"Ryota! Tunggu!" Vio berlari mengejar Ryota yang tengah berjalan keluar menuju mobil.
Mendengar Vio berseru sambil berlari mendekat, Ryota yang sudah berada di teras langsung berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Vio sudah sampai tepat di hadapannya.
"Hm?" Dipandanginya gadis itu dengan heran. Mereka baru saja berpisah beberapa saat lalu setelah usai sarapan bersama. Kenapa juga gadis ini mengejarnya seolah baru bertemu setelah lama berpisah?
"Hari ini sibuk?" tanya Vio sedikit terengah.
Pertanyaan konyol Vio membuat Ryota semakin heran dan ia segera menjawab datar. "Setiap hari juga sibuk."
Vio menyeringai nakal. "Tapi punya waktu buat makan, kan?"
"Hm."
"Nanti siang makan bareng yuk!" ajak gadis itu antusias.
"Memangnya ada apa?"
"Emangnya harus ada apa-apa dulu?" balas Vio menyebalkan. "Aku cuma pengin makan bareng aja. Enggak boleh?"
"Bukannya setiap pagi kita sudah makan bersama?" sindir Ryota.
"Beda dong sensasinya!"
"Saya tidak punya banyak waktu untuk santai-santai makan siang."
"Tenang." Vio langsung menepuk dadà Ryota. "Aku yang dateng ke sana. Kita makan dekat-dekat Advaith aja."
Ryota menggeleng tidak setuju. "Tetap buang waktu."
"Kalo gitu delivery makanan juga gapapa. Yang penting makan sama-sama." Apa pun caranya, Vio tidak peduli. Pokoknya dia akan melakukan berbagai cara supaya mereka punya banyak waktu untuk bersama. Vio akan melekat erat pada Ryota bagai lintah.
"Apa harus? Memangnya kamu tidak bisa makan sendiri?"
"Pengin aja, ih! Kenapa sih?" sahut Vio geregetan.
"Ya sudah." Akhirnya Ryota mengalah. Bisa debat di teras sepanjang hari mereka kalau tidak ada yang mau mengalah. "Kabari saja nanti mau makan di mana. Tapi tolong pilih tempat yang terdekat dengan Advaith."
"Siap!" sahut Vio senang.
"Saya berangkat dulu." Ryota langsung berbalik hendak menuju mobil.
"Tunggu!" Vio menahan lengan Ryota demikian sigap.
Ryota mendesah pelan dan kembali berbalik dengan wajah terpaksa. "Apa lagi?"
Vio tidak bicara. Hanya mengetuk pelan keningnya sendiri sambil tersenyum kecil.
"Hm?" Ryota menaikkan kedua alisnya. Ia tidak mengerti maksud Vio.
"Cium," ujar Vio tanps malu.
"Hah?" Ryota tersentak.
"Papa selalu cium kening aku dulu kalo mau berangkat kerja."
"Saya tidak mau," tolak Ryots keberatan.
"Ya udah kalo enggak mau." Vio mengangkat bahunya lalu secepat kilat melangkah maju, berjinjit sedikit dan kembali mencuri cium bibir Ryota seperti yang semalam dilakukannya.
"Violet!" Ryota berseru tertahan. Ia benar-benar dibuat terkejut oleh kelakuan Vio yang sangat nakal.
Setelah membuat Ryota jengkel, gadis itu langsung berlari menuju mobilnya sendiri sambil melambai penuh kemenangan. "Sampai nanti siang!"
Keceriaan Vio pagi itu terus terbawa hingga siang. Apalagi ketika waktu perjumpaannya dengan Ryota semakin mendekat. Konyol memang mengingat fakta bahwa sedikit kecupan di bibir saja sudah mampu membuat energi Vio penuh. Bayangkan seandainya ia mendapatkan lebih, bagaimana jadinya? Ry saja sampai dibuat terheran-heran melihat tingkah Vio sejak pagi.
