "Percuma.” Vio mendengkus sambil memutar bola matanya. “Ke hotel juga yang ada Vio jadi kentang doang." Mia terkikik geli mendengar keluhan Vio. Terbayang di benaknya andai ia mengalami situasi seperti Vio. Sudah naik-naik ke puncak gunung lalu ditinggal begitu saja. Jelas kentang memang!  "Terus mau ke mana?" tanya Mia penasaran. "Belun tau. Mbak ada ide?" Dan si konyol ini malah bertanya pada orang lain. "Soal gitu-gitu tanyanya ke Tita,” sahut Mia malas. “Aku sih urusannya bikin kamu jadi cantik parah sampe dia enggak tahan liat kamu." "Bagus!" angguk Vio senang. "Kamu mau ke sana jam berapa?" "Seberesnya aja." Mia memeriksa jadwal hari ini yang ia tempel dengan sticky note di dinding dekat layar komputer. "Agak sore gapapa?" "Gapapa. Subuh juga gapapa," ujar Vio seenak udelnya. "Kalo gitu aku beresin kerjaan dulu ya. Ada klien yang mau tes makeup sama ada yang mau fitting juga. Abis selesai itu, baru aku dandanin kamu." Sesibuk-sibuknya Mia, ia akan selalu berusaha membantu sahabat-sahabatnya saat mereka membutuhkan sentuhan tangan ajaib sang makeup artist ini.  "Sambil nunggu, aku mau meni pedi dulu deh." Mia tergelak mendengar jawaban Vio. "Dasar centil! Enggak sekalian ratus dulu?" "Perawatan yang buat ‘itu’?" ujar Vio sambil memberi tanda kutip dengan tangannya. "Yuhu!" Mia bersiul nakal. "Enggak sekalian suruh aku kegel aja, Mbak?” Vio mencibir sebal. Apa gunanya perawatan itu untuk dirinya saat ini? "Jangan dong!” larang Mia cepat. “Ditojos aja belum, kalo kamu kegel malah nanti rapet mampet enggak bisa ditembus." "Edan! Tega banget!" jerit Vio dongkol. Mia kembali tergelak. "Eh, aku ngasih tau yang bener. Emang kamu mau jadi perawan seumur hidup?" "Mbak, ih! Amit-amit!" protes Vio yang refleks langsung bergidik. Baru saja Mia akan menggoda Vio lagi, jeritan dari luar seketika menginterupsi mereka. "MBAK MIA!" "Astaga, suaranya!" desah Vio. Tanpa perlu melihat si pemilik suara muncul, mereka sudah tahu siapa yang datang. "Kebetulan tuh si Tita dateng, kamu bisa minta dia bantu pikirin ide tempat kencan yang oke," usul Mia. "Loh, Vio ngapain di sini?" Tita langsung bertanya heran saat menerjang masuk dan melihat penampakan Vio di dalam ruangan Mia. "Ada misi penting," jawab Vio dengan wajah sok misterius lagi seperti yang tadi ia lakukan saat menjawab pertanyaan Mia di awal. "Aha! Tita suka yang begini-begini." "Kamu ke sini ada kerjaan, Ta?" tegur Mia. "Iya dong, Mbak." "Terus malah gosip di sini?" sindir Vio. "Kerjaan aku udah diurus di bawah. Tinggal gosip sama Mbak Mia." Mia langsung menggeleng penuh sesal. “Aku mau makeup calon klien." "Yah, sayang sekali," desah Tita kecewa. "Gosip sama Vio aja," ujar Mia. "Tapi sambil temenin gue meni pedi," celetuk Vio. Akhirnya, Tita menerima tawaran untuk bergosip sambil menemani Vio perawatan. "Vio mencurigakan deh. Ada apa sih ke sini? Bukan urusan kerjaan kan?" "Mau minta tangan magic Mbak Mia buat nyulap gue jadi hawt," sahut Vio tengil. "Buat apa?" Vio mengerling genit. "Memikat laki gue." "Ih, nakalnya!" goda Tita. "Mikat laki sendiri ini, Ta. Kalo laki orang lain baru gue nakal," ujar Vio membela diri. "Amit-amit ngomongnya, ih!" tegur Tita. "Nah, sekarang