Keesokan harinya, dengan penuh kegusaran Vio mendatangi Mia di Lumiere. Jangan heran kalau melihat Vio ini asyik menclok ke mana saja. Terkadang muncul di tempat Mia, terkadang ada bersama Ry entah di studio, kampus, atau tempat tongkrongan mana saja yang sedang ingin Vio datangi. Terkadang lagi, ia muncul di apartemen Gin, mengganggu pemuda itu agar memberinya berbagai solusi menghadapi Ryota. Hanya Tita yang jarang Vio datangi, karena sahabatnya yang satu itu jarang diam di satu tempat. Pekerjaan Tita membutuhkan mobilitas tinggi hingga Vio sulit mengganggunya kecuali saat libur.
“Mbak Mia, Vio mau nanya dong,” ujar Vio dengan nada yang tidak biasa.
“Tanya apa?” balas Mia heran. Sikap Vio hari ini terlihat janggal.
“Mbak pernah liat laki Mbak dipeluk-peluk cewek lain enggak?” tanya Vio dengan suara pelan.
Mia yang sedang memeriksa laporan keuangan di layar monitor langsung menghentikan kegiatannya. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya gitu?”
Vio mengerucutkan bibir sambil bergerak-gerak gelisah di kursinya.
“Kamu liat Ryota dipeluk cewek lain?” tebak Mia.
“Hm.” Vio mengangguk malu.
Melihat tingkah Vio, Mia tersenyum kecil. “Cemburu ya?”
“Mbak, ih! Iyalah!” sahut Vio gusar. “Vio aja mau peluk-peluk dia setengah mati susahnya, ini dia enak-enakan aja main peluk-peluk laki orang.”
“Ryota tau kalau kamu liat dia pelukan sama cewek lain?”
“Tau.”
“Terus sikapnya gimana?”
Vio mengangkat bahunya dengan ekspresi sebal. “Dia sih tenang-tenang aja.”
“Enggak keliatan kayak yang ngerasa ketangkep basah?”
“Enggak tuh.”
“Dia jelasin apa?”
“Dia bilang itu cewek cuma enggak sengaja mau jatuh, jadi nemplok ke dia.”
“Kalo kata kamu dia santai aja, mungkin bener itu cuma enggak sengaja. Atau ….” Mia sengaja menggantung ucapannya untuk membuat Vio senewen.
“Atau apa?” tanya Vio sambil mendelik ngeri.
“Atau dia emang udah ahli banget selingkuh sampai enggak ada takut-takutnya walau kepergok.”
“Mbak bikin Vio tambah senewen aja deh!”
“Aku serius, Vi. Segala kemungkinan itu ada. Jangan terlalu bodoh dengan mempercayai pasangan kita mentah-mentah. Cinta boleh, bodoh jangan.”
Vio terdiam memikirkan nasihat Mia yang disampaikan dengan cara santai, tetapi sesungguhnya mengandung pesan mendalam. “Gimana caranya aku bisa mastiin, Mbak?”
“Cewek itu orang Advaith?”
“Hm. Editor katanya.”
“Kalau kamu mau mastiin apa pelukan mereka bener cuma ketidaksengajaan atau ternyata ada sesuatu di antara mereka, kamu harus sering-sering ke sana.”
Vio langsung mengernyit sebal. “Mau ngapain aku sering-sering ke sana, Mbak?”
“Kemarin kamu datang ke sana ngapain?” balas Mia santai.
“Mau makan siang sama Ryota,” jawab Vio lalu cepat-cepat menambahkan sebelum Mia mengusulkan ide aneh. “Masa aku mesti datang tiap siang buat ajak dia makan?”
“Janganlah!” sahut Mia gemas. “Yang ada itu bakal bikin Ryota merasa keganggu banget sama kamu.”
“Terus menurut Mbak aku harus gimana dong?” Vio yang biasanya cerdas ini sudah buntu memikirkan soal Ryota dan si Perempuan Melata. Adegan Melinda mendarat di d**a Ryota selalu membuatnya jengkel bukan main. Terserah kalau orang mengatainya terbakar cemburu, pada kenyataannya memang demikian. Vio yang sedemikian susahnya berada di pelukan Ryota, mana bisa terima melihat orang lain segampang itu nemplok pada suaminya?