"Vio hepi banget sih hari ini?" Ry bertanya antara senang sekaligus curiga. Biasanya dia selalu jadi sasaran kekesalan Vio, tetapi hari ini gadis itu baik sekali. Padahal Ry banyak menyusahkan Vio sejak tadi.
Hari ini Ry memanggil Vio ke studio tempatnya bekerja karena ia membutuhkan gadis itu untuk menjadi model. Ingat bukan kalau Vio ini memang cantik luar biasa? Belum lagi posturnya yang memang bak model sejati. Jadi jangan heran kalau Vio sering dimintai bantuan oleh para sahabatnya untuk menjadi model dadakan mereka.
"Iya dong!" sahut Vio ceria. Meski tubuhnya sudah mulai berkeringat karena sejak tadi terus berpose aneka gaya, suasana hatinya masih tetap baik.
"Mencurigakan …," gumam Ry sambil membidik lewat kamera.
"Apanya?"
"Vio."
"Emang salah kalo hepi?"
Ry langsung nyengir dan menurunkan kameranya. "Khusus buat Vio jadi salah."
"Dasar!" Anehnya, Vio hanya mendengkus geli, tidak jengkel seperti biasanya.
"Soalnya Vio biasa selalu jutek, bete, senggol bacoklah pokoknya. Jadi kalo tau-tau senyum-senyum terus, aneh liatnya." Melihat Vio sedang baik hati, Ry jadi bebas mengolok sahabatnya itu. “Takutnya kepala Vio abis nabrak tembok.”
"Enggak sopan anak ini!" gerutu Vio, tetapi masih tetap tidak marah.
“Makanya cerita biar Ry enggak nebak-nebak. Udah tau Ry paling enggak pinter nebak.”
“Gue itu lagi seneng karena ….”
“Apa apa?” Mata Ry langsung berbinar ingin tahu.
Vio menaikturunkan alisnya. Sengaja tidak langsung mengatakan alasannya untuk membuat Ry semakin penasaran.
Berhubung stok foto yang dibutuhkan sudah cukup, Ry langsung mendekati Vio untuk bergosip dengan lebih leluasa. “Jangan bilang Vio udah bolong ya?”
“Ck! Emang dari lahir juga bolong kali. Gue kan enggak cacat, Ry!”
“Maksud Ry udah jebol. Udah ditubles," sahut gadis itu sambil mengedip nakal.
“BUKAN!" seru Vio malu. "Belum ke situ.”
“Terus kenapa?” desak Ry penasaran.
Vio memberi kode dengan jarinya agar Ry mendekat, lalu berbisik sok misterius. “Gue berhasil deketin laki gue.”
Ry langsung terbelalak antusias. “Deketin gimana?”
“Kemarin tuh dia ultah. Terus gue culik dia.”
“Culik?!” jerit Ry kaget.
"Ck!" Vio berdecak lelah. “Kalian ini pada enggak ngerti metafora ya.”
“Ry enggak pinter biologi waktu sekolah.”
“Bukan! Bukan biologi. Ih, capek deh gue!" Lama-lama kesabaran Vio mulai menguap juga. "Metafora itu pengandaian. Bukan arti yang benernya.”
“Oh ….” Ry manggut-manggut sok paham. “Ry kira yang berubah-berubah itu.”
Vio langsung mengangkat tangannya ke depan wajah Ry. “Enggak usah dilanjut, Ry. Darah tinggi gue jadinya kalo dilanjut lagi. Raib kan hepi gue.”
Namun, Ry tidak peduli. Dengan santai diturunkannya tangan Vio. “Terus terus abis Vio culik, Vio apain lagi? Vio culik Babang Ryo ke mana?”
“Cuma ke Planetarium doang.”
“Terus hebatnya di mana?” Pertanyaan ini entah memang maksudnya tidak paham akibat terlalu polos atau Ry berniat menguji kesabaran Vio. Hanya gadis itu sendiri yang tahu.
“Gue tuh akhirnya bisa ngobrol sama dia. Langka banget tau," sahut Vio jengkel.
“Terus Vio jadi hepi banget kayak gini?” tanya Ry tidak percaya.
Vio mengerling genit. “Ada penyebab lain sih.”
“Apa apa?”
“Gue curi-curi cipok dia.”
“Ih! Vio bìtchy banget!” seru Ry spontan.
“Asem!” makì Vio jengkel lalu segera melakukan pembelaan diri. “Dia kan laki gue sendiri, Ry. Sah-sah aja gue cipok kali.”
“Iya juga sih." Ry mengangguk setuju. "Vio cipok apanya.”
“Bibirnya dong," sahut Vio penuh bangga.
“Terus Babang Ryo gimana reaksinya?”
“Bengong.”
“Enggak marah?”
“Enggak tau, langsung gue tinggal.”
“Ya ampun, Ry kadang malu jadi temennya Vio.”
“Ini mulut asal ngejeplak aja!” Vio meraup wajah Ry dengan gemas. Tadinya Vio sudah ingin mengoceh panjang lebar, tetapi langsung terhenti karena sebuah pesan baru yang masuk ke ponselnya. “Wait!”
“Kenapa muka Vio langsung nyengir gitu?” Ry menatap curiga.
“Laki gue chat,” jawab Vio bangga.
“Apaan isinya? Liat dong!” Ry segera merapat lalu meletakkan dagunya di bahu Vio agar ia bisa ikut melihat saat sahabatnya membaca pesan dari sang suami.
.
Ryota: Violet maaf saya tidak bisa makan bersama kamu siang ini.
.
Seketika suasana hatinya memburuk. Tangan Vio langsung bergerak cepat mengetikkan balasan.
.
Vio: Kenapa?
.
Cukup lama Vio melotot memandangi ruang obrolannya dengan Ryota, tetapi tidak kunjung ada balasan lagi. Sementara Ry yang cepat tanggap menangkap perubahan suasana hati Vio, langsung beringsut menjauh.
“Asem!” umpàt Vio keki. “Enggak dibales dong!”
“Udah dibaca?”
“Enggak tau. Gue enggak bisa liat karena dia matiin read receipt. Tapi dia online terus," sahut Vio jengkel.
“Coba telepon aja,” usul Ry.
“Di reject.” Vio menggeram kesal setelah mencoba beberapa kali dan hasilnya selalu ditolak. “Enggak bisa dibiarin nih. Dia pasti cari-cari alesan buat menghindar.”
“Bang Ryo ada kerjaan kali.” Ry coba menenangkan Vio yang mulai kembali pada wujud aslinya.
“Kenapa enggak jelasin coba?” balas Vio sewot.
“Vio mau ke mana?” Ry berdiri panik melihat Vio berjalan tergesa meninggalkannya tanpa pamit.
“Samperin dia.”
“Jangan!” cegah Ry.
“Kenapa?”
“Nanti kalau Babang Ryo marah gimana?”
“Harusnya gue yang marah karena dia batalin acara seenaknya tanpa alasan jelas!" balas Vio murka.
Kalau sudah begini, tidak akan ada orang yang bisa menghentikan Vio. Siapa saja yang mencoba pasti akan dilibas, dan Ry memilih diam daripada renyek dihajar Vio. Dengan kekesalan menumpuk, Via bergegas menuju Advaith. Tiba di sana, tanpa ragu ia menuju ruang kerja Ryota.
“Wow ...!” desah Vio takjub ketika melihat pemandangan di dalam ruangan Ryota. Suaminya saat ini tengah duduk setengah berbaring di sofa dengan seorang perempuan berada di atasnya.
“Violet …?” Ryota yang tidak mendengar bunyi pintu diketuk begitu terkejut melihat sosok istrinya ada di depan pintu, menatap ke dalam dengan pandangan yang sulit dijelaskan artinya.
“Silakan lanjutkan …,” desis Vio dingin sambil membalik tubuhnya. Ia mungkin sering meledak-ledak dan tidak rasional, tetapi Vio masih punya harga diri. Ia tidak akan meledak marah dan mencari ribut dengan pihak ketiga apalagi di Advaith. Posisinya akan terlihat sangat menyedihkan jika ia sampai harus berebut Ryota dengan perempuan lain.
Namun, sesuatu yang sangat tidak terduga terjadi. Ryota mengejar Vio dan menahan lengan gadis itu. Keduanya bertatapan sejenak, lalu Ryota berbicara pada perempuan yang tadi memeluknya. “Mel, kalau sudah tidak ada yang ingin dibahas lagi, kamu bisa tinggalkan ruangan saya.”
Perempuan yang dipanggil Mel itu bergegas membereskan semua barang-barangnya lalu meninggalkan ruangan Ryota. Kini tinggallah Vio berdua dengan Ryota, duduk berseberangan di sofa dalam suasana kaku yang mencekam.
“Kenapa datang?” Ryota yang lebih dulu mengajak bicara setelah hening cukup lama. “Kamu tidak terima pesan yang saya kirim?”
“Kamu juga kenapa enggak balas? Enggak baca balasan yang aku kirim?” sahut Vio dingin.
Ryota terdiam. Ia bukan tidak membacanya. Ia hanya enggan membalas. Ryota tahu seberapa keras kepalanya seorang Vio dan gadis itu pasti akan melakukan berbagai cara agar mereka pada akhirnya tetap bisa makan bersama.
“Pantas kamu enggak balas.” Vio mendengkus tajam. “Ternyata mau asyik-asyikan sama perempuan lain.”
“Kamu bicara apa, Violet?” tanya Ryota tidak suka.
“Perempuan tadi. Kamu kira aku enggak liat? Atau kamu pikir aku bodoh banget?” sindirnya kejam. “Bisa-bisanya kamu tolak makan siang sama istri sendiri buat mesra-mesraan sama perempuan lain.”
Bukankah wajar jika Vio marah? Bayangkan bagaimana perasaan Vio melihat sang suami berduaan dengan perempuan lain dalam posisi yang intim, sementara dengan dirinya sendiri Ryota selalu mengelak. Lalu tiba-tiba sebuah pemikiran melintas dalam benak Vio. “Atau jangan-jangan ini alasan kamu bilang kalau kamu enggak akan pernah sentuh aku? Ternyata karena kamu udah punya perempuan lain buat disentuh-sentuh. Begitu kan?”
Ryota menggeleng cepat. “Kamu salah paham, Violet.”
“Salah paham di bagian mana?” tantang Vio.
“Saya dan Melinda bukan sedang bermesraan. Kami hanya sedang membahas pekerjaan.”
“Oh jadi namanya Melinda." Vio tersenyum dengan ekspresi meremehkan. “Bahas pekerjaan apa? Urusan ranjang?”
“Violet!” tegur Ryota cukup kencang.
“Salah?” tanya Vio masih dengan nada meremehkan. “Maaf deh. Karena yang aku lihat kalian lagi peluk-pelukan. Wajar kan kalo aku mikirnya jadi ke mana-mana?”
“Kami benar-benar sedang membahas pekerjaan, Violet. Urusan Advaith.”
“Sampai harus batalin acara makan sama aku?”
“Maaf. Tapi urusannya memang sangat mendesak. Mendadak ada masalah terkait buku yang akan naik cetak siang ini.”
“Jadi beneran ini soal kerjaan?” Vio mulai termakan sedikit ucapan Ryota.
“Hm.” Ryota mengangguk sungguh-sungguh.
“Jadi dia bukan selingkuhan kamu?” tebak Vio berani.
Ryota menggeleng. “Bukan.”
“Pacar kamu?” tebak Vio lagi.
Kembali Ryota menggeleng. “Bukan, Violet.”
“Perempuan yang kamu cinta?” Vio terus saja bertanya. Ia harus mendapatkan jawaban memuaskan atau dirinya tidak akan bisa tenang.
Ryota mendesah lelah. “Violet, dia hanya karyawan di Advaith. Melinda adalah editor yang bertanggung jawab memastikan kelayakan terbit atau tidaknya sebuah naskah. Saya tidak ada hubungan khusus dengan dia.”
“Terus kenapa tadi kalian posisinya kayak gitu?” Vio memperagakan dengan tangannya seperti apa posisi Ryota dan Melinda dalam pemandangannya tadi, tentunya dalam versi yang lebih dramatis.
“Dia jatuh,” sahut Ryota singkat.
“Ceroboh banget.” Vio mencibir sinis. Sama sekali tidak percaya dengan penjelasan Ryota yang menurutnya tidak masuk akal.
“Tidak ada bedanya dengan kamu,” gumam Ryota pelan, tetapi jelas cukup terdengar oleh Vio.
“Enak aja!” protes Vio sewot. “Jangan sama-samain aku sama dia.”
Ryota mengangkat bahunya dengan tenang. “Tapi memang kalian sama-sama ceroboh.”
“Aku ceroboh juga jatuhnya ke pelukan suami sendiri, bukan suami orang lain,” sought Vio membela dirinya.
Ryota mengembuskan napas perlahan sambil mengangkat tangannya. “Oke.”
Entah maksudnya menyerah, atau meminta Vio berhenti bicara, tetapi yang jelas sikap Ryota berhasil meredam ocehan Vio. Vio sendiri lebih memilih mengalihkan pembicaraan karena terus membahas soal Melinda yang tadi melekat pada suaminya bagai binatang melata sangat membuat gadis itu jengkel.
“Kamu udah makan?”
“Belum.” Sebenarnya Ryota ingin berbohong saja dengan mengatakan dirinya sudah makan agar Vio cepat-cepat pergi, tetapi sayang mulutnya berkhianat. Mungkin efek perutnya yang memang juga sudah kelaparan.
“Kalau gitu kita makan sama-sama!” sahut Vio senang. Sikapnya sudah kembali ceria seolah masalah peluk-pelukan tadi tidak pernah ada.
Namun, Ryota yang tidak peka atau mungkin memang sengaja ingin membuat Vio jengkel, malah memberikan jawaban gegabah. “Melinda sudah belikan makanan untuk saya.”
“Mana?” Langsung saja kekesalan Vio kembali tersulut.
Ryota menoleh ke belakang lalu menunjuk meja kerjanya.
Vio berjalan tergesa menuju meja kerja Ryota lalu mengambil kotak makanan yang diindikasi sebagai pemberian Melinda. Langsung disambarnya dengan kasar lalu Vio berjalan menuju pintu.
“Mau dibawa ke mana?” tanya Ryota terkejut.
“Kasih sopir kamu aja,” sahut Vio tanpa menoleh.
“Hah?” Ryota langsung melongo.
Tepat ketika langkahnya sudah mencapai pintu, Vio menoleh ke belakang dan memberikan titah agung. “Kamu tunggu di sini dan jangan ke mana-mana! Biar aku yang beli makan, nanti kita makan sama-sama di sini.”
Ryota menggeleng putus asa kemudian mengembuskan napas lelah. Bagaimana caranya membuat gadis ini mengerti bahwa ia tidak ingin mereka hidup seperti ini? “Violet, kamu tidak perlu repot-repot mengurusi saya.”
“Kenapa? Kamu keganggu?” tanya Vio dengan nada tidak peduli tetapi sekaligus terdengar menantang.
“Saya tidak terbiasa.”
Lalu Vio memberikan jawaban yang benar-benar di luar dugaan hingga membuat Ryota kehilangan kata. “Kalau kamu enggak mau aku ganggu, kasih aku anak supaya aku punya orang lain buat diurus, jadi aku enggak akan gangguin kamu lagi.”