gue butuh bantuan lo." "Apa?" "Mau bantu enggak?" todong Vio. "Kalo bisa pasti aku bantu dengan senang hati," jawab Tita yang memang tidak pernah bisa menolak permintaan orang. "Good!" sambut Vio senang. "Vio butuh apa?" "Bantu gue mikirin ke mana mesti gue culik laki gue." "Hah? Culik?!" seru Tita terkejut. “Shh!” Cepat-cepat Vio menyuruh Tita diam sebelum suara gadis itu mengganggu ke mana-mana. "Culik dalam tanda kutip, Ta!" "Oh!” Tita manggut-manggut paham. “Dalam rangka apa?" "Hari ini ultahnya dia." "Mas Ryo sukanya ngapain?" "Itu yang gue enggak tau," jawab Vio lesu. Namun, seorang Tita tidak pernah patah semangat dalam mencari ide. Semakin sulit, semakin menantang, semakin banyaklah idenya. Tanpa perlu berpikir lama, Tita langsung mulai memberi usulan. "Ajak dinner?" "Basi, ah!" Vio langsung menggeleng kencang. "Ajak nonton?" Vio kembali menggeleng. "Gue enggak tau dia suka apa enggak." "Ajak ngamar?" "Gilà lo!" omel Vio kaget. Tita terkikik. “Udah sah ini.” “Enggak mau!” tolak Vio. "Ajak dugem?" usul Tita lagi. "TITA!" seru Vio jengkel. Kalau saja kuku-kukunya tidak sedang didandani, pasti leher Tita sudah jadi sasaran empuk untuk dicekik oleh Vio. "Apa dong? Aku juga bingung," ujar Tita sedih. Namun, sedetik kemudian matanya sudah kembali berbinar. "Atau Vio bikin surprise kecil-kecilan di kantor?" "Receh, ah!" Vio benci hal-hal yang terkesan cheesy. Tita mulai murung. Namun, saat ia hampir putus asa, sebuah ide kembali melintas di kepala Tita. "Gimana kalau ajak ke Planetarium?" Vio mengerutkan kening mendengar usulan kali ini. "Ngapain di sana?" "Liat bintang." "Gue juga tau, Ta!” Vio menggeram jengkel. “Maksud gue, tujuannya apa?" "Ya kalian kan bisa duduk santai, nikmatin waktu berdua, ngobrol. Suasananya mendukung buat menciptakan kesan romantis. Ada yang bisa diliat jadi enggak akan bosen, tapi tontonannya juga enggak menyedot perhatian, jadi bisa ngobrol." Di akhir penjelasan Tita, senyum Vio langsung mengembang. "Boleh juga ide lo." *** Petang itu, berbekal sentuhan ajaib tangan Mia, Vio melenggang penuh percaya diri memasuki Advaith. Ia berhenti sebentar di meja kerja sekretari Ryota. "Ryota ada kan?" "Ada, Bu." Perempuan yang beberapa waktu lalu bersikap berani pada Vio, kini kicep tak bernyali. Pasalnya ia sudah tahu, Violetta Davira Brajamusti bukan hanya sekadar pemilik Advait, tetapi juga istri dari Ryota. Mana berani ia bersikap songong lagi? Vio menunjuk pintu ruangan Ryota. "Ada tamu?" "Tidak ada, Bu." "Oke, thank you. Saya mau masuk," ujar Vio penuh senyum. Untuk beberapa saat sang sekretaris terkesima. Sosok Vio terlihat begitu luar biasa hari ini. Kecantikannya mampu membuat semua orang di dekatnya merasa minder, ditambah lagi sikap Vio yang hari ini terkesan jauh lebih ramah. Saking terkesima, gadis itu sampai lupa mengabari bosnya kalau ada yang datang. Jadilah Ryota terkejut bukan main melihat Vio tiba-tiba muncul di ruangannya. "Violet? Ada apa ke sini?" "Jemput kamu." "Hm?" Ryota menaikkan sebelah alisnya. Tanpa bisa ditahan, matanya mengamati penampilan Vio yang hari ini terlihat berbeda. Gadis itu memang bukan mengenakan gaun pesta, hanya pakaian kasual saja, tetapi auranya berbeda. "Mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Vio ceria. Bagaimana Ryota tidak semakin merasa ada yang janggal dengan Vio? Sejak masuk ke ruangannya saja, wajah Vio begitu penuh senyum.  "Harus mau. Enggak boleh nolak," ujar Vio memaksa bahkan sebelum Ryota sempat menolak. "Pekerjaan saya masih banyak," jawab Ryota setelah berhasil mengatasi keterkejutannya atas kedatangan Vio yang tidak terduga. "Aku tunggu," sahut Vio santai. Ia berjalan tenang ke salah satu sofa di ruangan Ryota lalu duduk manis di sana. Tidak bicara sama sekali untuk menganggu Ryota, hingga akhirnya pria itu tiba-tiba berdiri dari kursi kerja. "Udah beres?" tanya Vio terkejut. Rasanya belum terlalu lama ia duduk di sini. "Hm." "Katanya banyak kerjaan?" "Saya rasa kamu pasti tidak akan mau beranjak dari sini tanpa saya," sindir Ryota.  Kalau mau menunggu pekerjaannya selesai, entah bisa sampai jam berapa. Dan Ryota yakin, dengan kenekatan dan kekeraskepalaan Vio, meski sudah tengah malam sekalipun gadis itu akan tetap berkeras mengajaknya jalan-jalan. Lagi pula mau dipaksa terus bekerja pun sulit, konsentrasinya terlanjur buyar karena kehadiran Vio. "Pinter!" sambut Vio senang. Didekatinya Ryota lalu menadahkan tangan. "Sini kunci mobil kamu!" "Buat apa?" Meski bingung, Ryota memberikan juga kunci mobilnya pada Vio. "Biar dibawa pulang sama sopir kantor." Vio menyambar cepat kunci mobil Ryota lalu langsung melenggang meninggalkan suaminya di belakang.  Cepat-cepat Ryota menyusul Vio lalu menahan lengan gadis itu. "Saya naik apa?" "Ya jelas ikut aku dong!" sahut Vio geli.  "Kamu yang menyetir?"  "Yup!" Vio mengangguk mantap. Ryota tidak berkomentar hingga mereka tiba di dekat mobil Vio. "Berikan kuncinya. Biar saya yang menyetir." Vio menggeleng tegas dan tetap berjalan mantap ke arah pintu pengemudi. "Hari ini kamu duduk tenang dan nikmati aja dilayani sama aku." "Kamu mau bawa saya ke mana?" tanya Ryota penuh curiga. Entah Vio yang terlalu mencurigakan atau memang pada dasarnya Ryota saja yang terlalu waspada. Vio menoleh ke samping kemudian mengerling nakal. "Liat nanti aja." Akhirnya, Ryota memilih diam. Daripada ia terlalu banyak bertanya yang pada akhirnya malah memberi ruang bagi Vio untuk balas bertanya juga, lebih baik Ryota bungkam saja. Mulutnya baru kembali terbuka ketika mereka sudah tiba di tujuan. Duduk bersisian di kursi dalam ruangan bercahaya redup. "Mau apa di sini?" "Liat bintang," jawab Vio senang. Suasana hatinya semakin baik saja tatkala melihat indahnya tampilan langit di atas kepala mereka. Ryota mengikuti arah pandang Vio. Ia tidak berkomentar, tetapi terlihat cukup menikmati. "Kamu udah pernah ke sini?" bisik Vio. Ia beringsut mendekat agar bisa mengobrol lebih mudah dengan Ryota. "Belum." Tanpa sadar Ryota juga bergeser mendekati Vio. Mungkin takut suara obrolan mereka mengganggu pengunjung lain, hingga lebih baik jika posisi mereka merapat saja. "Ah! Pasti karena kamu kecilnya bukan di Indo ya?" gumam Vio ketika teringat informasi seputar pria ini. "Hm." Ryota mengangguk pelan. "Kamu lahir di Jepang?" "Saya lahir di Indonesia." Dengan mudahnya Ryota langsung menjawab.  