“Hm ….” Mia hanya bergumam panjang tanpa mengatakan apa-apa.
“Mbak, jawab dong!” desak Vio tidak sabar. “Gimana caranya aku bisa sering ke sana tanpa bikin Ryota ngerasa aku kayak lebah yang mau nyengat dia.”
“Ck ck ck!” Mia berdecak geli. “Orang cerdas kalau udah diperhadapkan sama urusan cinta, kadang jadi jongkok juga ya otaknya.”
“Enggak usah ngejek deh, Mbak!” gerutu Vio memelas.
“Gampang, Vio,” ujar Mia dengan wajah tenang dan senyum super lebar, ditambah matanya yang berbinar nakal. Kalau sudah begini ekspresi Mia, yakinlah bahwa ia merencanakan sesuatu yang cukup busuk. Namun, biasanya rencana busuk Mia selalu berhasil.
“Gimana?” sambut Vio antusias.
“Advaith itu punya kamu, kan?” Mia mengajukan pertanyaan retorik disertai senyum licik.
“Hm.” Vio mengangguk ragu. “Sampai hari ini belum ganti kepemilikan sih.”
“Ada yang larang kamu buat diam di sana tiap hari?” Lagi-lagi pertanyaan retorik.
“Enggak ada.”
“Masih belum clear?” pancing Mia jail.
Vio mencoba mencerna clue yang Mia berikan lalu perlahan semuanya terkoneksi dalam kepala gadis itu. Perlahanya matanya melebar lalu Vio bertanya ngeri. “Maksud Mbak, aku mulai ngantor aja di sana?”
“Correct!” Mia menjentikkan jarinya dengan puas.
“Tapi aku mau ngapain di sana, Mbak? Aku enggak ngerti apa-apa.”
“Vio ….” Mia menggeleng kasihan melihat Vio jadi d***u begini akibat cinta butanya pada Ryota. “Suami kamu pernah nawarin buat ajarin kamu, kan?”
“Ah …!” desis Vio takjub. Seketika matanya berbinar senang. Dalam hati Vio memuji ide brilian Mia yang konyolnya bisa tidak terpikir oleh dirinya sendiri.
“Sana!” Mia menggebah Vio sambil terkekeh geli. “Bilang ke dia kalo kamu mau mulai belajar mengelola Advaith karena kamu merasa itu adalah tanggung jawab kamu sebagai penerus papa kamu.”
“Mbak Mia!” Vio langsung berdiri dan berjingkrak kesenangan, memutari meja kerja Mia lalu memeluk erat wanita itu. Diciuminya pipi Mia berkali-kali. “Cinta deh!”
“Jangan lupa belanja!” seru Mia sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Vio.
“Hm?” Vio langsung berhenti menciumi Mia.
“Kalau mau ngantor tiap hari, jangan lupa beli baju.” Mia memperjelas maksud perkataannya barusan karena sepertinya Vio tidak menyimak dengan baik.
“Baju Vio enggak kurang banyak, Mbak,” sahutt gadis itu malas.
“Tau. Tapi inget kamu itu mau ngantor, bukan mau show.”
Ingat bukan kalau Vio ini sering tampil untuk menyanyi? Meski bukan penyanyi profesional, penampilan tetaplah sesuatu yang harus Vio jaga. Tidak ada satu pun pakaian Vio yang tidak mencerminkan betapa kaya dan berkelasnya gadis ini. Jadi, bayangkan kalau pakaian-pakaian itu yang Vio gunakan untuk datang ke kantor, akan seperti apa reaksi para karyawan di sana?
“Biar, ah!” bantah Vio tidak peduli. Ia menaikkan dagunya penuh kesombongan. “Aku mau tunjukin sama semua cewek di Advaith gimana wownya seorang Violetta Davira Brajamusti.”
“Enggak usah, Vi. Enggak usah!” Mia menggeleng kencang. “Enggak perlu kamu pamer gitu juga udah pada minder mereka berhadapan sama kamu.”
***
“Ryota!” panggil Vio ceria.
Ryota yang sedang menyisir rambutnya usai mandi menatap Vio lewat cermin dengan pandangan tidak suka. “Kamu tidak bisa ketuk pintu dulu?”
“Masalah?” balas Vio cuek.
“Kalau saya sedang tidak pakai baju bagaimana?” Ryota bukan bermaksud memancing kenakalan Vio, ia hanya mengatakan fakta yang ada. Jika Vio datang beberapa menit lebih cepat, maka gadis itu akan mendapatinya dalam kondisi belum berbusana, hanya berbalut handuk setelah meninggalkan kamar mandi.
“Bagus dong!” seru Vio senang. “Dapet hadiah aku.”
“Kamu ini ....!” desis Ryota geram. Sepertinya ia harus mulai mengingatkan dirinya untuk selalu mengunci pintu kamar, karena sekarang ada gadis nakal yang berani masuk tanpa permisi.
“Jangan marah-marah mulu kenapa sih, santai dong!” Vio menanggapi santai kejengkelan Ryota. Malah ia dengan berani mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur pria itu.
Melihat tingkah Vio, Ryota langsung menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Kamu mau apa ke sini?”
“Tenang.” Vio mengerling nakal. “Aku lagi enggak berniat menyerang kamu.”
“Violet, bisa serius sebentar?” tanya Ryota jengkel. Ia sudah lelah seharian ini di tempat kerja, berharap ketika kembali ke rumah bisa beristirahat di kamarnya dengan tenang. Nyatanya, malah ada gadis nakal ini.
“Oke! Aku ke sini karena ada sesuatu yang serius yang perlu kita omongin.”
“Tidak bisa besok?”
“BIG NO!” tolak Vio tegas. “Harus sekarang.”
Ryota memejamkan matanya sesaat lalu mengembuskan napas lelah. “Kalau begitu cepat katakan, saya lelah dan ingin cepat tidur.”
“Kita ngobrol sambil tidur sama-sama juga boleh,” ujar Vio dengan nada manja yang menggoda kemudian mengedipkan matanya. “Pillow talk.”
“Jangan macam-macam, Violet!” Meski tubuhnya sudah sangat lelah dan godaan kenyaman tempat tidur begitu menggoda, Ryota lebih memilih tetap berdiri tegak di depan meja rias alih-alih bergabung dengan Vio. Gadis nakal ini bisa menyerangnya kapan saja.
“Oke oke!” Vio terkekeh geli. “Aku cuma mau bilang kalau mulai besok aku mau ke Advaith setiap hari.”
“Apa yang sedang kamu rencanakan?” tanya Ryota curiga.
“Buset!” protes Vio. “Curigaan amat sama istri sendiri.”
“Saya ingat benar kalau kamu bilang tidak tertarik mengurus Advaith. Kenapa sekarang tiba-tiba berubah pikiran?”
Vio mengedik angkuh kemudian berbicara dengan nada sok serius yang jelas dibuat-buat. “Aku rasa sudah waktunya aku belajar mengelola Advaith, karena ini tanggung jawab besar yang Papa titipkan ke aku.”
“Kamu yakin alasannya karena itu?” tanya Ryota dengan rasa tidak percaya yang kuat.
“Memangnya kamu pikir apa?” tantang Vio.
“Bukan karena kecurigaan kamu pada Melinda?” tembak Ryota tepat sasaran.
Meski kenyataannya memang demikian, mana rela Vio mengakui di depan Ryota. “Kenapa mikir gitu?”
“Karena kamu bilang ini setelah kejadian di Advaith kemarin.”
“Aku tuh serius loh mau melanjutkan perjuangan Papa. Kamu kok mikir negatif tentang aku sih,” ujar Vio berlagak sedih dengan tatapan mata sayu yang membuat orang lain pasti iba. Sungguh gadis ini memang pandai berakting! Memang seharusnya ia terjun saja ke dunia hiburan seperti mimpinya sejak kecil.
“Kalau memang itu alasan kamu ..., syukurlah.” Ryota menyerah.
“Jangan-jangan kamu emang ada apa-apa ya sama perempuan itu, makanya jadi takut kalau aku ngantor di Advaith?” tanya Vio tiba-tiba.
“Harus berapa kali saya bilang, kami tidak ada apa-apa,” balas Ryota lelah.
“Bagus kalau gitu.” Vio mengangguk kecil kemudian bangkit lalu berjalan menghampiri Ryota.
“Kamu mau apa?” Refleks Ryota mengangkat lengannya menutupi wajah ketika Vio sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Mau liat mata kamu jujur apa bohong,” sahut Vio santai. Lalu perlahan, senyum nakal membayang di wajah Vio. “Kenapa ditutup gitu?”
Ragu-ragu Ryota menurunkan tangannya, tetapi ia masih tetap bersiaga. Matanya memandang awas pada Vio.
“Takut aku cium lagi ya?” tanya Vio geli.
Ryota memang takut kalau Vio akan kembali mencuri ciuman darinya seperti yang terjadi kemarin-kemarin. Kini, Ryota tidak akan lengah lagi.
Vio menepuk lembut d**a Ryota sambil tersenyum nakal. “Tenang, aku enggak akan cium kamu waktu kamu siap. Aku bakal cium pas kamu lengah.”
“Kalau sudah selesai, boleh tolong tinggalkan kamar ini?” pinta Ryota lelah. Bukan hanya lelah sebenarnya, ia juga merasa terintimidasi dengan kehadiran Vio di dalam kamarnya. “Saya benar-benar butuh istirahat.”
“Mau aku pijit?” tanya Vio sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Ryota lalu meremasnya lembut.
Ryota dengan sigap menangkap pergelangan tangan Vio dan menurunkannya. “Tidak perlu.”
“Cuma mau bantu, malah ditolak,” ujar Vio sedih. Lagi-lagi dengan tatapan sayu.
“Dengan kamu meninggalkan saya, itu sudah sangat membantu,” sahut Ryota kejam.
Konyolnya, meski selalu diperlakukan dingin oleh Ryota, Vio sama sekali tidak tersinggung. Ia malah tetap menanggapinya dengan ceria. “Oke! Jangan lupa besok berangkat sama-sama! Awas kamu tinggalin aku.”
“Tidak bisa berangkat sendiri-sendiri?” tanya Ryota malas.
“Kamu enggak tau program Go Green ya?” sindir Vio.
“Hm?” Ryota menaikkan sebelah alisnya.
“Kalo bisa berangkat rame-rame, kenapa harus sendiri-sendiri?” ujar Vio dengan nada persis seperti salah satu iklan obat nyamuk di masa kecilnya.
“Terserah kamu,” balas Ryota lelah. “Asal saat di kantor kamu jangan terus menempel pada saya.”
Vio berkedip nakal. “Justru aku mau nempel terus sama kamu.”
“Jangan main-main, Violet!” ancam Ryota galak.
“Kamu sendiri yang bilang mau ajarin aku. Kalau jauh-jauh gimana belajarnya?”
“Tapi bukan berarti harus terus menempel dengan saya, Violet.”
Vio mengangkat bahunya dengan santai. “Minimal aku bakal ngantor di ruangan kamulah. Cukup kok gitu juga.”
“Saya akan siapkan ruangan untuk kamu.”
“Enggak mau!” tolak Vio cepat.
“Kenapa kamu keras kepala sekali, Violet?” keluh Ryota mulai frustasi.
“Karena menghadapi cowok batu kayak kamu ya harus begini caranya.” Kali ini Vio mengatakannya dengan serius. Setelah itu ia melanjutkan ucapannya setengah berbisik. “Atau aku terancam jadi perawan seumur hidup.”
“Apa?” Ryota bertanya tidak yakin. Ia tidak terlalu mendengarnya, tetapi bisa menangkap sedikit.
“Enggak ada. Good nite, Hubby!” Vio segera berbalik lalu melambai ceria meninggalkan kamar Ryota. Meninggalkan Ryota dengan kebingungannya.
“Apa maksudnya tadi? Perawan seumur hidup …?” bisik Ryota bertanya-tanya sendiri.