Vio sampai merasa heran juga mendengar Ryota menjawab tanpa banyak syarat dulu. Entah karena ia sudah berjanji akan menjawab satu pertanyaan setiap hari, atau karena terbawa suasana jadi hatinya terasa ringan. "Umur berapa kamu ke Jepang?" tanya Vio lagi. Mumpung suasana hati Ryota sedang baik sepertinya. Namun, kali ini Ryota tidak langsung menjawab. Vio langsung menoleh curiga. "Jangan bilang cuma boleh satu pertanyaan sehari." "Saya pindah ke Jepang waktu umur empat." "Orang tua ka-" Kali ini Vio tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena keburu dipotong oleh Ryota. "Saya tidak ingin membahasnya," ujar Ryota singkat  "Nyebelin," gumam Vio pelan. "Bagaimana kalau saya beri jawaban tentang pertanyaan kamu soal mengapa saya suka warna hitam?" usul Ryota tiba-tiba. "Enggak seru," sungut Vio. "Ya sudah." "Tapi boleh deh …," ujar Vio malu-malu.  Ryota tersenyum samar. Lucu melihat Vio yang dalam sekejap sudah berubah pikiran. "Jadi kenapa?" desak Vio tidak sabar. Ditatapnya Ryota penuh minat. "Buat saya, hitam itu melambangkan kekuatan." "Kenapa?" "Pernah kamu lihat warna hitam berubah karena tercampur dengan warna lain?" Vio mengernyit kemudian menggeleng pelan. "Warna hitam itu tidak mudah terpengaruh. Dia dominan. Hitam akan tetap hitam, tidak bisa berubah." "Apa itu sesuai sama kepribadian kamu?" tanya Vio hati-hati. Ryota menoleh ke samping lalu menatap Vio dengan hangat. Sorot yang jarang sekali terpancar dari mata pria itu. "Saya belajar untuk bisa jadi begitu. Di mana pun saya, dengan siapa pun saya berhadapan, saya akan tetap jadi diri saya." Malam ini, ada yang sedikit berbeda dengan mereka. Untuk pertama kalinya mereka bisa berbincang santai. Bukan berbicara karena ada urusan penting, atau berdebat seperti akhir-akhir ini, melainkan hanya mengobrol saja. Bahagiakah Vio? Jelas! Belum pernah Vio merasa sedekat ini dengan Ryota. Hingga sepertinya gadis itu sedikit lupa diri karena terbawa suasana. Ketika mereka tiba di rumah setelah lewat tengah malam dan akan berpisah menuju kamar masing-masing, Vio menahan Ryota di tangga teratas. "Ryota …," panggil Vio pelan. Ryota berhenti melangkah dan menatap Vio. "Hm?" Tanpa permisi Vio maju mendekat lalu melingkarkan lengannya di leher Ryota. Gadis itu memeluk Ryota dengan erat. "Violet ….," bisik Ryota terkejut.  "Sebentar aja,"  bisik Vio lirih. Ryota membeku. "Makasih udah jadi orang yang selalu ada buat aku," gumam Vio masih sambil memeluk Ryota. "Aku berdoa semoga kamu panjang umur dan hidup sangat lama, jauh lebih lama dari aku, supaya kamu bisa terus jaga aku." Tanpa sadar Ryota tersenyum samar mendengar ucapan Vio. Perlahan, Vio melepaskan pelukannya. Tersenyum menatap Ryota kemudian berujar tulus. "Selamat ulang tahun." Kini sadarlah Ryota mengapa Vio tiba-tiba menjemputnya hari ini. Bukan Ryota melupakan hari ulang tahunnya sendiri. Hanya saja ia mengira bahwa tidak ada orang lain yang ingat. Baru saja Ryota akan bereaksi dan mengucapkan terima kasih, Vio kembali melakukan sesuatu yang membuatnya terkejut. Gadis itu berjinjit lalu mengecup singkat bibir Ryota. Setelah itu, Vio langsung berbalik menjauh dan menghilang ke dalam kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN